Terkait dengan hari kiamat, al-Quran dalam ayat 38 surah al-Nahl menyatakan, “akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” Mengapa kebanyakan manusia tidak mengetahui? Sementara kenyataan yang ada adalah sebaliknya. Kebanyakan manusia mengetahui hari kiamat itu ada, hanya saja terkadang mereka lupa.
..
Jawaban Global
Para mufasir mengemukakan beberapa kemungkinan sehubungan dengan redaksi ayat, “kebanyakan manusia tiada mengetahui” yang disebutkan pada akhir ayat 38 surah al-Nahl. Kemungkinan ini didasarkan pada sebab turun ayat tentang pengingkaran seorang musyrik tentang hari kiamat.
Apa yang bersifat umum di antara beberapa kemungkinan ini adalah ketidaktahuan sebagian orang dari masyarakat yang mengingkari atau mendustakan hari kiamat, demikian juga terkait dengan hidupnya orang-orang mati pada hari kiamat serta janji-janji pasti Ilahi.
Namun kemungkinan yang nampaknya lebih sesuai dengan memperhatikan konteks ayat-ayat ini bahwa dari sudut pandang al-Quran, setiap ilmu dan pengetahuan, tidak tergolong sebagai ilmu. Sebuah ilmu yang menjadi parameter kebenaran dan menjadi tolak ukur adalah ilmu yang disertai amalan dengan cahaya akal. Atas dasar itu, al-Quran menilai ilmu kebanyakan manusia bukanlah ilmu hakiki.
Jawaban Detil
Ayat 38 surah al-Nahl menyatakan, “
وَ أَقْسَمُوا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمانِهِمْ لا يَبْعَثُ اللهُ مَنْ يَمُوتُ بَلى وَعْداً عَلَيْهِ حَقًّا وَ لكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpah yang sungguh-sungguh, “Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.” (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
Terkait dengan sebab turun ayat ini para mufassir meriwayatkan bahwa seorang Muslim memiliki piutang kepada salah seorang musyrik. Tatkala ia meminta supaya piutangnya dilunasi orang musyrik itu menunda-nunda untuk membayarnya. Si Muslim bersedih hati dan menyatakan sumpah: Demi sesuatu yang menantikanmu setelah kematian (maksudnya adalah hari kiamat dan hari perhitungan).” Orang musyrik itu menimpali, “Apakah engkau mengira kita masih hidup setelah mati nanti? Demi Tuhan bahwa Dia tidak akan menghidupkan satu pun orang mati (ucapan ini dilontarkan karena mengira mustahil orang yang telah mati dapat hidup kembali).” Kemudian ayat di atas turun dan memberikan jawaban kepada orang musyrik itu dan orang-orang semisalnya yang menjelaskan dengan dalil nyata tentang masalah hari kiamat. Sejatinya obrolan dua orang ini menjadi sebab mengemukanya kembali masalah hari kiamat.[1]
Karena itu, mencermati sebab turun ayat ini, Allah Swt dengan pewahyuan ayat ini mengemukakan jenis penyimpangan dan kesesatan berpikir orang-orang musyrik yang tidak segan-segan bersumpah bahwa, “Tuhan tidak akan menghidupkan satu orang pun di hari kiamat.” Mereka menyatakan bahwa prinsipnya tiada satu orang pun yang akan hidup kembali setelah kematian.”
