Indonesian
Friday 19th of April 2024
0
نفر 0

persahabatan (1)

persahabatan (1)

Islam mempunyai pandangan tentang persahabatan dan memilih teman, dan menjelaskannya kepada orang-orang mukmin. Imam Ali as. berkata, “Sesiapa yang tidak mempunyai teman, maka ia tidak memiliki simpanan.” (al-Bihâr, juz 5, h.363)
Beliau juga berkata, “Teman adalah kerabat yang paling dekat.” (al-Ghurar, juz 1, h.177)
Imam dalam hadis lain bersabda, “Teman adalah satu nyawa bagi jasad-jasad yang bermacam-macam.” (al-Ghurar, juz 2, h.123)
Yang harus diperhatikan di sini ialah bahwa tidak semua persahabatan diperkenankan oleh Islam. Ketika seorang teman itu sangat dekat melebihi kerabat, biasanya ia mempunyai banyak pengaruh bagi seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Jika seseorang ingin berteman dalam agama, maka lihatlah dengan siapa ia berteman.” (al-Bihâr, juz 72, bab 14, hadis ke-12)
Nabi saw. pernah bersabda, “Kenalilah orang-orang melalui teman-teman mereka, karena setiap orang berteman dengan seseorang yang membuat dirinya merasa senang.” (al-Mustadrak, juz 8, bab 10, h.327, hadis riwayat 9568)
Imam Ali as. berkata, “setiap orang cenderung pada yang serupa dengannya.” (al-Ghurar, juz 4, h.532)
Imam juga berkata, “Orang-orang baik tidak bersahabat kecuali dengan orang yang sejalan dengan mereka, dan orang-orang buruk tidak suka (berteman) kecuali dengan orang yang serupa dengan mereka.” (al-Ghurar, juz 6, h.376)
Dapat kita simpulkan dari keterangan hadis-hadis di atas bahwa memilih teman dan sahabat harus teliti dan mempunyai kriteria-kriteria khusus. Pada pelajaran ini dengan melihat uraian ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis, akan kami paparkan dengan jelas tentang kriteria terpenting bagi seorang teman dan sahabat. Akan kami terangkan pula di pelajaran berikutnya tentang orang-orang yang tidak layak dijadikan teman—menurut Al-Quran dan hadis— dan berteman dengan mereka harus dihindari jauh-jauh.
1. Dua ayat di bawah ini mengajak kita agar bergaul dan berteman dengan orang-orang yang siang dan malamnya selalu ingat kepada Allah dan selalu mencari keridhaan-Nya.
Firman Allah, “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.” (QS al-An’âm:52)
Dan firman Allah, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya.” (QS al-Kahfi:28)
2. Rasulullah saw. juga mewasiatkan agar kita berteman dengan orang-orang besar dan mulia. Sabda beliau mengatakan, “Orang yang paling bahagia adalah orang yang bergaul dengan orang-orang mulia.” (al-Bihâr, juz 1, bab 4, hadis ke-13)
3. Diterangkan dalam hadis (Nabi saw.) yang lain, beliau mengajak kita agar berteman dengan manusia-manusia Ilahi. Nabi saw. ketika ditanya, “Siapakah orang yang paling utama untuk dijadikan teman?”
Rasulullah saw. menjawab, “Adalah orang yang mengingatkanmu kepada Allah ketika memandangnya, dan yang ucapannya menambah pengetahuanmu serta yang amal perbuatannya mengingatkanmu akan hari akhirat.” (al-Mustadrak, juz 5, bab 42, hadis 6173)
4. Imam Hasan Askari as. membawakan sebuah hadis yang panjang dari jalur ayah-ayahnya (ke atas), dari Imam Sajjad as., menjelaskan tentang tolok ukur yang tepat dalam mengenal (pribadi) orang-orang. Dalam hadis itu diterangkan tanda-tandanya yang dengan itu akan dapat mengenal (memilah) antara hamba-hamba Allah yang saleh dan yang lain. Begitu pula sebaliknya, kita dapat mengetahui orang-orang yang tidak layak dijadikan teman. Dari hadis itu, terdapat suatu petunjuk bagi kita, jika memperhatikan dengan saksama keterangan-keterangannya yang memukau dan hal-hal yang jelas dan bermanfaat. Pada hakikatnya hadis itu adalah sebuah pelajaran yang agung.
Imam Ali Zain al-Abidin as. berkata, “Apabila kamu melihat seorang lelaki yang baik kelakuannya dan cara petunjuknya; yang zuhud ucapannya; yang tawadhu tingkah lakunya, maka hati-hati jangan sampai kamu tertipu. Alangkah banyak orang yang ditaklukkan oleh kesenangan dunia dan perbuatan haram yang disebabkan lemahnya dan kerendahan dirinya dan jiwa pengecutnya. Dan karena itu ia jadikan agama sebagai kedok, sehingga orang-orang terkecoh oleh lahiriahnya.
