Penanggalan Qamariyah sudah dikenal luas di kalangan masyarakat Arab pra-Islam dan terdiri dari 12 bulan sama seperti penanggalan-penanggalan lain. Setelah munculnya Islam, penanggalan Qamariyah diterima oleh kaum Muslim sebagai sebuah penanggalan agama dan nasional. Pada era kekhalifahan Umar bin Khattab, peristiwa hijrah Rasul Saw dari Mekkah ke Madinah menjadi awal sejarah penanggalan Islam. Oleh sebab itu, penanggalan ini disebut sebagai kalender Hijriah Qamariyah.
Dalam sistem kalender Hijriah, sebuah hari atau tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut. Kalender Hijriah dibangun berdasarkan silkus bulan yang memiliki 12 bulan dalam setahun. Setiap bulan Hijriah, memiliki antara 29-30 hari dan 12 jam 34 menit dan total hari dalam kalender ini berjumlah sekitar 354-355 hari. Sedangkan penanggalan lain seperti, Hijriah Syamsiah dan Masehi dihitung berdasarkan rotasi bumi mengelilingi matahari dan terdapat sekitar 365-366 hari dalam setahun. Oleh karena itu, hitungan satu tahun kalender Hijriah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan penghitungan satu tahun dalam kalender Masehi.
Seorang sejarawan dan ulama besar Ahlu Sunnah, Ibnu Asakir dalam bukunya “Tarikh Dimashq” menulis, “Bulan Muharram disebut demikian karena perang dan konflik diharamkan di dalamnya dan bulan Safar disebut demikian karena tradisi bangsa Arab meninggalkan rumah-rumah mereka pada bulan itu dan untuk itu disebut Safar (kosong).” Safar berasal dari akar kata “Sifr” yang artinya kosong. Beberapa pakar sejarah juga mengatakan, sebab penamaan Safar karena bulan itu jatuh setelah Muharram dan masyarakat Jahiliyah – setelah jeda perang di bulan Muharram – kembali terlibat dalam perang di bulan Safar. Oleh karena itu, masyarakat Arab mengosongkan tempat tinggal mereka karena khawatir terhadap serangan dan perampasan harta benda. Mereka kemudian mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman dan untuk itu disebut bulan Safar (kosong).
Penduduk kota Hijaz terutama suku Quraisy sebelum kemunculan Islam, telah melakukan beberapa perubahan terhadap aturan mengunjungi Ka’bah dan larangan berperang yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim as dan putranya, Ismail as. Mereka bertindak sesuai hawa nafsu dan terkadang mengumumkan perang di bulan Muharram dan melarangnya di bulan Safar. Akan tetapi dengan datangnya Islam dan turunnya al-Quran, kemuliaan bulan-bulan tersebut kembali dipertegas seperti pada masa Nabi Ibrahim as dan hanya bulan-bulan Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab ditetapkan sebagai bulan haram dan bulan untuk mengunjungi rumah Tuhan.
Al-Quran mengecam distorsi yang dilakukan oleh kafir Quraisy dan tidak mengakui perubahan dalam sunnah-sunnah Ilahi. Dalam surat at-Taubah ayat 37, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu indah. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Pengikut Syiah dan Ahlul Bait as menganggap bulan Safar sebagai momen duka cita, karena pada hari-hari pertama bulan itu, keluarga Imam Husein as dan para tawanan Karbala digiring menuju Syam dan menerima pelecehan dari musuh-musuh Allah Swt. Kondisi yang mereka ciptakan bahkan membuat seorang putri kecil Imam Husein as, Ruqaiyah meninggal dunia di Damaskus. Tanggal 20 Safar juga bertepatan dengan hari ke-40 syahidnya Imam Husein as dan para sahabatnya di Karbala. Arbain adalah masa di mana keluarga Imam Husein as kembali ke Padang Karbala.
Di sepanjang tahun, pengikut Syiah berkumpul di makam Imam Husein as pada hari Arbain. Mereka menggelar majelis duka dan mengenang kembali perjuangan beliau dan para sahabatnya. Salah satu amalan yang dilakukan pada hari itu adalah membaca doa ziarah Arbain, yang sarat dengan pengetahuan tentang Imam Husein as dan musuh-musuh beliau. Berdasarkan riwayat ulama Syiah dan beberapa ulama Ahlu Sunnah, tanggal 28 Safar dikenal sebagai hari wafatnya Rasulullah Saw dan syahidnya cucu beliau, Imam Hasan al-Mujtaba as. Imam Ali ar-Ridha as juga syahid di akhir bulan Safar. Oleh karena itu, pengikut Syiah memperlakukan bulan itu seperti Muharram, yaitu bulan duka dan kesedihan. Akan tetapi, mayoritas sejarawan Ahlu Sunnah berpendapat bahwa Rasul Saw wafat di bulan Rabiul Awal. Oleh sebab itu, mereka tidak memiliki ritual khusus pada bulan Safar.
