Indonesian
Thursday 18th of April 2024
0
نفر 0

Pembuktian Mahdiisme Melalui Tiga Metode Pemikiran Keagamaan: Sebuah Survey Awal

Pembuktian Mahdiisme Melalui Tiga Metode Pemikiran Keagamaan: Sebuah Survey Awal

 

E-mail
Arif Mulyadi*
Pengantar

Gagasan Juru Selamat Yang Dinantikan, yang muncul untuk menghancurkan kejahatan dan menegakkan keadilan dan kesetaran di muka bumi, dimiliki oleh seluruh agama dan tradisi besar dunia.

Agama Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan Islam meyakini tradisi-tradisi mereka menyangkut Mesiah atau Juru Selamat dari garis keturunan yang terpilih.1 Agama-agama ini biasanya memberikan kabar gembira atas kemunculannya, sekalipun tentu saja perbedaan-perbedaan tertentu secara detil dapat dipertajam ketika ajaran-ajaran ini dibandingkan secara cermat.

Istilah “mesianisme” dalam konteks Islam acap dipakai untuk menerjemahkan konsep signifikan dari tokoh eskatologis, Imam Mahdi,  yang sebagai pemimpin yang telah ditentukan sebelumnya “akan muncul” untuk melangsungkan sebuah transformasi sosial besar-besaran untuk mengakhiri penderitaan kaum beriman, memusnahkan aturan-aturan musuh Allah dan menegakkan Kerajaan-Nya di muka bumi.2 Doktrin keselamatan Islam tidak mengkonsepsikan seorang manusia sebagai pendosa yang harus diselamatkan melalui regenerasi spiritual. Penekanan dasar keselamatan Islam alih-alih terletak pada tanggung jawab historis dari para penganutnya, yakni, penegakkan komunitas religio-politik yang ideal, ummah, dengan keanggotaan seluruh dunia dari semua yang beriman kepada Allah dan wahyu-Nya melalui Muhammad.

Benih-bening tanggung jawab ini sesungguhnya disemai Nabi saw sendiri. Muhammad bukan saja pendiri sebuah agama baru, namun juga penjaga dan pengawal tatanan sosial baru.
Tiga Metode Pemikiran Keagamaan

Yang dimaksud dengan “pemikiran keagamaan” di sini adalah bentuk pemikiran yang concern pada salah satu problem dari watak keagamaan dalam suatu agama tertentu.3 Sudah tentu, konsep Mahdiisme, termasuk pada pemikiran keagamaan. Tak syak lagi, pemikiran keagamaan, seperti Mahdiisme, memiliki sumber-sumber terpercaya.

Ada tiga metode pemikiran keagamaan dalam Islam. Dalam ajaran-ajarannya, Al-Quran mengidentifikasi tiga jalur untuk diikuti bagi kaum Muslim guna memahami tujuan agama dan ilmu-ilmu Islam seperti di bawah ini.4

1. jalan eksternal dan aspek formal dari agama (syari’ah)

2. jalan pemahaman intelektual 

3. jalan pemahaman spiritual yang dicapai melalui keikhlasan dalam menaati Allah

Metode pertama mengimplikasikan penerimaan sumber tradisional yang darinya aspek formal dan eksternal agama diturunkan, yakni Al-Quran dan Sunnah, yang diterima dari Nabi saw dan Ahlulbaitnya as. Keduanya merupakan dokumen otoritatif dan juga merupakan sumber pokok bagi pemikiran keagamaan Islam.5

Dalam aspek formalnya, kedua sumber ini berbicara kepada seluruh manusia tanpa menyediakan argumentasi demonstratif apa pun. Contohnya, Al-Quran memerintahkan manusia untuk menerima prinsip-prinsip keimanan seperti tauhid, kenabian, eskatologi. Al-Quran menyampaikan kepada mereka perintah-perintah praktis seperti shalat lima kali sehari, puasa, dan seterusnya. Pada saat yang sama, Al-Quran melarang manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu lainnya. Namun, jika Al-Quran tidak menyediakan otoritas untuk perintah-perintah ini, ia tidak akan pernah diharapkan untuk dijalankan dan dipatuhi oleh manusia. Karena itu, pastilah ujaran-ujaran sederhana dari Al-Quran tersebut merupakan jalan terhadap pemahaman tujuan-tujuan keagamaan yang ultimat dan pemahaman ilmu-ilmu keislaman. Kita menyebutkan ungkapan-ungkapan verbal tersebut seperti “berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya” dan “dirikanlah shalat” sebagai aspek eksternal atau formal agama.6