“Jika ia berkuasa atas perbuatan haram, ia akan mencobanya; dan bila kamu temukan ia, ia bersih dari harta yang haram. Maka hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu, sebab nafsu syahwat makhluk bermacam-macam. Alangkah banyak orang yang tidak makan harta haram meskipun nilainya banyak, namun ia masih mau melakukan perbuatan buruk dan akibatnya ia terjerumus dalam perbuatan haram. Jadi, jika kamu melihat perilaku ini, hati- hatilah jangan sampai tertipu, sampai kamu saksikan pandangannya berlandaskan pada apa.
“Sungguh banyak orang yang berbuat buruk tetapi -pada saat yang sama- yang haram ia tinggalkan, lalu ia tidak kembali pada akal yang kukuh. Dalam kondisi seperti itu yang membuat ia tersesat (disebabkan kebodohannya), lebih banyak dari memperbaiki dirinya dengan akalnya. Jadi bila kamu temukan orang yang berakal kukuh, lagi-lagi berwaspadalah, jangan sampai kamu tertipu! Sampai kamu saksikan apakah hawa nafsunya mengalahkan akalnya? Ataukah dengan akalnya ia menguasai nafsunya? Seberapa besar cintanya pada pemerintahan yang batil? Dan seberapa besar kezuhudannya terhadap itu? Sebab, di tengah orang-orang terdapat manusia yang rugi dunia akhirat; meninggalkan dunia karena dunia. Dan ia melihat, kenikmatan pemerintahan yang batil lebih utama dari kenikmatan harta dan kenikmatan-kenikmatan yang mubah dan halal lainnya. Kemudian ia tinggalkan itu semua dengan mencapai kedudukan pemerintahan, sehingga ‘Apabila dikatakan kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkan berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahanam. Dan sungguh neraka jahanam itu tempat tinggal seburuk- buruknya.’ (QS al-Baqarah:206)
“Ia menjadi geram dan membabibuta, ia ikuti awal kebatilan menuju ke puncak kerugian yang paling jauh; dan Tuhan menolongnya sesudah ia memohon atas lemah terhadap sesuatu di waktu lalim; di waktu itu ia menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Tetapi ketika sukses pemerintahannya, ia tidak peduli dengan kehilangan agamanya. Mereka itu adalah orang-orang yang dalam kemarahan Allah dan Allah melaknat mereka dan janji Allah bagi mereka adalah azab yang sangat pedih.
“Adapun seorang lelaki adalah lelaki yang sejati (sempurna). Seorang lelaki yang paling utama adalah orang yang keinginannya menaati perintah Allah; yang daya kekuatannya dipergunakan untuk meraih keridhaan Allah; ia menyaksikan suatu kehinaan di jalan kebenaran itu lebih dekat pada kemuliaan abadi yang batil; dan ia mengetahui bahwa sedikitnya beban dan ujian yang dipikul dapat mengantarkannya pada kenikmatan yang abadi di alam yang tak binasa dan tak berakhir; dan bahwa kenikmatan yang banyak yang membuatnya tunduk pada hawa nafsu akan mengantarkan pada azab yang tak henti-henti. Seorang lelaki yang demikian itu adalah lelaki yang paling utama, maka berpeganglah kamu kepadanya dan contohlah perilakunya; dan bertawasullah kepada Allah darinya, sebab Allah pasti mengabulkan permohonannya dan tidak akan menyia-nyiakan permintaannya.” (al-Bihâr, juz 2, bab 14, hadis ke-10) .
Hadis ini, yang merupakan pandangan Imam Sajjad as., mengungkapkan bahwa tolok ukur keutamaan seseorang bukan kebaikan lahiriah, bukan ucapan yang zuhud, juga bukan sikap jaga jarak dengan harta dan hal yang haram dan lain-lain. Hanyalah orang yang hatinya bersih dari cinta dunia dan jabatan duniawi, yang siap menanggung kehinaan demi keridhaan Allah dan segala keinginannya dilandasi akal dan syariat Allah, adalah orang yang patut diikuti dan menjadi teman karib.
5. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. mewasiatkan agar kita bersahabat dengan orang-orang yang bijaksana dan orang-orang miskin: “Bertanyalah kepada alim ulama, bergaullah dengan orang-orang bijaksana dan duduklah bersama orang-orang miskin.” (al-Bihâr, juz 1, bab 3, hadis ke-5)
Dalam hadis yang serupa dengan hadis atas, Imam Ali as. berkata, “Bergaullah dengan orang-orang yang bijaksana, duduklah bersama para ulama, dan hindarilah dunia materi, maka kelak tempat tinggalmu di surga al-Ma’wa.” (al-Ghurar, juz 4, h.205)
