Kami berhadapan dengan kesulitan tentang kisah-kisah para nabi dalam Injil. Apakah al-Qur'an dan riwayat-riwayat Islam memiliki kisah-kisah dan hal-hal yang berkenaan dengan Nabi Khidir?
Jawaban Global
Dalam al-Qur'an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, "Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS..al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan maqam penghambaan, ilmu dan pengetahuan khususnya. Disini Nabi Khidir disebut sebagai guru Nabi Musa bin Imran. Dalam banyak riwayat, sosok alim atau guru ini disebut dengan nama Khidir.
Nabi Khidir adalah seorang alim rabbani yang telah mendapatkan rahmat khusus Ilahi, dan mendapat tugas pada wilayah batin dan sistem penciptaan semesta. Ia mengetahui sebagian dari rahasia-rahasia penciptaan. Dari satu sisi Nabi Khidir adalah guru Nabi Musa bin Imran As, meski dalam beberapa sisi, Nabi Musa As lebih unggul dari Nabi Khidir As.
Dari sebagian riwayat dan bentuk lahir sebagian redaksi ayat-ayat al-Qur'an dapat disimpulkan bahwa Nabi Khidir memiliki maqam kenabian, dan termasuk dari para nabi yang diutus oleh Allah Swt kepada kaumnya supaya menyeru mereka kepada tauhid dan pengakuan terhadap para nabi, rasul dan kitab-kitab samawi.
Mukjizatnya adalah kapan saja ia menghendaki, sesuai dengan izin Ilahi, agar kayu kering atau tanah kering menjadi rimbun dan hijau, maka kehendak ini akan segera terlaksana. Karena itu, Nabi Khidir disebut sebagai Khidr (bermakna hijau) dan gelarnya adalah Khidir. Nama asli Nabi Khidir adalah Talia bin Malik bin Abir bin Arfaksyad bin Sam bin Nuh.
Al-Qur'an terkait dengan kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa As bercerita, "Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang dapat menjadi sumber petunjuk dan kebenaran diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Musa berkata, "Apabila Allah menghendaki, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun." Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu." Maka berjalanlah keduanya hingga tatkala keduanya menaiki perahu, lalu Khidir melubanginya. Musa berkata, "Mengapa kamu melubangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidir) berkata, "Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku. Musa berkata, "Janganlah kamu menghukumku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan suatu kesulitan dalam urusanku." Maka berjalanlah keduanya hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak. Lalu Khidir membunuhnya. Musa berkata, "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar." Khidir berkata, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" Musa berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku." Maka keduanya berjalan hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri. Mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh. Maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata, "Jika kamu mau, niscaya kamu dapat mengambil upah untuk itu." Khidir berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka menjadi dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (QS. al-Kahfi [18]: 65-82)
Jawaban Detil
Dalam al-Qur'an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, "Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. al-Kahfi [18]: 65) Ayat ini menjelaskan maqam penghambaan, ilmu dan pengetahuan khususnya. Disini Nabi Khidir disebut sebagai guru Nabi Musa bin Imran. Dalam banyak riwayat, sosok alim ini disebut dengan nama Khidir.
Nabi Khidir adalah seorang alim rabbani yang telah mendapatkan rahmat khusus Ilahi, dan mendapat tugas pada wilayah batin dan sistem penciptaan semesta. Ia mengetahui sebagian dari rahasia-rahasia penciptaan. Dari satu sisi Nabi Khidir adalah guru Nabi Musa bin Imran As, meski dalam beberapa sisi, Nabi Musa As lebih unggul dari Nabi Khidir As.
Dari sebagian riwayat dan bentuk lahir sebagian redaksi ayat-ayat al-Qur'an dapat disimpulkan bahwa Nabi Khidir memiliki maqam kenabian, dan termasuk dari para nabi yang diutus oleh Allah Swt kepada kaumnya supaya menyeru mereka kepada tauhid dan pengakuan terhadap para nabi, rasul dan kitab-kitab samawi.