Adapun metode kedua, ia menyediakan demonstrasi-demonstarasi intelektual dari keabsahan aspek luaran atau formal dari Al-Quran, yakni penyingkapan Ilahi, juga ucapan-ucapan baku dari Nabi saw dan Ahlulbaitnya.7

Allamah meyakini bahwa bukti-bukti intelektual ada dua jenis: demontrasi (burhân) dan dialektika (jadal). Yang pertama adalah bukti yang premis-premisnya adalah benar meskipun bukti-bukti tersebut tidak dapat diamati. Corak pemikiran seperti ini disebut pemikiran rasional. Yang kedua, dialektika, merupakan sebuah bukti keseluruhan atau sebagian dari premis-premis yang didasarkan pada suatu data yang dapat diamati dan tertentu.

Al-Quran menggunakan metode-metode ini. Pertama, Al-Quran memerintahkan penyelidikan bebas dan perenungan bebas atas prinsip-prinsip universal dari dunia eksistensi, prinsip-prinsip umum dari tatanan kosmis, juga pada tatanan-tatanan yang lebih particular seperti langit, bintang, bumi, dan lain-lain. Kedua, Al-Quran telah memerintahkan kepada manusia untuk menerapkan pemikiran dialektis, yakni apa yang biasa disebut pembahasan teologis atau metode kalâmi.8

Sementara, yang dimaksud dengan metode ketiga adalah pendekatan makrifat (gnostic approach). Metode ini didasarkan pada pengetahuan yang dikombinasikan dengan cinta, alih-alih rasa takut. Ia merupakan metode untuk merealisasikan kebenaran batin agama alih-alih hanya terpuaskan dengan bentuk eksternal dan pemikiran rasionalnya.9

Maka itu, menyangkut konsep Mahdiisme sebagai bagian dari pemikiran keagamaan, kita dapat mendekatinya melalui tiga metode di atas.
Mahdiisme: Bukti dari Aspek Formal

Menurut para teolog, kita dapat membuktikan konsep Mahdiisme dan wujudnya dari Al-Quran dan Hadis. Al-Quran tidak menyebutkan, pada dasarnya, Al-Mahdi dalam detil-detil yang spesifik. Bukan hanya Al-Mahdi, ada begitu banyak detil yang benar dan autentik tetapi tidak disebutkan dalam kitab-kitab suci. Menyangkut Al-Mahdi dan misinya, banyak ayat dalam Al-Quran yang, sekalipun ringkas, menyampaikan kabar gembira tentang Hari ketika para penyembah Tuhan dan mereka yang mendukung agama yang benar serta mereka yang patut mendapatkan rahmat, akan memerintah bumi secara menyeluruh. Dan, agama Allah, Islam, akan menjadi agama dominan di atas agama-agama lainnya.10

Umpamanya ada empat ayat yang mengindikasikan kemunculan al-Mahdi yang dijanjikan sebagai berikut.

1. Al-Anbiya [21]: 105: Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.

2. An-Nuur [24]: 55: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.

3. Qashash [28]: 5: Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).

4. Ash-Shaff [61]: 9: Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.

Dari semua ayat ini dan ayat-ayat sejenis, menurut para teolog, dapat disimpulkan bahwa dunia menantikan Hari ketika kekuasaan dan pemerintahannya akan diberikan ke tangan-tangan kaum mukmin dan mereka yang pantas mendapatkan amanah Tuhan untuk menjadi para imam dan memimpin manusia dan peradabannya kepada kesempurnaannya. Pendek kata, ayat-ayat ini sebenarnya menjelaskan kemunculan Imam Mahdi.11

