Ya Allah, bila ada seorang hamba menyerangku, padahal
Engkau larang; atau merampas hakku, padahal Engkau
cegah; dan ia sudah mati dengan kezalimannya kepadaku,
atau aku dapat mengadukannya ketika ia hidup; ampunilah
dia atas apa yang dilakukannya padaku; maafkanlah dia
atas pengkhianatannya padaku. Jangan Kau periksa dia
karena apa yang dikerjakannya padaku; jangan bukakan
keburukan dia karena perlakuannya padaku. Jadikan semua
maaf yang aku berikan kepadanya dan semua sedekah yang
aku sumbangkan kepadanya, sedekah yang paling suci dari
orang-orang yang bersedekah dan hadiah yang paling
agung dari orang-orang yang mendekatkan diri pada-Mu.
Gantilah maafku kepada mereka dengan ampunan-Mu.
Gantilah doaku untuk mereka dengan rahmat-Mu sehingga
kami semua bahagia dengan karunia-Mu dan semuanya
selamat dengan pemberian-Mu.”
Doa ini–yang diberi nama “Doa Memohonkan Ampunan dan
Kasih Allah”- disampaikan oleh Ali bin Husain, aka As-
Sajjad, seorang manusia suci dari keluarga Nabi saw.
Siapakah orang-orang yang ia doakan? Doa ini
dilantunkan bagi para katib yang mencaci-maki,
memfitnah, dan menghujat kakeknya, Ali bin Abi Thalib,
di mimbar-mimbar Jumat.
Doa ini juga bagi orang-orang yang mengeroyok ayahnya
di Karbala dan menumpahkan darah keluarga Nabi saw dan
para pengikutnya, serta bagi para prajurit yang dengan
kejam menyeretnya dan para perempuan dalam rangkaian
rantai besi dari Karbala, Kufah, sampai ke Damaskus.
Pasca-Karbala, tahun 61 Hijriah, As-Sajjad diseret
beserta keluarganya menempuh sahara panjang dalam
keadaan terbelenggu. Perjalanan panjang itu ditempuh
penuh penderitaan, kelaparan, dan kehausan. Tak jarang
para penjaga mempermainkan mereka, memberikan cawan air
lalu membuangnya.
Kira-kira lima tahun kemudian, Mukhtar Al-Tsaqafi
memimpin gerakan rakyat untuk menggulingkan para tiran.
Ia memburu pasukan yang dahulu terlibat dalam
pembantaian Karbala.
Dalam kepanikan mencari perlindungan terdekat, salah
seorang di antara mereka mengetuk pintu rumah As-
Sajjad. Ia membuka pintu dan segera mengenalinya.
Inilah orang yang dahulu menahan air darinya, menendang
cawan air dari hadapannya.
Ia mempersilakannya masuk. Tidak seperti sikap mereka
ketika ia meminta air minum karena kehausan yang
mencekiknya, As-Sajjad melayaninya dengan baik. Orang
itu tidak mengenali tuan rumah karena sorban menutup
mukanya. Ia bertanya, “Siapakah engkau? Begitu baik
melayaniku!”
Ali menjawab, “Lupakah engkau kepadaku.” Ia singkapkan
lengan bajunya dan menampakkan bekas belenggu di
pergelangan tangannya, “Akulah Ali bin Husain.”
Kekuatan Memaafkan
Saya ceritakan lagi kisah Ali As-Sajjad pada Lebaran
tahun ini. Dalam tradisi kita, Lebaran adalah hari
bermaaf-maafan, anak dengan orang tuanya, tetangga
dengan tetangganya, pegawai dengan atasannya, rakyat
dengan pemimpinnya, tak peduli agama, ras, atau
golongan. Namun kali ini, Lebaran menjenguk kita
setelah peristiwa politik yang mencerai-beraikan.