Mukjizatnya adalah kapan saja ia menghendaki, sesuai dengan izin Ilahi, agar kayu kering atau tanah kering menjadi rimbun dan hijau, maka kehendak ini akan segera terlaksana. Oleh karena itu, Nabi Khidir disebut sebagai Khidir (bermakna hijau) dan gelarnya adalah Khidir. Nama asli Nabi Khidir adalah Talia bin Malik bin ‘Abir bin Arfaksyad bin Sam bin Nuh.[1]
Dalam al-Qur'an tidak disebutkan secara tegas tentang nama Nabi Khidir kecuali kisah perginya Nabi Musa As ke Majma' al-Bahrain. Demikian juga, al-Qur'an tidak mengutip seluruh sifat-sifatnya kecuali dengan redaksi ayat yang disebutkan pada surah al-Kahfi, "Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. al-Kahf [18]: 65)
Dari sabda Imam Shadiq As diriwayatkan bahwa beliau bersabda, "Adapun hamba saleh Tuhan, Khidir, Allah Swt telah memanjangkan usianya bukan untuk risalahnya dan juga bukan untuk kitab yang diturunkan kepadanya atau dengan perantaranya dan syariatnya, kemudian menganulir (nasakh) syariat para nabi sebelumnya, juga bukan karena imamah yang mengharuskan para hamba-Nya mengikutinya, juga bukan karena ketaatan yang diwajibkan Tuhan bagi para hamba kepadanya, melainkan Allah Swt, Maha Pencipta, menghendaki usia Imam Qaim (Imam Mahdi Ajf) menjadi sangat panjang pada masa ghaibatnya dan mengetahui bahwa para hamba-Nya akan mempersoalkan dan mengkritisi usianya, atas dasar itu, Allah Swt memanjangkan usia hamba saleh-Nya (Khidir) sehingga dengan usianya yang panjang itu dapat dijadikan sebagai bahan argumentasi dan diserupakan usia Imam Mahdi Ajf. Dengan demikian, kritikan dan objeksi para musuh dan orang-orang yang berpikir jahat dapat digugurkan."[2]
Tanpa ragu Nabi Khidir masih hidup dan sekarang ini berusia lebih dari enam ribu tahun.[3]
Kehidupan Nabi Khidir dan kepergiannya ke laut kegelapan dan mencicipi air kehidupan, merupakan hal-hal yang telah dibahas dalam kitab-kitab sejarah dan hadis secara rinci. Anda dapat merujuk pada kitab-kitab rinci hadis untuk telaah lebih jauh.[4]
Keikusertaan Nabi Khidir dalam perayaan Idul Ghadir di lembah Ghadir Khum dan pada acara duka tatkala Rasulullah Saw wafat serta pada acara duka syahadah Imam Ali As juga disebutkan dalam kitab-kitab hadis.
