Indonesian
Thursday 28th of March 2024
0
نفر 0

Mushaf Fathimah bukanlah Al-Qur’an-nya Syiah

Mushaf Fathimah bukanlah Al-Qur’an-nya Syiah

Benarkah Syi’ah mempunyai Al-Qur’an yang disebut dengan

Mushaf Fathimah sa?

Kata shuhuf di dalam kitab suci Al-Qur’an berarti kitab

secara mutlak, sebagaimana digunakan di dalam ayat:

“Dan apabila catatan-catatan amal disebarkan.” (QS. Al-

Takwir [81]: 10)

“Sesungguhnya hal ini telah ada dalam kitab-kitab

terdahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS.

Al-A’la [86]: 18-19)

Kata mushhaf juga mempunyai akar kata yang sama dengan

kata shuhuf dan berarti buku atau kitab yang dijilid.

Pada awal sejarah Islam, bahkan sepeninggal Rasulullah

Saw, Mushaf belum jadi nama Al-Qur’an, melainkan

digunakan untuk menyebutkan setiap kitab yang dijilid.

Ibnu Abi Dawud Sajestani di dalam bab ‘Pengumpulan Al-

Qur’an’, meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin bahwa

‘Ketika Rasulullah Saw wafat, Ali as berkata, ‘Aku

bersumpah tidak akan meletakkan kain Rida ke bawah

selain untuk Shalat Jum’at kecuali setelah berhasil

mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur’an.’ Abul Aliyah juga

meriwayatkan, ‘Mereka mengumpulkan Al-Qur’an di sebuah

Mushaf pada masa kekhalifahan Abu Bakar.’ Dia juga

meriwayatkan, ‘Umar bin Khathab memerintahkan

pengumpulan Al-Qur’an dan dialah orang pertama yang

mengumpulkan Al-Qur’an dalam sebuah Mushaf (kitab).’[1]

Ungkapan-ungkapan ini membuktikan bahwa pada zaman itu

kata Mushhaf digunakan dengan arti buku besar atau kitab

yang dijilid sehingga lembaran-lembarannya tidak

tercerai berai. Tapi lambat laun kata itu digunakan

sebagai salah satu nama dari Al-Qur’an. Hadis-hadis dari

para imam suci as menunjukkan bahwa pada zaman mereka

sendiri kata itu masih digunakan juga untuk arti kitab

atau buku catatan. Imam Ja’far Shadiq as berkata,

‘Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an dari lembaran-

lembaran berjilidnya niscaya dia akan mendapatkan

keuntungan dari matanya.’[2] Pada hadis lain disebutkan,

‘Membaca Al-Qur’an dari lembaran-lembaran berjilid akan

mengurangi siksa yang dirasakan oleh kedua orangtua.

(sepeninggal mereka)’[3]

Mengenai biografi Khalid bin Mi’dan, para sejarawan

menuliskan, ‘Khalid bin Mi’dan mencatat ilmunya di

sebuah buku yang berkancing dan berikatan.’[4] Khalid

bin Mi’dan adalah salah seorang tabiin yang mengalami

tujuh puluh sahabat Nabi Muhammad Saw. Ibnu Atsir

menyebutkan biografinya di materi Kala’i.[5]

Sampai di sini jelas bahwa sampai akhir abad ke-1, kata

mushaf berarti kitab atau buku jilidan yang dijadikan

tempat pencatatan ilmu oleh kebanyakan orang. Jika di

kemudian hari Al-Qur’an juga disebut dengan Mushaf tiada

Iain karena keluar dari benak atau ingatan orang menjadi

tulisan di atas Iembaran-Iembaran yang dijilid.

Berdasarkan keterangan di atas, sama sekali tidak

mengherankan apabila putri Nabi Muhammad Saw Fathimah

Zahra sa mempunyai Mushaf dimana beliau mencatat dan

menyimpan ilmu serta pengetahuannya yang beliau dapat

dari sang ayah, Rasulullah Saw, di dalam Mushaf

tersebut, lalu mewariskannya kepada keturunan beliau.

Terang saja keturunan beliau mengetahui hakikat yang

sebenarnya dari Mushaf itu, mereka mengatakan, ‘Mushaf

ini tiada Iain adalah ilmu dan pengetahuan yang didengar

oleh beliau dari sang ayah atau dari jalur Iain.’

Berikut ini kami akan menukil berapa riwayat yang

berkaitan dengan Mushaf ini:

Hasan bin Ali as berkata, ‘Pada kami terdapat Kitab

Jami’ yang memuat hukum-hukum halal dan haram, begitu

pula Mushaf Fathimah sa yang di dalamnya tidak satu pun

kata dari Al-Qur’an, melainkan hasil dikte Rasulullah

Saw yang ditulis tangan oleh Amirul Mukminin Ali as, dan

semua itu ada pada kami.’[6]

Dengan penuh perhatian imam as mengingatkan kepada kita

semua di dalam Mushaf Fathimah tidak terdapat hukum

halal dan haram, sehingga jangan sampai muncul anggapan

bahwa telah turun wahyu syariat kepada putri Nabi

Muhammad Saw.

Dalam hadis Iain, Imam Ja’far Shadiq as menjelaskan

tentang Mushaf Fathimah seraya berkata, ‘Demi Allah, di

dalamnya tidak terdapat satu kata pun dari Al-Qur’an.’

