Mengapa berduka atas Penghulu para Syahid (Sayyid al-Syuhadâ) kita sebut sebagai raudhah (threnody, narasi musibah)?
Jawaban Global
Terminologi membaca raudhah (threnody, narasi musibah) adalah sebuah kebiasaan yang mentradisi di antara para orator dan tukang pidato yang diadopsi dari kitab Raudhah al-Syuhadâ.
Kitab ini merupakan salah satu kitab pertama yang menyebutkan pelbagai peristiwa tragis yang terjadi Karbala. Kitab ini disusun oleh Mulla Husain Kasyifi Sabzawari (910 H) dalam Bahasa Persia yang kemudian dibacakan selama bertahun-tahun pada majelis-majelis duka. Atas dasar inilah, majelis-majelis duka kemudian populer dengan bacaan raudhah yang digunakan secara umum hingga kini.
Jawaban Detil
Dewasa ini raudhah (threnody) atau bacaan narasi musibah secara terminologis dapat juga disebut sebagai martsiyah (elegi). Membacakan narasi musibah bagi para maksum As dan Ahlulbaitnya adalah tradisi yang banyak mendapat sokongan dari para Imam. Di samping itu, membacakan raudhah merupakan salah satu faktor terpeliharanya agama dan terciptanya jalinan kasih antara manusia dan para wali Allah.
Makna asli raudhah adalah kebun dan taman. Umumnya narasi martsiyah disebut sebagai narasi raudhah karena para pembaca martsiyah di masa silam kebanyakan membacakan narasi peristiwa tragis Karbala melalui kitab Raudhah al-Syuhadâ karangan Mulla Husain Kasyifi.
Mullah Husain Kasyifi wafat pada tahun 910 H merupakan salah seorang alim dan orator ulung dengan vokal indah dan lantang. Ia berasal dari Sabzewar yang hidup pada abad kesembilan Hijriah. Pada masa kekuasaan Sultan Husain Baiqari, Mullah Husain Kasyifi pergi ke Harat (pusat pemerintahan Sultan Husain Baiqari). Karena memiliki hafalan yang kuat dan vokal yang indah dengan cepat ia menjadi terkenal. Orang-orang ramai mendatangi majelis-majelis ceramahnya dan telah menarik perhatian raja, para pangeran, pembesar kerajaan, menteri dan maestro pencetak seniman Amir Ali Syirnawa. Mulla Husain Kasyifi menyusun empat puluh kitab dan risalah. Di antara kitab tersebut adalah Raudhah al-Syuhadâ yang menarasikan peristiwa tragis Karbala yang ditulis dalam Bahasa Persia.
Karena kefasihan teks kitab ini, para orator kemudian membacakannya pada majelis-majelis duka selama bertahun-tahun. Pelan tapi pasti, bacaan narasi raudhah kemudian ditinggalkan dan materi-materi yang terkandung dalam kitab tersebut dibacakan dengan hafalan. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Muhammad bin Sulaiman Fudhuli pada abad kesepuluh.[1]
Bagaimana pun karena ketenaran karya ini dan penggunaannya pada majelis-majelis duka para Imam Maksum As, maka majelis-majelis seperti ini disebut sebagai majelis pembacaan musibah (raudhah) yang secara umum digunakan hingga hari ini. [IQuest]
[1]. Untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat, Farhangg-e ‘Âsyurâ, Jawad Muhadditsi, hal. 189, Nasyr Ma'ruf, Qum, 1374 H. Negâresy-e Irfân, Falsafi, wa Kalami be Qiyâm wa Syakhshiyat-e Imâm Husain As, Qasim Turkhan, hal. 470, Nasyr Celceragh, Qum, 1388 S.
source : www.islamquest.net