Tentu saja, kita pun bisa membuktikan eksistensi Al-Mahdi yang dijanjikan melalui sumber kedua pemikiran keagamaan, yakni, Hadis. Ada banyak hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw atau para Imam Ahlulbait as, dan yang mengidentifikasi bahwa al-Mahdi termasuk Ahlulbait Nabi saw, bahwa ia keturunan Sayidah Fathimah dalam garis Husain dan sembilan keturunannya. Hadis-hadis tersebut juga menyebutkan bahwa pengganti Nabi itu berjumlah dua belas orang. Hadis-hadis ini menetapkan konsep umum Mahdiisme dan mengidentifikasi penjelmaannya pada pribadi Imam Kedua Belas dari jajaran Dua Belas Imam Ahlulbait. Hadis-hadis banyak diriwayatkan dan dikenal secara luas meskipun kehati-hatian tetap diterapkan oleh para imam as ketika memunculkan konsep ini di depan umum demi menjaga keturunannya (al-Mahdi) dari kemungkinan pembunuhan.12

Hadis-hadis tersebut menyatakan bahwa kemunculan Al-Mahdi akan memudahkan masyarakat manusia untuk mencapai kesempurnaan hakikinya dan realisasi kehidupan kerohanian yang utuh. Sejatinya, bilangan riwayat tersebut bukan hanya kriteria bagi penerimaannya. Banyak isyarat lain yang juga memverifikasi keabsahan hadis-hadis tersebut.

Maka itu, hadis-hadis nabawi yang menyebutkan bahwa para imam, khulafa atau umara  menggantikan beliau dan jumlah mereka adalah dua belas imam, khulafa, atau umara’, seturut dengan teks-teks riwayat yang berbeda-beda sebagaimana dituturkan melalui sanad-sanad yang berbeda,  muncul dalam bentuk-bentuk riwayat yang dihimpun oleh sejumlah penyusun yang mengumpulkan lebih dari 270 riwayat yang diambil dari kompilasi hadis-hadis terkenal Sunnah dan Syi’ah termasuk karya-karya Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, dan al-Hakim dalam Mustadrak `ala al-Shahihayn.

Penting diperhatikan di sini bahwa Bukhari, yang meriwayatkan hadis ini, hidup sezaman dengan Imam Jawad, Imam Ali Hadi, dan Imam Hasan Askari (salam atas mereka semua). Dan ini merupakan signifikansi yang besar lantaran ia membuktikan bahwa hadis ini dicatat dari Nabi saw sebelum pribadinya muncul dan sebelum konsep Dua Belas Imam disempurnakan secara praktis. Hal ini mengimplikasikan bahwa tidak ada alasan untuk munculnya keraguan bahwa periwayatan hadis ini mungkin dipengaruhi oleh situasi aktual kaum Syi’ah Dua Belas Imam atau merupakan refleksi dari situasi tersebut.13

Sekarang, kita memiliki bukti nyata bahwa riwayat yang disebutkan sebelumnya secara historis mendahului kemunculan Dua Belas Imam  dan bahwa ia tercatat dalam kitab-kitab hadis sebelum eksisnya Dua Belas Imam secara konkret. Adalah mungkin bagi kita bahwa hadis tersebut bukanlah suatu refleksi sejumlah peristiwa, namun justru suatu ekspresi realitas ketuhanan melalui seseorang yang tidak berbicara dari motif-motif pribadinya (Nabi).

Di sini, kami ingin menyajikan sejumlah hadis dari para sahabat, misalnya, yang membenarkan eksistensi Al-Mahdi yang dijanjikan seperti berikut.

1.      Sa’id bin Musayyib melaporkan dari Amr bin Utsman bin Affan yang berkata:

Kami mendengar dari Nabi saw yang berkata, “Para imam sepeninggalku berjumlah dua belas orang, sembilan di antaranya adalah keturunan Husain. Al-Mahdi umat ini termasuk dari kami (Ahlulbait). Barangsiapa yang berpegang kepada mereka sepeninggalku, berarti kepada tali Allah. Barangsiapa yang meninggalkan mereka, meninggalkan Allah.”14

 