Allah Swt membantah ucapan mereka dan pasti akan membangkitkan mereka. Janji yang diberikan Allah Swt kepada mereka ini sifatnya pasti dan berdasarkan hikmah-kebijaksanaan, Allah Swt akan melaksanakan janji-Nya ini; karena janji Allah Swt itu benar dan tidak akan pernah keliru. Namun kebanyakan orang karena pengingkaran dan kekufuran kepada para nabi tidak memahami kebenaran persoalan ini.[2]
Adapun apa yang dimaksud dengan kebanyakan orang terdapat beberapa kemungkinan yang disodorkan oleh para mufasir al-Quran sebagaimana berikut:
Artinya kebanyakan orang tidak memahmi hikmah hari kiamat dan hidupnya kembali orang-orang yang telah mati, karena itu, mereka mendustainya.[3] Ayat selanjutnya setelah ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt pada hari kiamat akan menghidupkan orang-orang mati untuk menjelaskan apa saja yang mereka ingkari dan perselisihkan. Karena pada hari kiamat mereka akan memperoleh ilmu pasti (ilmu yaqin); dan menghidupkan orang-orang mati sehingga orang-orang kafir tahu bahwa mereka berkata dusta selama di dunia dan ucapan yang mereka sampaikan bahwa Tuhan tidak akan menghidupkan seorang pun di akhirat itu adalah ucapan yang tak berdasar.[4]
Artinya, dari ayat-ayat Tuhan (yaitu penciptaan langit dan bumi, perselisihan masyarakat tentang kezaliman, kejahatan, keadilan, kebaikan dan tugas yang diturunkan kepada mereka dalam bentuk syariat-syariat Ilahiah) menunjukkan tentang adanya pengutusan dan mereka mempertontonkan penentangan dan sikap menjauhi segala yang menunjukkan janji Ilahi ini.[5]
Orang-orang yang tidak mengetahui ajaran-ajaran Ilahi, tidak memperoleh ilmu pengetahuan, dan tidak tahu bahwa alam semesta adalah karya cipta Tuhan yang saling berhubungan satu sama lain di bawah satu mekanisme tunggal yang bergerak menuju kesempurnaan.[6]
Allah Swt melalui para nabi-Nya menjanjikan bahwa Dia akan menghidupkan manusia dan mengganjari perbuatan-perbuatan baik mereka dan janji Allah Swt itu adalah hak dan Allah Swt tidak pernah menyalahi janji-Nya, namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya bahwa Tuhan harus memenuhi janji-Nya.[7]
Apa yang sifatnya umum di antara beberapa pendapat ini adalah bahwa ucapan al-Quran terkait dengan kebanyakan manusia tidak tahu adalah orang-orang musyrik dan para pengingkar firman-firman Allah Swt dan para nabi tentang hari kiamat dan hidupya kembali orang mati. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan kebanyakan pada ayat ini adalah para pengingkar dan orang-orang yang mendustakan hari kiamat.
Namun apa yang nampaknya lebih sesuai adalah konteks dua ayat dalam surah ini adalah tentang ilmu yang berkata-kata kepada kita, dan di samping itu, tentang iman terhadap hari kebangkitan, tentang hijrah di jalan Allah, tentang risalah, bahkan disebutkan bahwa ilmu adalah jalan penghubung di antara ragam tema dua ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya pada surah ini. Karena ilmu memiliki tanggung jawab besar bagi manusia dan masa depan manusia. Tentunya ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang disertai dengan amal. Hal ini dialamatkan kepada orang-orang beriman. Lantaran al-Quran tidak menyebut ilmu sebagai ilmu apabila ia tidak disertai dengan amalan karena ilmu dalam Islam bukanlah penumpukan informasi dan data dalam memori sebagaimana apa yang dikerjakan oleh misalnya komputer.
Dalam Islam, ilmu adalah penyingkapan pelbagai pengetahuan dengan jelas melalui cahaya akal. Ketika itu, pelbagai realitas akan tersingkap. Beramal atas apa yang diketahui adalah hasil fitri sebuah ilmu. Akan tetapi sebagian ayat al-Quran, menyebutkan tentang pengetahuan global Tuhan dan tidak menyangkut tentang amalan; seperti “Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan hujan itu segala jenis buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Oleh karena itu, janganlah kamu menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah [2]:22) sebagaimana pada ayat lain juga menyangkut tentang ilmu, “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (Qs al-Nisa [4]:136) dimana yang dimaksud iman pertama adalah iman secara global dan yang dimaksud iman kedua adalah iman secara rinci yang dijelaskan pada ayat.