Imam Ridha As bersabda, "Nabi Khidir hidup dari air kehidupannya dan tetap akan hidup hingga ditiupnya sangkakala. Ia akan datang kepada kami dan menyampaikan salam kepada kami. Kami mendengarkan suaranya dan melihatnya.[5] Nabi Khidir turut serta pada musim haji dan melaksanakan seluruh manasik haji. Berdiri di padang Arafah pada hari Arafah dan mengaminkan doa bagi orang-orang beriman. Allah Swt dengan perantaranya, pada masa ghaibat, menyingkirkan keterasingan dari qaim (Imam Mahdi) kami dan menggantikan kepanikannya menjadi ketenangan.[6]
Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa Nabi Khidir termasuk bagian tiga puluh orang yang menyertai Imam Mahdi Ajf dan sesuai dengan instruksi Imam Mahdi Ajf mengerjakan pelbagai urusan.[7]
Nabi Khidir dalam al-Qur'an
Nabi Musa As disertai alim rabbani ini[8] berangkat bersama-sama menaiki bahtera. Kemudian Alim rabbani tersebut melubangi bahtera! "Maka berjalanlah keduanya hingga tatkala keduanya menaiki perahu, lalu Khidir melubanginya." (QS. al-Kahf [18]: 71)
Mengingat bahwa dari satu sisi Nabi Musa As merupakan salah satu nabi besar Ilahi dan harus menjaga jiwa dan harta masyarakat, melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Dari sisi lain, nurani kemanusiaannya tidak rela untuk berdiam diri di hadapan perbuatan ini. Karena itu, Nabi Musa As melancarkan protes dan berkata, "Mengapa kamu melubangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar." (QS. al-Kahfi [18]: 71)
Sudah barang tentu tujuan alim rabbani tersebut bukanlah untuk menenggelamkan bahtera, namun karena hasil perbuatan ini tidak lain kecuali tenggelam, maka Musa mengingatkan dengan menggunakan ungkapan "lam ghayat" (huruf lam yang digunakan sebagai pengungkap akibat atau tujuan perbuatan) litughriqa ahlah "akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya" (QS. al-Kahfi [18]: 71)
Pada sebagian riwayat, kita membaca bahwa penumpang bahtera segera mengetahui bahaya yang mengancam dan lubang yang ada sementara waktu dapat ditutup. Namun bahtera tersebut bukan lagi sebuah bahtera yang baik dan laik pakai.
Pada saat itulah, alim rabbani tersebut (Nabi Khidir) dengan nada tenang menyanggah ucapan Musa, "Dia (Khidir) berkata, "Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.'" (QS. al-Kahfi [18]: 72)
Musa yang menyesali sikap terburu-buru dan tergesa-gesa itu pun karena pentingnya persoalan yang di hadapannya dan mengingat janjinya, segera meminta maaf kepada gurunya dan "Musa berkata, "Janganlah kamu menghukumku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan suatu kesulitan dalam urusanku." (QS. al-Kahfi [18]: 73) Artinya, dengan kata lain Musa ingin menegaskan bahwa, teguran yang aku lontarkan itu merupakan sebuah kesalahan dan apa yang telah berlalu biarlah berlalu. Maafkanlah aku.
Perjalanan berlayar berakhir dan mereka turun dari bahtera. "Maka berjalanlah keduanya hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak. Lalu Khidir membunuhnya. Musa kembali menampakkan reaksinya, "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar." (QS. al-Kahfi [18]: 74) Kembali alim rabbani itu dengan tenang mengulang ucapannya, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (QS. al-Kahfi [18]: 75)
Musa mengingat janjinya disertai dengan rasa malu; mengapa ia dua kali melanggar janjinya, meski alasannya lupa. Pelan-pelan Musa merasa bahwa boleh jadi apa yang disampaikan gurunya ada benarnya, meskipun apa yang dilakukannya semenjak permulaan tidak dapat diterima oleh Musa. Karena itu, kembali ia menyampaikan ucapan maaf dan berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku." (QS. al-Kahfi [18]: 76)
Setelah percakapan ini dan Musa mengungkapkan janji, "Maka keduanya berjalan hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri. Mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka." (QS. al-Kahfi [18]: 76)
Sudah pasti Musa dan Khidir bukanlah orang-orang yang ingin membebani penduduk negeri itu. Jelas bahwa persediaan bekal mereka telah hilang atau habis dalam perjalanan. Karena itu, mereka ingin dijamu sebagai tamu oleh penduduk negeri itu (kemungkinan ini juga ada; bahwa Khidir dengan sengaja mengusulkan demikian supaya menjadi pelajaran baru bagi Musa).
Kemudian al-Qur'an mengimbuhkan, "Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh. Maka Khidir menegakkan dinding itu." (QS. al-Kahfi [18]: 77) Supaya rumah tersebut tidak roboh.
