Apa yang dimaksud dengan frase ayat "seorang terkemuka di dunia dan di akhirat” yang disebutkan pada ayat 45 surah Ali Imran?
Jawaban Global
Pada ayat mulia yang menjadi obyek pertanyaan Anda, kita membaca:
«إِذْ قالَتِ الْمَلائِکَةُ یا مَرْیَمُ إِنَّ اللَّهَ یُبَشِّرُکِ بِکَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسیحُ عیسَى ابْنُ مَرْیَمَ
وَجیهاً فِی الدُّنْیا وَ الْآخِرَةِ وَ مِنَ الْمُقَرَّبین»
“(Ingatlah) ketika malaikat berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya Allah memberi berita gembira kepadamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) dari-Nya, namanya al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang dekat (kepada Allah).’” (Qs. Ali Imran [3]:45)
Pada ayat ini dijelaskan tentang dua makam dan kedudukan bagi Nabi Isa As:
Deskripsi “wajihan fi al-dunyâ wa al-akhirah” dalam al-Quran hanya disebutkan untuk Nabi Isa As dan tidak ada deskripsi dan penyifatan lainnya dalam al-Quran seperti ini.[1] Meski ungkapan ini dalam beberapa riwayat merupakan sebuah doa yang memiliki sisi umum dan siapa pun berdasarkan tingkatan spiritual dan maknawiahnya dapat memohon hal itu kepada Allah Swt.
«اللَّهُمَّ إِنِّی أَتَوَجَّهُ إِلَیْکَ- بِمُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ وَ أُقَدِّمُهُمْ بَیْنَ یَدَیْ صَلَاتِی
وَ أَتَقَرَّبُ بِهِمْ إِلَیْکَ فَاجْعَلْنِی بِهِمْ وَجِیهاً فِی الدُّنْیا وَ الْآخِرَةِ وَ مِنَ الْمُقَرَّبِینَ»
“Tuhanku! Aku menghadap kepada-Mu dengan perantara Muhammad dan Keluarga Muhammad dan mereka adalah perantaraku dalam salatku kepada-Mu dan dalam mendekatkan diri kepada-Mu. Maka jadikanlah Aku di dunia orang yang memiliki kedudukan dan terkemuka di dunia dan akhirat, dan menjadi orang-orang yang dekat pada-Mu.”[2]
Wajih bertimbangan fâ’il berasal dari klausul wajh yang bermakna sesuatu yang mendapat perhatian, kedudukan dan penghormatan.[3] Sisi terkemuka (wajahat) pada ayat mulia di atas menyinggung tentang dua hal sebagai berikut:
Terkemuka di dunia: Terkemukanya Nabi Isa di dunia bermakna bahwa orang-orang akan mengagungkannya dan memandangnya suci hingga hari kiamat.[4] Atau dengan kata lain pengagungan dan pandangan ini bermakna bahwa Nabi Isa memiliki kedudukan kenabian dan kepemimpinan atas masyarakat.[5]
Sebagian ulama memandang kedudukan Nabi Isa As di dunia berkaitan dengan perhatian Nabi Isa As kepada masyarakat dan masyarakat kepadanya. Perhatian ini tercurah pada kehidupan ril masyarakat, dunia masyarakat, segala penderitaan, kesedihan, kegembiraan, dalam kehidupan mental dan spiritual mereka.[6]
Terkemuka di akhirat: Posisi terkemuka Nabi Isa As di akhirat bermakna bahwa Nabi Isa memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Swt[7] di antaranya mampu memberikan syafaat kepada orang-orang beriman.[8]
Posisi Dekat Nabi Isa As
Meski makna muqarrab itu jelas namun harus dikatakan bahwa posisi dan makam menjulang ini menandakan jarak minimal antara Allah Swt dan Nabi Isa As, sebagai hasil dari terkemukanya Nabi Isa. Dengan kata lain, posisi dekat dan lekat dengan Tuhan diperoleh di kedua alam dan hal itu tidak akan dapat tercapai kecuali posisi ini diterima di dunia dan di akhirat. Bukti dari penafsiran ini adalah apa yang dijelaskan pada ayat ini:
«لنْ یَسْتَنْکِفَ الْمَسِیحُ أَنْ یَکُونَ عَبْداً لِلَّهِ وَ لَا الْمَلائِکَةُ الْمُقَرَّبُونَ»
“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada-Nya).” (Qs. Al-Nisa [4]:172)
Akhir kata kami kira perlu menyebutkan poin ini bahwa posisi dekat Nabi Isa As menandaskan bahwa beliau bukanlah merupakan Tuhan dan anak Tuhan (melainkan seorang nabi yang memiliki kedudukan dekat di sisi Allah Swt).[9] [iQuest]
[1]. Muhsin Qiraati, Tafsir Nur, jil. 2, hal. 62, Markaz Farhanggi Darshai az Qur’an, Tehran, 1383 S.
[2]. Muhammad Yakub Kulaini, al-Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil. 2, hal. 544, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keempat, 1407 H.
[3]. Muhammad bin Mukarram Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 13, hal. 558, Dar Shadir, Beirut, Cetakan Ketiga, 1414 H. Fakhruddin Thuraihi, Majma al-Bahrain, Riset oleh Sayid Ahmad Husaini, jil. 6, hal. 366, Kitabpurusyi Murtadhawi, Tehran, Cetakan Ketiga, 1375 S.
[4]. Muhammad Jawai Najafi Khomeini, Tafsir Asan, jil. 2, hal. 284, Nasyr Islamiyah, Tehran, 1398 H.
[5]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, Tafsir Jawâmi’ al-Jâmi’, jil. 1, hal. 175, Nasyr Danesygah Tehran wa Mudiriyat Hauzah Ilmiah Qum, 1377S.
[6]. Sayid Mahmud Thaliqani, Partu az Qur’ân, jil. 5, hal. 134, Syarkat Sahami Intisyar, Tehran, 1362 S.
[7]. Tafsir Âsân, jil. 2, hal. 284.
[8]. Tafsir Jawâmi’ al-Jâmi’, jil. 1, hal. 175.
[9]. Partu az Qur’ân, jil. 5, hal. 134.
source : islamquest