Kesimpulan dari kandungan ayat ini adalah bahwa orang-orang beriman harus menyebarkan iman globalnya pada satu-per-satu partikulir ini supaya karena hal-hal partikulir ini adalah pengetahuan-pengetahuan yang saling berhubungan dan bergantung satu sama lain.[8]
Namun apakah mudah mengamalkan ilmu ini? Sama sekali tidak. Bukannya telah disebutkan dalam hadis mulia bahwa: “Tutur kata kami susah (kelihatan susah) dan tiada orang yang beriman padanya kecuali para malaikat muqarrib atau para nabi utusan atau seorang hamba yang hatinya diuji untuk iman.”[9]
Karena itu untuk beramal terdapat pelbagai rintangan dan sandungan yang harus dilalui dan kita harus melewati rintangan dan memenangkan pertarungan ini. Adapun sebagian orang yang lari dari tanggung jawab ilmu ini, membuat dirinya dungu dan menyatakan sumpah-sumpah sesat mereka adalah orang-orang bodoh.
Di satu sisi, paham dan pengenalan tentang dunia dan apa yang menjadi tanggung jawab, nilai-nilai dan realitas di dalamnya tidak akan diperoleh kecuali mengakui jalan menuju akhirat.
Dari sisi lain, pengetahuan terhadap akhirat akan membuat kita beriman kepadanya merupakan sebuah kebenaran tetap yang terdapat di dunia ini, dan kita akan segera mengenalnya dan berdasarkan pengetahuan itu akan diperhitungkan dalam catatan amal kita pada hari kiamat. Karena itu, mau tak mau kita harus mencarinya dan menjadikannya sebagai poros pemikiran dan memikirkan bagaimana mengamalkannya. Apabila kebenaran tidak menjadi poros, maka fondasi dan strukturnya akan roboh yang berdasarkan pengetahuan itu segala sesuatunya akan binasa.
Karena itu apabila hak dan batil faktual tidak ada, husn dan qubh aqli tidak ada menyertainya – sesuai dengan ungkapan para filosof – lantas buat apa kita mencari ilmu? Kriteria apa yang digunakan dalam perjuangan dan dialog? Karena atas dasar itu, kedua ayat ini (38 dan 39) surah al-Nahl menjelaskan tentang hakikat ini.
Dengan demikian, nampaknya al-Quran tidak mengitung ilmu kebanyakan manusia sebagai ilmu sehingga kebanyakan dan mayoritas itu dijadikan sebagai kriteria. Yang menjadi kriteria adalah kebenaran yang akan nampak di akhirat kelak. Akhir ayat menyebutkan tentang hakikat ilmu dan pelbagai kriterianya, dan Allah Mahatahu.[10] [iQuest]
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, jil. 11, hal. 229-230, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Pertama, 1374 S; Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qur’ān, jil. 13, hal. 259, Intisyarat Farahani, Tehran, Cetakan Pertama, 1360 S.
[2] Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qur’ān, jil. 13, hal. 259-260.
[3] Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qur’ān, jil. 13, hal. 260.
[4] (Qs. al-Nahl [16]:39); Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qur’ān, jil. 13, hal. 260; Tafsir Nemuneh, jil. 11, hal. 231.
[5] Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Tafsir al-Mizān, Musawi Hamadani, Sayid Muhammad Baqir, jil. 12, hal. 360, dengan sedikit perubahan, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1374 S.
[6] Husaini Hamadani, Sayid Muhammad Husain, Anwār Derakhsyān, jil. 9, hal. 446-447, Kitabpurusyi Luthfi, Tehran, Cetakan Pertama, 1404 H.
[7] Tsaqafi Tehrani, Muhammad, Tafsir Rawān Jāwid, jil. 3, hal. 286, Intisyarat Burhan, Tehran, Cetakan Ketiga, 1398 H.
[8] Tafsir al-Mizān, Musawi Hamadani, Sayid Muhammad Baqir, jil. 5, hal. 182.
[9] Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, al-Kāfi, jil. 1, hal. 401, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, 1365 S.
[10] Tafsir Hidāyat, jil. 6, hal. 56-58, Bunyad Pazyuhesy-hai Islami Astan Quds Radhawi, Masyhad, Cetakan Pertama, 1377 S
source : islamquest