Musa yang tentu saja kala itu telah letih, capek dan lapar, dan yang paling penting, ia merasa kepribadiannya yang tinggi dan kedudukan gurunya, diinjak-injak karena perlakuan tidak simpatik penduduk negeri itu. Dan dari satu sisi, ia menyaksikan bahwa Khidir di hadapan penghinaan ini memperbaiki dinding rumah yang hampir roboh seolah-olah ia ingin memperoleh upah dari perbuatannya itu. Musa berpikir bahwa alangkah baiknya jika gurunya melakukan perbuatan itu untuk mendapatkan upah sehingga dapat dibelanjakan untuk membeli makanan.
Karena itu, ia kembali melupakan janjinya dan melancarkan protes. Namun protes ini lebih lembut dan lebih ringan dari yang sebelum-sebelumnya. "Musa berkata, "Jika kamu mau, niscaya kamu dapat mengambil upah untuk itu." (QS. al-Kahfi [18]: 77)
Disinilah Khidir, menyampaikan ucapan terakhirnya kepada Musa, karena dari rangkaian peristiwa yang telah berlalu, Khidir telah yakin bahwa Musa tidak kuasa menahan diri di hadapan pelbagai perbuatan yang dilakukannya. "Khidir berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (QS. al-Kahfi [18]: 78)
Berpisah dari pemimpin seperti ini sangatlah sulit bagi Musa. Namun itulah kenyataan getir yang harus dihadapi olehnya.
Penafsir terkenal al-Qur'an, Abu al-Futuh berkata dalam sebuah riwayat, ketika Musa ditanya tentang momen manakah yang paling sulit diantara pelbagai kesulitan dalam hidupnya? Musa berkata, "Saya telah merasakan pelbagai kesulitan dalam hidup saya. (Meyinggung penderitaanya selama masa Fir'aun dan pelbagai kesulitan yang dihadapinya dalam masa pemerintahan Bani Israel) Namun tidak satu pun dari kesulitan dan penderitaan ini menyamai ucapan Khidir yang mengabarkan perpisahan darinya. Perpisahan itu sangat berbekas dalam diriku."[9]
Setelah tanda-tanda perpisahan Musa dan Khidir menjadi pasti, ada baiknya guru rabbani ini mengabarkan kepada Musa tentang rahasia-rahasia perbuatan yang tidak dapat ditolerir oleh Musa. Dan sejatinya, manfaat yang didapatkan Musa sebagai buah dari perjalanan bersama Khidir dan pengetahuannya terhadap tiga peristiwa aneh dapat menjadi kunci untuk banyak persoalan dan merupakan sebuah jawaban atas selaksa pertanyaan yang tersimpan dalam benaknya.
Rahasia-rahasia dari tiga peristiwa ini adalah sebagai berikut:
"Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera." (QS. al-Kahfi [18]: 78-79)
Dengan demikian, di balik tindakan melubangi bahtera tersimpan tujuan penting yaitu menyelamatkan penumpang bahtera dari seorang raja perampas. Karena raja itu sekali-kali tidak akan menggunakan bahtera-bahtera yang telah rusak. Singkatnya, tindakan yang dilakukan Khidir adalah untuk menjaga keselamatan orang-orang susah dan hal itu harus dilakukannya.
Kemudian, Khidir menjelaskan peristiwa kedua yaitu membunuh seorang pemuda, "Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran." (QS. al-Kahfi [18]: 80)
Nabi Khidir, membunuh anak itu dan memandang kekhawatiran atas peristiwa pahit yang kelak akan terjadi bagi ayah dan ibu mukmin apabila anak itu tetap dibiarkan hidup, sebagai dalil mengapa ia membunuh anak itu.