2. Abu Ayyub Anshari mengatakan:

Saya mendengar Nabi saw bersabda, “Aku adalah penghulu para nabi, sedangkan Ali penghulu para washi. Dua cucuku [Hasan dan Husain] adalah sebaik-baiknya keturunan. Para imam maksum berasal dari kami melalui Husain. Al-Mahdi umat ini termasuk dari kami.” Pada saat itu, seorang Arab berdiri dan bertanya: “Wahai Rasululullah, berapa banyak imam sepeninggal Anda?” Beliau menjawab, “Sama dengan jumlah para pembantu Isa [Hawariyyun] dan pemuka Bani Israil.”15

 

3. Dari Hudzaifah Nabi saw menyatakan:

Jumlah para imam sepeninggalku sama dengan jumlah para pemuka Bani Israil. Sembilan orang imam adalah keturunan Husain. Al-Mahdi umat ini termasuk dari kami. Ingatlah! Kebenaran bersama mereka dan mereka bersama kebenaran. Maka itu, waspadalah bagaimana cara kalian memperlakukan mereka sepeninggalku.”16

 

Dalam realitas sejarah, sebenarnya para imam dari jajaran Dua Belas Imam berawal dari Imam Ali dan berujung pada Al-Mahdi as. Mereka semua adalah tafsiran rasional satu-satunya dari hadis-hadis kenabian ini.17
Mahdiisme: Bukti dari Pemahaman Intelektual

Untuk menunjukkan bahwa seorang imam harus eksis sebagai bukti bagi adanya perintah-perintah dan larangan-larangan mereka, pertama-tama kita harus menetapkan keniscayaan kenabian umum. Di sini kami akan mendedah secara ringkas sejumlah asumsi rasional mengapa manusia membutuhkan para nabi.18

(1) Seorang manusia diciptakan dengan sedemikian cara sehingga ia tidak dapat menjalankan urusan-urusannya menurut kehendaknya. Ia membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan pihak lain. Dengan kata lain, ia diciptakan, secara kodrati, sebagai makhluk sosial dan bermasyarakat. Karena itu, ia mesti bertindak dalam sebuah masyarakat. Tak dipungkiri, kepentingan-diri dan daya tahan hidup merupakan akar konflik dalam kehidupan sosial. Setiap orang di masyarakat disibukkan untuk menggunakan seluruh upayanya untuk mengambil manfaat dari sumber daya material yang terbatas yang kadang-kadang, atau malah biasanya, setiap orang melanggar hak-hak orang lain. Pada poin inilah diperlukan sebuah hokum yang mengatur hubungan-hubungan social sehingga pada gilirannya konflik-konflik dapat diatasi tanpa menciptakan kekacauan dan ketiadaan hokum.

(2) Secara fitrah, seorang manusia telah dikaruniai dengan kemampuan untuk menyempurnakan dirinya dan meraih kesejahteraan.

(3) Karena manusia berada pada jalan kesempurnaannya sendiri, perhatian kepada makna hakiki dari kesempurnaan telah ditanamkan dalam watak alamiahnya. Maka itu, adalah mungkin baginya untuk mencapai kesempurnaan itu karena Tuhan tidak menciptakan apa pun dalam keadaan sia-sia.

(4) Manusia tersusun dari tubuh dan ruh. Ia bersifat material melalui tubuhnya, sementara ruhnya, sekalipun sepenuhnya terhubung dengan tubuhnya, dipandang sebagai alam ruhani.

(5) Karena manusia tersusun dari dua elemen, maka ia terikat pada dua jenis kehidupan: kehidupan duniawi, yang terkait dengan tubuhnya; dan kehidupan spiritual dan kontemplatif, terpaut dengan kehidupan jiwanya.

(6) Sebagaimana antara tubuh dan ruh ada hubungan, demikian juga ada hubungan sempurna antara kehidupan material dan spiritual. Dengan kata lain, kualitas kehidupan dunia ini mempunyai dampak langsung pada kehidupan spiritual dan juga sebaliknya.

(7) Manusia berada pada jalan kesempurnaan dan perhatian pada kebutuhan-kebutuhan kesempurnaan bawaan dan alamiah. Adalah wajib bagi Tuhan untuk menyediakan manusia sarana-sarana untuk mencapai tujuan tersebut sehingga ia mampu membedakan dan mengejar jalan kesempurnaan.