Belum pernah bangsa ini dicabik-cabik secara masif
seperti pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Media
sosial diramaikan dengan saling menghujat, saling
mencemooh, dan saling memaki. Hati Ibu Pertiwi
terkoyak-koyak dengan luka dalam yang ditorehkan para
putranya.
Satu-satunya cara menjahit lagi luka itu adalah
memaafkan. Memaafkan itu menyembuhkan. Apa yang akan
terjadi kalau kita memaafkan?
Dr Fred Luskin, direktur Stanford Forgiveness Project,
dengan menggunakan metode eksperimental meneliti dampak
dari latihan memaafkan. Secara singkat, hasilnya
adalahforgiveness improves physical and emotional
well-being; memaafkan itu meningkatkan kesejahteraan
fisik dan emosional.
Orang yang ikut latihan memaafkan lebih sehat secara
fisik dan mental karena ia lebih bahagia. Penelitian
mutakhir menunjukkan, orang pemaaf memiliki kesehatan
yang lebih baik, mendapat dukungan sosial yang lebih
kuat (artinya lebih banyak punya teman yang setia);
lebih kecil kemungkinannya kecanduan miras atau
merokok; lebih sedikit menderita depresi, stres, dan
kecemasan; serta lebih kurang mengalami masalah dalam
hubungan interpersonal.
Menurut Fincham, Hall, dan Beach, pasangan yang pemaaf
menikmati kehidupan keluarga bahagia, berkomunikasi
lebih baik, dan bergaul lebih mesra dan lebih empatis.
Memaafkan juga mengurangi kekecewaan, kemarahan,
dendam, dan pertengkaran dalam pernikahan.
Dr Dan Colbert, dalam buku bestseller-nya, Deadly
Emotion, menceritakan seorang pasien cantik berusia
tiga puluh tahunan yang semula didiagnosis rematik.
Setelah dirawat oleh rematolog, penyakitnya makin
parah. Ia menderita sakit di sekujur tubuhnya. Tidak
lama kemudian, ia meninggal dalam keadaan yang
mengenaskan.
Dr Colbert menyesal karena ia tidak memperhatikan
keluhan pasiennya dalam anamnesis yang pertama.
Perempuan itu meledakkan kemarahannya karena suaminya
punya perempuan idaman lain. Keinginannya membalas
dendam telah merusak seluruh sistem imunnya.
Seharusnya, dokter tersebut memberikan resep yang
mujarab, memaafkan!
“Keuntungan lain dari memaafkan, Anda bukan saja
mengalami kedamaian dan kebahagiaan, tetapi juga
peningkatan kemesraan dalam keluarga,” tutur Philip H
Friedman dalam bukunyaThe Forgiveness Solution.
Memaafkan adalah solusi, sedangkan memupuk dendam
adalah delusi. Memaafkan membawa Anda kepada
kebahagiaan. Tidak memaafkan menarik Anda kepada
kegilaan. Dalam bahasa tasawuf, memaafkan menyucikan
dan mencerahkan; melepaskan dendam yang mencemari dan
menggelapkan.
Puasa sudah berlalu. Dalam puasa, diperintahkan Tuhan
agar kalian menjadi orang-orang yang takwa. Tanda-tanda
orang takwa adalah mengendalikan amarah, memaafkan
orang, dan berbuat baik (Alquran 3:134).
Seorang budak bermaksud mencurahkan air untuk membantu
Ali bin Husain berwudu. Tiba-tiba, cereknya jatuh dan
melukai muka Ali. Darah mengalir. Budak itu secara
spontan mengucapkan ayat, “Dan orang-orang yang
mengendalikan amarahnya.”
As-Sajjad berkata, “Aku kendalikan marahku.”
Budak itu melanjutkan, “Dan memaafkan orang lain.”
Ia berkata, “Semoga Allah memaafkan kamu.”
Budak itu melanjutkan ayat takwa, “Dan Allah mencintai
orang-orang yang berbuat baik.”
Imam As-Sajjad berkata, “Aku merdekakan kamu karena
Allah!”