Dalam beberapa hadis yang disebutkan dalam pelbagai literatur Islam kita membaca, "Allah Swt menggantikan anak laki-laki itu dengan seorang anak perempuan yang dari keturunannya lahir tujuh puluh nabi."[10]
Pada akhir ayat yang menjadi obyek bahasan, guru rabbani itu menyingkap tirai rahasia yang menutupi perbuatannya yang ketiga yaitu memperbaiki dinding roboh dan berkata, "Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka menjadi dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri." (QS. al-Kahfi [18]: 82) Dan aku, lantaran kebaikan ayah dan ibu dua yatim ini, ditugaskan untuk memperbaiki dinding tersebut jangan sampai roboh sehingga mereka tidak tertimpa bahaya.
Akhir kata, untuk menghilangkan pelbagai keraguan dan kesangsian Musa, supaya ia meyakini bahwa seluruh perbuatan ini dilakukan berdasarkan agenda dan tugas tertentu, Nabi Khidir berkata, "Dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri" melainkan sesuai dengan firman dan titah Tuhan. "Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (QS. al-Kahfi [18]: 82)
Legenda-legenda Buatan
Kisah Musa dan Khidir, asas dan dasarnya adalah sebagaimana yang disebutkan al-Qur'an. Namun disayangkan, di sela-sela kisah tersebut, telah banyak legenda dan mitos yang dibuat, yang terkadang terdapat penambahan atas kisah ini berupa tokoh-tokoh takhayul! Harap diketahui bahwa kisah Musa dan Khidir ini bukanlah semata-mata sebuah kisah yang berujung pada suratan takdir seperti ini dan tidak terdapat lagi kisah-kisah lainnya. Untuk memahami sebuah kenyataan faktual maka yang harus dijadikan sebagai kriteria adalah ayat-ayat al-Qur'an dan bahkan hadis-hadis hanya dapat diterima apabila sejalan dengan ayat-ayat tersebut. Apabila terdapat sebuah hadis yang berlawanan dengan apa yang dikisahkan al-Qur'an maka tentu saja hal itu tidak dapat diterima.[11] [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh ihwal kisah Nabi Khidir kami persilakan Anda untuk menelaah beberapa literatur di bawah ini:
Majma' al-Bayân, jil. 6, terkait dengan ayat 65-81 surah al-Kahfi.
Nur al-Tsaqalain, jil. 3, ayat terkait.
Al-Mizân, jil. 13, ayat terkait.
Durr al-Mantsur dan kitab-kitab tafsir lainnya pada ayat terkait.
[1]. Silakan lihat Terjemahan Persia al-Mizan, jil. 13, hal. 584.
[2]. Ibid.
[3]. Kamâl al-Din, jil. 3, hal. 357. Bihâr al-Anwâr, jil. 51, hal. 222.
[4]. Yaum al-Khalâsh, hal. 157.
[5]. Bihâr al-Anwâr, jil. 12, hal. 172-215 & jil. 13, hal. 278-322.
[6]. Namun terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa para Imam Maksum As melihat Nabi Khidir As. Kamâl al-Din, jil. 2, hal. 390. Bihâr al-Anwâr, jil. 13, hal. 299.
لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ (ص) جَاءَ الْخَضِرُ فَوَقَفَ عَلَى بَابِ الْبَیْتِ وَ فِیهِ عَلِیٌّ وَ فَاطِمَةُ وَ الْحَسَنُ وَ الْحُسَیْنُ (عَ)
[7]. Ghaibat Nu'mâni, hal. 99. Bihâr al-Anwâr, jil. 52, hal. 158.
[8]. Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan alim rabbani atau guru rabbani disini adalah Nabi Khidir.
[9]. Tafsir Abu al-Futuh Râzi, ayat terkait.
[10]. Nur al-Tsaqalain, jil. 13, hal. 286-287.
[11]. Disarikan dari Tafsir Nemune, jil. 12, hal. 486 dan seterusnya. Al-Mizân fi Tafsir al-Qur'ân, jil. 13, ayat terkait.
source : www.islamquest.net