(8) Manusia punya kecenderungan untuk memusatkan perhatian kepada dirinya dan mengejar kepentingan-kepentingan pribadinya. Maka itu, ia berusaha mengeksploitasi sesamanya dan mengambil keuntungan dari usaha-usaha mereka guna melayani tujuan-tujuannya.

(9) Kendatipun ia berusaha mencapai kesempurnaannya, ia acap gagal meraih tujuan tersebut. Semua itu disebabkan hasrat-hasrat egosentris dan emosi-emosi internalnya sendiri yang melumpuhkan kemampuannya untuk membedakan jalan yang lurus.

Asumsi-asumsi filosofis ini membuktikan bahwa manusia memerlukan hokum. Hukum tersebut bisa menciptakan keteraturan di masyarakat ketika ia memenuhi syarat-syarat berikut.19

(1) Ia bersifat komprehensif dan efektif yang mencakup seluruh domain aktivitas manusia baik secara individual maupun komunal.

(2) Ia harus mengarah kepada kesejahteraan hakiki manusia.

(3) Ia harus memberikan perhatian khusus kepada kesejahteraan seluruh manusia.

(4) Ia harus meletakkan fondasi sebuah masyarakat berdasarkan kemuliaan dan kesempurnaan manusia.

(5) Ia harus memiliki efisiensi untuk melindungi manusia dari manipulasi dan kekacauan serta menjamin hak-hak semua individu.

(6) Ia harus peduli dengan kebutuhan spiritual manusia.

(7) Ia harus melindungi masyarakat agar mereka tidak berpaling dari jalan eksistensi kemanusiaan yang lurus.

(8) Pemberi hokum dari system tersebut harus sangat mengenal tentang semua aspek yang berliku-liku dan cermat dari manusia dan harus mengetahui dengan baik seluruh keputusan yang diberikan pada waktu dan tempat yang berbeda-beda.

Satu-satunya hokum yang dapat memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas adalah system hokum yang ditetapkan oleh Tuhan. Ia bebas dari motif-motif pribadi manusia. Ia merupakan jalan menuju kesempurnaan. Informasi tentang jalan ini diwahyukan kepada para nabi sehingga mereka bias mulai menyeru manusia ke arah kesempurnaan tadi. Untuk menyempurnakan manusia, para nabi dilindungi dari perbuatan salah dalam menyampaikan risalah kepada manusia. Ini yang dikenal sebagai kemaksuman (ma’shum). Kualitas ini menyebabkan para nabi bias mengajak manusia untuk mengikuti bimbingan Ilahi. Lagi pula, ia merupakan proposisi yang diturunkan secara rasional bahwa tak seorang pun bias mengharapkan orang lain untuk menjalankan petunjuk-petunjuk moral dan keagamaan ketika ia sendiri tidak mengikuti jalan yang sama. Sebuah ajakan kepada jalan Ilahi haruslah dibuktikan oleh nabi.20

Bukti yang sama dapat digunakan untuk membuktikan eksistensi imamah. Yakni, setiap kali nabi wafat, pasti ada seseorang yang menggantikan tempatnya yang memimpin masyarakat menuju tujuan-tujuan tersebut. Sebagaimana halnya para nabi, orang-orang ini harus maksum juga.21 Singkatnya, imamah merupakan kelanjutan dari kenabian. Adalah tidak bijaksana bagi Allah, jika Dia tidak meninggalkan seorang pemimpin bagi manusia setelah wafatnya para nabi.
Mahdiisme: Pembuktian dari Perspektif Mistisisme

Konsep Mahdiisme dapat dihampiri melalui teori Insan Kamil dari Ibn ‘Arabi. Dalam Fushush al-Hikam-nya, ia menguraikan Insan Kamil, Manusia Sempurna.

