Indonesian
Friday 29th of March 2024
0
نفر 0

Hak dan Kewajiban Suami-Istri, antara Fikih dan Akhlak (Bagian Ketiga)

Hak dan Kewajiban Suami-Istri, antara Fikih dan Akhlak (Bagian Ketiga)



6. Tidak Memaksa Istri untuk Melakukan Pekerjaan Rumah
Dalam budaya kita tugas istri itu ada di wilayah sumur, dapur, dan kasur sehingga ada mitos seperti itu. Namun dalam hukum fikih ternyata wilayah sumur dan dapur bukan merupakan kewajiban dan tugas istri untuk melakukannya. Bahkan, dalam kitab Tahrir Wasilah Imam Khomaeni menyatakan dengan tegas bahwa seorang suami tidak berhak memaksa istrinya untuk melakukan pekerjaan rumah. Dalam Kitab Resoleye Tauzihul Masail Imam Khomaeni menjelaskan,

“Suami tidak berhak memaksa istrinya, untuk melakukan pekerjaan rumah”. [Resoleye Taudzih al-Masail, masalah ke-2411]

7. Memberikan Nafkah Batin (Kebutuhan Seksual)
Kebutuhan seksual termasuk hal yang diperhatikan dalam ajaran Islam. Kebutuhan ini harus dilakukan dalam sebuah hubungan yang sehat dan halal. Karena begitu pentingnya masalah ini, Islam memberikan perhatian yang khusus agar tidak terjadi penyimpangan. Dalam fikih praktis pemenuhan kebutuhan seksual merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang suami. Berkaitan dengan hal ini, dalam kitab Tahrir Wasilah Imam Khomaeni menjelaskan,

“Seorang suami tidak boleh meninggalkan hubungan biologis dengan istrinya lebih dari empat bulan, bahkan untuk nikah mut’ah sekalipun. Kecuali istrinya merelakannya, atau karena terdapat halangan (udzur) yang dapat membahayakan suami atau istri. Salah satu halangannya (udzur) adalah suami tidak dapat berhubungan karena terdapat gangguan dalam alat kelamin. Jika meninggalkan hubungan biologis karena tidak ada  halangan (uzur) seperti hal-hal yang disebutkan di atas, maka bagi seseorang yang tidak bepergian (musafir) wajib untuk melaksanakannya. Adapun bagi orang yang musafir, selama kepergian adalah untuk keperluan darurat menurut pandangan umum (urf), seperti untuk berdagang, berziarah, belajar dan sebagainya, maka ia dapat meninggalkan kewajibannya tersebut. Tetapi, jika kepergiannya bukan karena urusan darurat, seperti untuk berrekreasi dan bersenang-senang, maka ia harus melakukan kewajiban tersebut.”

“Seorang suami tidak dapat membiarkan istrinya seperti seorang perempuan yang tidak bersuami, juga tidak dapat dikatakan istri yang bersuami. Namun, meski demikian, tidak harus tinggal bersama istrinya sekali dalam empat malam.”

“Jika istrinya seorang gadis, maka pada tujuh hari pertama pernikahannya, suami harus tidur bersama istrinya. Namun, jika istrinya seorang janda, maka hanya pada tiga hari pertama saja, kecuali istrinya merelakannya hak-haknya.”

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Imam Husain As dalam Pandangan Ahlusunnah
Sifat Jamal dan Jalal Ilahi
Bagaimana mukjizat itu dapat didefinisikan dan dibuktikan?
Salafi Wahabi Adalah Benalu Bagi Jama’ah Kaum Muslimin
Kisah Sayyidina Ali ra dan 3 Orang Yahudi Tentang Ashabul Kahfi
Kisah Ashabul Kahfi dan sains
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 7-10
Puasa Ramadhan dalam tradisi Islam Syiah (bag satu)
Ciri-Ciri Dikuasai Hawa Nafsu
Larangan Allah Mendekati Perbuatan Keji

 
user comment