Imam juga berkata, “Sering-seringlah berbuat benar dan maslahat dengan bertemankan para pemikir.”
6. Imam Hasan Mujtaba as. dalam nasihatnya kepada Junadah bin Abi Umayyah, mengatakan, “Bersahabatlah dengan orang yang membuat dirimu mulia dan wibawa; yang dapat menambah kemuliaanmu; yang dalam segala hal membuatmu sempurna; dan yang dengan bantuannya dapat menutupi kekuranganmu.”
Beliau berkata, “Bersahabatlah dengan orang yang jika kamu bersahabat dengannya, dapat menghiasi dirimu; yang jika kamu khidmat kepadanya, terpelihara kepribadianmu; dan yang jika kamu perlu bantuannya, ia membantumu. Dan jika kamu berkata, ia percaya; jika kamu ulurkan tanganmu di hadapannya untuk kebaikan, ia sambut; jika melihatmu mempunyai masalah, ia berusaha menyelesaikan; jika melihat kebaikanmu, ia (selalu) mengingatnya; jika kamu menginginkan sesuatu darinya, ia berikan, dan jika kamu diam, ia sodorkan kepadamu; jika kamu perlu sesuatu, ia sodorkan kepadamu sebelum kamu berkata kepadanya; dan jika marabahaya mendatangimu, ...” (al-Bihâr, juz 44, bab 22, hadis ke-6)
7. Iika berteman dan bersahabat dilandasi kebenaran maka antarteman harus saling menghiasi dan mengisi, saling mengingatkan, dan menutupi kekurangan bukan menguntungkan sepihak serta saling menghormati dan pengertian. Imam Baqir as. berkata, “Iringilah orang yang menangisimu dan menasihatimu. Jangan ikuti orang yang menertawakanrnu dan dia menipumu. Kamu semua akan kembali kepada Allah dan kamu akan mengetahuinya.” (juz 75, bab 48, hadis ke-31)
Imam Ja’far Shadiq as. berkata, “Saudaraku yang paling aku cintai ialah orang yang menghadiahkan aib-aibku kepada diriku.” (juz 74, bab 19, hadis ke-4)
Hal yang perlu diperhatikan dalam hadis Imam Shadiq as. ialah memberitahu kekurangan seperti memberi hadiah yang membuat hatinya senang dan gembira.
Kesimpulannya dari pembahasan di atas adalah, dalam memilih teman dan sahabat kita harus teliti. Di satu sisi, hal itu disebabkan teman membawa pengaruh bagi kepribadian manusia dan di sisi lain menjelaskan tentang kejiwaan, spiritual dan kepribadian setiap manusia dalam masyarakat. Kita harus berhubungan dengan teman dan bersahabat dengan orang-orang tertentu yang memberi pengaruh baik bagi kepribadian kita dan membuat diri kita sempurna, mulia, dan wibawa di masyarakat.
Selanjutnya, kami ingin menjelaskan tentang siapakah orang yang patut dan yang harus kita temani? Dan siapakah orang yang menurut Rasulullah saw. dan para imam as. harus kita jauhi dan waspadai untuk menjadi teman kita?
Pada dasarnya, kita harus tahu bahwa seorang muslim di sisi Allah terikat oleh keadaan dirinya, oleh keinginan akan segala hal, suara dan bisikan hati, ingin berbuat sesuatu, ingin bergaul, dan seterusnya.
Dalam hal ini, Imam Zain al-Abidin as. berkata, “Tidak sepatutnya kamu duduk bersama siapa saja yang kamu inginkan, sebab Allah swt. berfirman, “Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olok ayat- ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa, maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (QS al-An’âm:68) "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah merahmati seorang hamba yang berkata baik lalu beruntung atau diam lalu selamat. Dan tidak patut bagimu mendengar segala apa yang ingin kamu dengar, sebab Allah Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya.” (QS al-Isrâ.:36).

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Tempat Kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Menyingkap Keperibadian hazrat Zainab (A.S)
Akhlak dan Ilmu Akhlak
AlQuran Bukan Produk Budaya
Mengenal Peristiwa Mubahalah
3 Tips Al-Qur’an agar Doa Cepat Terkabul
Filosofi Peringatan Acara Hari Ketiga, Ketujuh, Keempat Puluh dan Haul Kematian
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 1-2
Tanya Jawab mengenai Syafaat dalam Al-Quran
Mengapa Abdul Mutthalib memberikan nama anaknya dengan nama Abdul Uzza?

 
user comment