Ibn ‘Arabi melihat ‘manusia’ dalam dua aras yang berbeda. Pertama adalah aras kosmis. Di sini ‘manusia’ diperlakukan sebagai entitas kosmis. ‘Manusia’ pada level ini adalah Imago Dei, citra Tuhan. Di sini ‘manusia’ pada dasarnya adalah sempurna; ‘manusia’ adalah Manusia Sempurna. Manusia Sempurna dalam makna ini adalah ‘manusia’ yang dipandang sebagai personifikasi sempurna dari alam semesta, ruh dari seluruh Alam Wujud, wujud yang menghimpun pada dirinya sendiri seluruh komponen yang termanifestasi dalam alam semesta. Ringkasnya, ‘Manusia’ adalah mikrokosmos, semesta kecil. Pada aras kedua, sebaliknya, ‘manusia’ artinya seorang individu. Pada level ini, tidak semua manusia sama-sama sempurna. Dari perspektif ini, ada banyak derajat manusia. Hanya sebagian kecil berhak menyandang gelar Manusia Sempurna. Mayoritas manusia sesungguhnya jauh dari sempurna.22

‘Kemanusiaan’ Manusia pada level kosmis terletak pada ‘kemencakupannya’. Manusia, sebagai mikrokosmos, memuat dalam dirinya segenap sifat yang dijumpai di alam semesta. Tuhan memanifestasikan Diri-Nya pada Manusia dalam jalan yang paling sempurna. Manusia adalah Manusia Sempurna karena ia adalah manifestasi-diri Tuhan yang paling sempurna.

Menurut Ibn ‘Arabi, Manusia pada aras kosmis, atau Manusia Sempurna, dikaruniai dengan ‘kemencakupan’ yang sempurna. Manusia Sempurna memperlihatkan dua karakteristik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Pertama, ia satu-satunya wujud yang benar-benar dan sepenuhnya berhak mendapat julukan ‘hamba’ (‘abd) Allah yang sempurna. Adapun wujud-wujud lainnya tidak sepenuhnya merefleksikan Tuhan, karena masing-masing hanya mengaktualisasikan satu Nama Tuhan saja. Karakteristik kedua dari Manusia Sempurna mengandung dalam dirinya Yang Mahamutlak itu sendiri dalam pengertian tertentu.23 Dengan kata lain, Yang Mahamutlak adalah realitas batin (‘ayn) mereka, tetapi tidak sebaliknya.

Adapun Manusia Sempurna pada tataran individual hanya ditempati oleh orang-orang khusus seperti rasul, nabi, dan wali. Dalam pemahaman Ibn ‘Arabi, yang belakangan mencakup nabi dan rasul. Baginya, wali merupakan konsep paling luas yang mencakup nabi dan rasul. Baginya, Wali adalah konsep terluas yang meliputi Nabi dan Rasul; berikutnya konsep Nabi yang mencakup konsep Rasul; dan Rasul adalah yang paling sempit dari semuanya. Al-Qasyani, seorang pengikut Ibn ‘Arabi, mengatakan, ‘Setiap rasul adalah nabi, dan setiap nabi adalah wali’, tapi tidak sebaliknya.24

Ibn ‘Arabi memandang bahwa waliy merupakan Nama Tuhan. Fakta bahwa waliy adalah salah satu Nama Tuhan mengimplikasikan bahwa ia merupakan suatu aspek dari Yang Mahamutlak. Dalam hal ini, wali secara radikal berbeda dari nabi dan rasul karena kata nabiy dan rasûl bukanlah Nama-nama Tuhan. Karena waliy adalah nama umum untuk Tuhan dan manusia, maka walâyah tidak pernah berhenti eksis. Sebagaimana Tuhan eksis secara abadi, kewalian (walâyah) juga akan eksis selamanya. Sejauh masih ada di dunia ini seorang manusia dari maqam spiritual paling tinggi yang mencapai maqam walâyah—dan, pada dasarnya, manusia seperti itu akan terus eksis di setiap zaman—walâyah dengan sendirinya akan tetap terjaga.