Perawi meriwayatkan, ‘Lantas aku bertanya kepada beliau,

‘Apakah di dalamnya terdapat ilmu?’ dan beliau menjawab,

‘Tentu saja ada, tapi bukan ilmu yang biasa.’[7]

Berdasarkan bukti dan keterangan di atas, jelas bahwa

Mushaf Fathimah sa tidak ada kaitannya dengan Al-Qur’an,

sedangkan orang-orang yang menjadikannya sebagai dalih

pembenaran atas terjadinya tahrif atau distorsi terhadap

Al-Qur’an tidaklah keluar dari dua kemungkinan;

kemungkinan yang pertama adalah dia orang yang punya

niat buruk dengan tuduhan itu, dan kemungkinan yang

kedua adalah dia orang yang tidak tahu dan berkata

sesuatu tanpa penelitian tentang hakikat yang sebenamya

dari sesuatu tersebut.

Selanjutnya kami akan menjelaskan hakikat yang

sebenarnya tentang hal ini:

 

Muhaddats dalam Islam

Salah satu ajaran yang pasti diterima oleh ulama Islam

adalah adanya orang-orang muslim tertentu sebagai

muhaddats. Orang-orang ini bukan nabi dan tidak ada

wahyu yang turun kepada mereka. Tapi pada saat yang

sama, para malaikat berbicara dengan mereka dan mereka

mendengar pembicaraan para malaikat tersebut, karena itu

mereka disebut dengan muhaddats dengan bentukan kata

objektif; dengan kata lain, malaikat membawakan hadis

(berbicara) dengan mereka. Bukhari meriwayatkan bahwa

Rasulullah Saw bersabda, ‘Di kalangan para pendahulu

Bani Israil terdapat orang-orang yang diajak bicara dari

alam gaib, dan pada saat yang sama mereka bukan nabi.

Dan seandainya di kalangan umatku ada orang yang seperti

ini niscaya orang itu adalah Umar bin Khathab.’[8]

Jumlah hadis tentang muhaddats di tengah umat Islam yang

diriwayatkan melalui jalur Ahli Sunnah sangat banyak,

begitu pula keterangan tentang kata dan istilah ini dari

kalangan mereka, karena itu tidak mungkin kita nukil

hadis-hadis dan keterangan itu di sini, dan penjelasan

yang disampaikan oleh para komentator kitab Shobhih

Bukhari tentang hal ini kami rasa sudah cukup untuk

membuktikan kebenarnanya.[9]

Syaikh Kulaini di dalam kitab Al-Kafi menulis sebuah bab

dengan judul ‘Innal A’immata Muhaddatsiin Mufahhamiin’ –

yang artinya, sesungguhnya para imam suci as itu

muhaddats dan mufahham- dengan muatan hadis-hadis yang

bersangkutan. Seluruh hadis yang ditulisnya dalam bab

ini membuktikan bahwa muhaddats adalah orang yang

mendengar pembicaraan malaikat tapi tidak melihatnya.

Kemudian syaikh menambahkan, ‘Seluruh imam suci Ahli

Bait as adalah orang-orang yang muhaddats.’[10]

 

Fathimah Zahra sa Seorang Muhaddats

 

Putri Nabi Muhammad Saw Fathimah Zahra sa karena

kesempurnaan dirinya termasuk orang yang muhaddats;

artinya, orang yang mendengar pembicaraan malaikat tapi

tidak melihatnya. Dan pengalaman ini terjadi ketika ayah

mulia beliau meninggal dunia. Kesedihan menyelimuti

dirinya, ketika itulah Malaikat Jibril turun kepadanya

dengan perintah Allah Swt, dia datang dengan membawa

kabar tentang masa depan untuknya dan dengan cara itu

dia hendak menghiburnya.

Sekarang, kami akan menjelaskan ciri-ciri Mushaf

Fathimah sa berdasarkan keterangan dari keturunan suci

beliau sendiri:

Imam Ja’far Shadiq as berkata, ‘Kala Allah Swt mencabut

ruh Rasul-Nya, kesedihan yang mendalam menyelimuti diri

Fathimah Zahra sa, maka Allah Swt mengutus malaikat

untuk menghiburnya, lalu Fathimah Zahra sa memberitahu

Amirul Mukminin Ali as apa yang beliau dengar (dari

malaikat tersebut), sehingga Ali as berkata kepadanya,

‘Kapan pun engkau mendengar suara malaikat maka beritahu

aku apa yang dikatakannya supaya aku dapat

menuliskannya.’ Maka laporan-laporan yang sampai kepada

Fathimah Zahra sa melalui malaikat dan disampaikan oleh

beliau kepada Amirul Mukminin Ali as terkumpul dalam

sebuah buku yang kemudian disebut dengan Mushaf. Namun,

di sana tidak terdapat hukum halal dan haram, melainkan

di dalamnya terdapat kabar-kabar ghaib tentang masa

depan.[11]

 

 

CATATAN :

[1] Al-Mashahif, Hafidz Abu Bakar Abdullah bin Abi Dawud

Sajestani, hal. 9-10.

[2] Ushul Al-Kafi, jld. 2, hal. 613.

[3] Ibid.

[4] Al-Mashohif, ibid., hal. 134 & 135.

[5] Al-Lubab fi Tahdzib Al-Ansab, lbnu Atsir, jld. 3,

hal. 62 & 63.

[6] Basha’ir Al-Darojat, Shaffar, hal. 157 & 158.

[7] UshuI Al-Kafi, ibid, hadis no. 1.

[8] Shahih Al-Bukhori, jld. 2, hal. 194, bab Manaqib

Umar bin Khathab.

[9] lrsyad Al-Sari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, jld. 6,

hal. 99.

[10] Ushul Al-Kafi, jld. 1, hal. 325-327.

[11] Ushul Al-Kafi, bab ‘Fihi Dzikr Al-Shohifah’, hadis

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article


 
user comment