Berkenaan dengan bulan Safar, beberapa kalangan percaya bahwa Safar adalah bulan turunnya musibah karena Rasul Saw dan beberapa imam maksum as wafat di bulan ini. Oleh sebab itu, sejumlah riwayat menyarankan agar memperbanyak sedekah di bulan Safar untuk menolak bala dan musibah. Pada dasarnya, semua hari di sepanjang tahun adalah hari yang berkah dan manusia dapat berjuang untuk meraih kesuksesan di hari itu dan beribadah untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Swt, meraih keridhaan-Nya, memperbanyak sedekah, dan mengabdi kepada masyarakat.
Bulan Safar juga demikian. Jika manusia ingin meraih keridhaan Tuhan dan berjuang mencapainya, mereka akan menerima bantuan Tuhan dan membantu membuka pintu-pintu rahmat Ilahi ke arahnya. Sebaliknya, jika manusia lalai dari mengingat Tuhan dan mengikuti hawa nafsu dan syaitan, tentu saja mereka akan jauh dari pertolongan Tuhan dan menyeret diri mereka sendiri ke dalam lembah kehinaan dan kehancuran. Mereka juga telah membuka pintu-pintu neraka ke arahnya di hari kiamat.
Tanggal 28 Safar adalah hari wafatnya Rasulullah Saw. Pada hari itu, usia beliau mencapai 63 tahun. Pada masa itu, Imam Ali as dan keluarganya sibuk mempersiapkan pemakaman Nabi Saw. Ali memandikan Nabi Saw tanpa melepas bajunya (sebagaimana wasiat beliau sendiri), dibantu oleh Abbas bin Abdul Muthalib dan putranya, Fadhil. Imam Ali as berkata, “Demi ayah dan ibuku, engkau begitu harum baik di waktu hidup maupun di saat meninggal.” Kemudian mereka meletakkan jasad suci Rasulullah Saw di atas ranjang dan Ali as berkata, “Rasulullah adalah pemimpin kita, baik hidup maupun meninggal.”
Rasul Saw dikuburkan di tempat beliau wafat dan kala itu Ali as berkata, “Ayah dan ibuku kupersembahkan untukmu wahai Rasulullah! Kematianmu membuat kami kehilangan sebuah nikmat di mana kami tidak kehilangannya dengan kematian orang lain dan itu adalah nikmat kenabian dan berita-berita dari langit. Engkau sosok istimewa dan semua orang berduka atas kepergianmu. Jika bukan karena engkau memerintahkan kami untuk bersabar dan melarang kami untuk mengerang, sumber-sumber air mata kami telah kering, duka kami tidak akan sirna, dan kesedihan kami tidak akan terhapus, ini semua juga masih sedikit untukmu. Akan tetapi, tidak ada jalan untuk lari dari kematian, ayah dan ibuku kupersembahkan untukmu wahai Rasulullah! Sebutlah nama kami di sisi Tuhanmu dan selalu ingat kami.”
Tanggal 28 Safar juga hari syahidnya Imam Hasan as, cucu Rasulullah Saw. Beliau adalah putra dari Fathimah dan Ali as. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 3 Hijriah. Sejak lahir hingga usia tujuh tahun, Imam Hasan as dibimbing langsung oleh kakeknya, Rasulullah Saw untuk memahami makrifat Islam. Semasa hidupnya, Rasul Saw menunjukkan kecintaan beliau yang sangat besar kepada anak-anak Fathimah as.
Imam Hasan as dikenal sebagai pribadi yang dermawan, penenang setiap kalbu yang didera kesusahan, dan pengayom kaum fakir-miskin. Tak ada seorang miskin pun yang datang mengadu kepadanya lantas kembali dengan tangan hampa. Terkadang, jauh sebelum si miskin mengadukan kesulitan hidupnya, Imam telah terlebih dahulu membantu mengatasinya dan tak membiarkannya harus merasa hina lantaran meminta bantuan. (IRIB Indonesia/RM)
source : abna