Sebaliknya, kenabian dan kerasulan secara historis memiliki syarat, dan, karena itu, bisa terputus atau bahkan hilang sepenuhnya. Misalnya, rantai kenabian secara historis telah berakhir pada Muhammad saw, yang terakhir dari rantai kenabian. Setelah Muhammad, tidak akan ada lagi seorang nabi, yang pada saat yang sama merupakan Pemberi hokum (musyarri’). Sepeninggal Rasulullah, kita memiliki ‘kenabian umum’ (nubuwwah ‘ammâh), yakni, kenabian tanpa pranata hokum, yang tiada lain adalah ‘kewalian’.25

Dari itu, andai kita hubungkan teori Ibn ‘Arabi dengan konsep Mahdiisme,  teorinya memperkuat konsep Mahdiisme. Misalnya, Amuli, salah satu juruulas Fushûsh al-Hikam-nya Ibn ‘Arabi, menyatakan26:

“Dia (al-Mahdi) adalah Khalifah Agung Allah dan Kutub yang di sekitarnya seluruh dunia berputar; melaluinya juga kewalian ditutup dan diakhiri, seluruh kewajiban, perintah-perintah hukum, jalan-jalan spiritual dan agama ditutup. Melalui dia juga, seluruh semesta kembali kepada asalnya sebelum ia diciptakan. Melalui dia awal penciptaan dipertautkan dengan Hari Akhir dan melalui dia lingkaran penciptaan berakhir.”

 

Sementara di tempat lain, Amuli selanjutnya menuturkan kata-kata Ibn ‘Arabi ketika ia memilah subjek kewalian pada bagian-bagian yang berbeda.

“Ketahuilah, kewalian dapat dibagi menjadi dua: kewalian mutlak dan kewalian tergantung, atau kewalian umum dan kewalian khusus. Jika kita anggap kewalian menyangkut pada dirinya sendiri, maka ia merupakan sifat Ilahi dalam pengertian mutlak; jika kita menganggap sebagai terkait dengan para nabi dan para wali, maka ia kewalian tergantung. Tambahan pula, yang tergantung diperkaya dan diberi validitas oleh kewalian mutlak dan yang mutlak mendapatkan manifestasinya dalam yang tergantung; jadi, kewalian para nabi dan wali merupakan bagian dari kewalian mutlak, sebagaimana kenabian para nabi merupakan bagian dari kenabian mutlak. Karena kenabian mutlak dari awal secara khusus milik Muhammad dan hakikatnya, dan kesinambungan ini dari realitas asli khusus milik para nabi dan rasul dari Adam hingga Isa (yang merupakan manifestasi-manifestasi berbeda dari realitas Muhammad), maka kewalian mutlak khusus untuk Ali bin Abi Thalib dan realitasnya (melalui pewarisan spiritual dan esensial dari prakeabadian) dan setelah itu (melalui kesinambungan realitas awal) kepada keturunannya yang suci. Garis spiritual ini merentang hingga Allah mengakhirinya dengan al-Mahdi.”27

 

Keyakinan pada hadirnya wali di setiap zaman banyak beredar di kalangan Sufi. Bahkan, Ibn ‘Arabi sendiri, mengutip Muthahhari28, menerima sudut pandang Syi’ah—meski menentang ajaran-ajarannya. Bahkan ia menceritakan nama-nama para imam. Malah ia mengklaim dirinya bertemu dengan Muhammad bin Hasan Al-Askari dengan kata-kata berikut: “Aku telah bertemu dengan Muhammad bin Hasan Al-‘Askari, yang sekarang dalam persembunyian dan usianya sekarang 300 tahun lebih.”29

Jika Syi’ah mengandaikan bahwa kehadiran imam di setiap zaman itu melalui pendekatan nas dan filsafat (dan mukasyafah untuk elit spiritual tertentu), maka Ibn ‘Arabi, sebagai “pucuk pimpinan” dalam dunia Sufisme, menghampirinya dengan pemaknaan kata—selain mukasyafah yang hampir selalu beliau dapatkan. Bagaimanapun, kedua-duanya (Sufisme dan Syi’ah) sama-sama meyakini hadirnya imam zaman yang menyaksikan amal perbuatan manusia.[]

 

Rujukan:

Amini, Ayatullah Ibrahim, Al-Imam Al-Mahdi: The Just Leader of Humanity, Qum: Ansariyan, 1997.

Amuli, Sayyid Haydar, Inner Secrets of the Path, Dorset: Element Books, 1989.

