Sepertinya perbedaan pandangan antara Ibnu Sina dan al-Ghazali terkait dengan perjalanan jiwa paska kematian itu terletak pada penafsiran masalah ma'âd jasmani. Al-Ghazali memandang bahwa jiwa paska kematian akan kembali kepada badan materi ini; dalam kondisi seperti ini apabila ia memiliki iman dan amal saleh di dunia maka ia akan memperoleh kenikmatan material dan spiritual secara sempurna.
Dalam menjelaskan pandangan ini, para penyokong pendapat al-Ghazali berkata, "Akal menghukumi bahwa kebahagiaan ruh-ruh terletak pada makrifatullah dan kebahagiaan badan-badan dalam mengenal segala yang inderawi. Namun dua kebahagiaan di dunia ini tidak akan diraih secara bersamaan;karena manusia selagi ia tenggelam dalam manisfestasi cahaya-cahaya alam ghaib, ia tidak akan menaruh perhatian pada kelezatan jasmani. Demikian juga apabila ia sibuk dengan urusan-urusan jasmani maka ia tidak akan dapat mencicipi kelezatan ruhani.
Hal ini disebabkan oleh kelemahan ruh-ruh manusia di alam ini. Namun tatkala ruh-ruh ini meninggalkan badan-badan maka ia akan semakin kuat dan kian sempurna. Tatkala ruh-ruh dikembalikan ke badan di alam akhirat maka ia akan dapat memperoleh dua kebahagiaan ini. Dan sudah barang tentu kondisi ini merupakan sebaik-baik level kebahagiaan.
Adapun pendapat Ibnu Sina, pertama, ma'âd jasmani tidak dapat ditetapkan dari sudut pandang rasional, namun hal ini ia bukan tidak meyakini adanya ma'âd jasmani, melainkan ia meyakini ma'âd jasmani namun untuk dapat menetapakannya hal itu dapat dilakukan melalui ayat-ayat dan riwayat-riwayat bukan melalui akal.[1]
Kedua, penafsiran Ibnu Sina terkait dengan ma'âd jasmani dan eksplorasi jiwa atas pelbagai kelezatan material di alam akhirat sedemikian sehingga tidak dapat dikatakan secara akurat bahwa badan material akan kembalidi alam akhirat dan pelbagai kelezatan alam akhirat persis dengan pelbagai kelezatan material yang ada di dunia.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa Ibnu Sina setelah membagi ma'âd menjadi ma'âd jasmani dan ma'âd ruhani serta menegaskan bahwa jenis jasmaninya dalam ma'âd jasmani tidak dapat ditetapkan dan menyatakan bahwa ma'âd jasmani dapat ditetapkan melalui jalan syariat (ayat-ayat dan riwayat-riwayat). Menurut Ibnu Sina, ma'âd jasmani yang diriwayatkan oleh syariat harus diyakini dengan hukum afirmasi berita kenabian meski jalan akal (rasional) tertutup untuk menetapkan hal tersebut. Namun keluasan syariat adalah hak Rasulullh Saw, kondisi bahagia dan sengsara bagi badan, tidak jelas bagi kita.
Menurut Ibnu Sina, terdapat ma'âd lainnya yang dapat dipahami melalui silogisme argumentatif dan penalaran rasional yang juga ditegaskan oleh kenabian. Ia menilai ma'âd tersebut adalah kebahagiaan dan penderitaan yang terkait dengan jiwa, meski kita tidak dapat menggambarkannya.
Penerimaan ma'âd ruhani dan penafsiran Ibnu Sina terkait dengan ma'âd jasmani bergantung pada abstraksi jiwa manusia dan memahami bagaimana jiwa merasakan lezat dan sakit.
Yang dapat dipahami dari pembahasan ma'âd Ibnu Sina secara umum adalah pembagian jiwa-jiwa menjadi jiwa rasional, jiwa sederhana dan jiwa pandir. Menurutnya setiap jiwa sebelum berpisah dari badan sesuai dengan tuntutan kondisinya, mengikut pada badannya. Terikutnya badan ini adalah karena pengaturan yang dilakukan jiwa pada badan. Namun pada kondisi tersebut, kebahagiaan dan penderitaan dapat dilukiskan. Sebagian dari kebahagiaan dan penderitaan ini berhubungan dengan kehidupan ukhrawi yang diperoleh karena adanya kematian dan paska terpisahnnya jiwa dari badan.
Nampaknya pembagian Ibnu Sina yang membagi kebahagiaan dan penderitaan menjadi tinggi (hakiki) dan rendah (khasisi), serta pemisahan jenis pemberdayaan jiwa-jiwa atas badan dan kemestian realisasi jisim pada sebagian tingkatan dan tiadanya keharusan pada seluruh tingkatan sehingga mendapat tudingan bahwa ia mengingkari ma'ad jasmani.
Di samping itu,isyarat akhir Ibnu Sina dalam pembahasan ma'âd yang bersandar pada pandangan bahwa bahkan dalam pencerapan-pencerapan indrawi dan fantasi yang menyebabkan adanya kelezatan dan penderitaan kita adalah gambaran bentuk sesuatu yang dicerap bukan sebuah hakikat luaran, demikian juga penegasannya atas keunggulan dan kesempurnaan kelezatan ruhani dibandingkan dengan kelezaan jasmani yang menunjukkan bahwa ia lebih memilih ma'âd ruhani ketimbang ma'âd jasmani.[2] [iQuest]
[1]. Silahkan lihat Indeks, Pandangan Mulla Sadra terkait dengan Ma'ad Jasmani, 30992; Ma'ad Jasmani, 6234.
[2]. Diadaptasi dari makalah-makalah Zuhrah Tawaziyani, Ibnu Sinâ wa Ittihâm Inkâr Ma'âd Jasmâni (Ibnu Sina dan Tuduhan Pengingkaran Maad Jasmani) dan Ma'ad Jasmâni az Didgah Mutakallimin wa Ibnu Sina (Ma'ad Jasmani dalam Pandangan Para Teolog dan Ibnu Sina).
source : www.islamquest.net