Gulpaygani. Ayatullah al-Uzma Shaykh Lutfullah Safi, Discussions Concerning Al-Mahdi, Qum: Ansariyan, 2001.

Izutsu, Toshihiko, Sufism and Taoism: A Comparative of Key Philosopical Concepts. California: University of California Press, 1984.

Muthahhari, Murtadha, Imamah dan Khilafah, Jakarta: Firdaus, 1991.

Sachedina. A.A., Islamic Messianism: The Idea of the Mahdi in Twelver Shi’ism, Albany: SUNY Press, 1981.

Sadr, Muhammad Baqir, Discussions Concerning Al-Mahdi (Bahtsun Haula al-Mahdi, 2001.

Tabatabai, Allamah S.M.H., Shi’a. Qum: Ansariyan, 2001.

 

* Mahasiswa S-2 untuk Program Islamic Mysticism di Islamic College-Universitas Paramadina.

1 A.A Sachedina, Islamic Messianism: The Idea of the Mahdi in Twelver Shi’ism,(Albany: SUNY Press, 1981), hal.1; Allamah S.M.H. Thabathaba’I, Shi’a, (Qum: Ansariyan, 2001), hal.212; Ibrahim Amini, Al-Imam Al-Mahdi: The Just Leader of Humanity (Qum: Ansariyan, 1997), hal.48-53.

2 Sachedina, Islamic Messianism, hal.1.

3 Thabathaba’i, Shi’a, hal.89.

4 Thabathaba’i, Shi’a, hal.89.

5 Thabathaba’i, Shi’ah, hal.93.

6 Thabathaba’i, Shi’a, hal.89.

7 Thabathaba’i, Shi’a, hal.106.

8 Thabathaba’i, Shi’a, hal.106-107.

9 Thabathaba’i, Shi’a, hal.113.

10 Ibrahim Amini, Al-Imam Al-Mahdi.

 

11 Ibrahim Amini, Al-Imam Al-Mahdi. Lihat juga Ayatullah al-Uzma Shaykh Lutfullah Safi Gulpaygani, Discussions Concerning Al-Mahdi, (Qum: Ansariyan, 2001).

 

12 Muhammad Baqir Sadr, Discussions Concerning Al-Mahdi (Bahtsun Haula al-Mahdi), 2001; Thabathaba’i, Shi’a.

 

13 Muhammad Baqir Sadr, Discussions Concerning Al-Mahdi.

14 Ibrahim Amini, Al-Imam Al-Mahdi.

15 Ibrahim Amini, Al-Imam Al-Mahdi.

16 Ibrahim Amini, Al-Imam Al-Mahdi.

17 Muhammad Baqir Shadr, Discussions Concerning Al-Mahdi.

18 Ibrahim Amini, Al-Imam Al-Mahdi, hal.57-8.

19 Ibrahim Amini, Al-Imam Al-Mahdi, hal.59.

20 Ibrahim Amini, Al-Imam Al-Mahdi, hal.61-3.

21 Ibrahim Amini, Al-Imam Al-Mahdi, hal.64-6.

22 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative of Key Philosopical Concepts (California: University of California Press, 1984), hal.220.

23 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism, hal.227.

24 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism, hal.263

25 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism, hal.263-4.

26 Sayyid Haydar Amuli, Inner Secrets of the Path (Dorset: Element Books, 1989), hal.156-7.

 

27 Sayyid Haydar Amuli, Inner Secrets of the Path, hal.122

28 Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah (Jakarta: Firdaus, 1991), hal.177.

29 Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, hal.177.


source : www.ikmalonline.com
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Berapa banyak surah dalam al-Qur’an yang menggunakan nama-nama para Nabi Ilahi?
DIALOG ANTARA MUSLIM DAN KRISTEN [13]
Nabi Daud: Ya Allah, Tunjukkan Kawanku di Surga
Menengok Sahabat Nabi (Kritik atas Kritik Hadis II)
Tauhid : Fondasi Keluarga Muslim
Menilik Hikmah Adanya Kiamat
PARA PENCARI ARTI
Taqiyah dalam Mazhab Maliki
Sunni, Syiah, atau Wahabi: Apa Bedanya?
filsafat penciptaan setan

 
user comment