Ajaran yang benar adalah ajaran yang menekankan setiap pemeluknya agar selalu berpikir dan menggunakan akalnya. Karena akal merupakan mahkluk yang paling dicintai Tuhan dan merupakan rasul batin bagi setiap insan. Oleh karena itu, akal memiliki kedudukan yang sangat mulia dan tinggi dalam ajaran yang benar. Di samping itu, akal merupakan hujjah Tuhan bagi setiap insan atas ideologi, keyakinan, pandangan dunia dan berbagai amal perbuatan yang mereka lakukan selama hidupnya di alam dunia ini. Akal dan agama memiliki hubungan yang sangat erat dan keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan demi meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki dan sejati, baik di dunia maupun di akhirat kelak (Sehubungan dengan masalah hubungan akal dan agama, diperlukan pembahasan tersendiri yang pada kesempatan lain akan kami singgung). Tetapi bagi sebagian umat manusia yang hidupnya terisolasi dari kemajuan, sementara agama yang benar tidak dapat menyentuh mereka dan informasi tentang adanya agama tidak sampai kepada mereka, maka agama mereka adalah akal mereka itu sendiri. Dengan kata lain, ketika tidak seorang nabi atau propagator pun -sebagai rasul lahir dan utusan Tuhan- yang datang kepada mereka, maka rasul batin dan utusan Tuhan yang berupa akal itu, sudah cukup menjadi hujjah Tuhan buat mereka untuk mempertanggung jawabkan segala tingkah laku dan amal perbuatan yang telah mereka lakukan. Dengan demikian, akal sebagai hujjah Tuhan ini akan menjadi dasar pertanyaan-Nya kelak di hari akhirat dalam meminta pertanggung jawaban umat manusia atas segala amal perbuatannya. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sebagian umat manusia yang tidak diturunkan agama dan tidak pula datang utusan Tuhan kepada mereka, baik yang berupa nabi ataupun muballigh (propagator), mereka tidak bebas berbuat apa saja yang mereka kehendaki dengan mengikuti hawa nafsu mereka, seperti melakukan pembunuhan, berbuat tiran, menindas kaum lemah, merampok, memperkosa wanita, dan lain-lain. Apabila mereka menggunakan akalnya dengan baik, pasti mereka akan menerima ganjaran surga yang abadi. Dan sebaliknya, jika mereka mengabaikan bimbingan dan petunjuk akalnya, sehingga mendahulukan hawa nafsu setannya atas akalnya, maka tentunya mereka akan dimasukkan ke neraka jahanam. Karena akal -sekalipun tanpa bimbingan agama- dapat mengenal dan mengetahui hal-hal yang baik dan mampu pula membedakannya dengan yang tidak baik. Akal setiap insan mengetahui bahwa membunuh, berbuat zalim, merampas harta orang lain, mencuri dan menyakiti orang lain itu adalah perbuatan buruk dan terkutuk. Sebagaimana akal juga mengetahui bahwa menolong sesama, membantu oang lain, berbuat adil dan mengasihi kaum lemah itu adalah perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa Tuhan Pencipta, Mahabijaksana dan segala penciptaan-Nya mengandung banyak hikmah. Bahkan Dia Mahaadil terhadap semua makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu tidak mungkin dan mustahil orang yang mengabaikan akalnya dimasukkan ke dalam surga, sementara orang-orang yang menggunakan akalnya dengan baik dimasukkan ke dalam neraka. Proses kesempurnaan Akal Manusia terdiri dan terrangkap dari ruh yang bersifat non-materi dan jasad yang besifat materi. Sebagaimana fisik mengalami perkembangan dan pertumbuhan, demikian halnya dengan ruh. Fisik dapat tumbuh dan berkembang dengan makanan dan minuman. Ketika makanan dan minuman fisik itu baik dan menyehatkan, maka fisiknya akan tumbuh dan berkembang dengan sehat dan baik. Apabila makanan dan minuman fisik itu tidak baik dan tidak menyehatkan, maka fisik akan sakit dan mengalami kerusakan pada organ-organ tubuhnya. Ruh pun perlu kepada makanan yang menyehatkan dan menyegarkan, sehingga ia akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Akal manusia merupakan bagian dari ruh. Ia bersifat non-materi dan perlu kepada makanan dan minuman yang menyehatkan dan menyegarkan yang bersifat non-materi pula, agar tidak rusak dan senantiasa dapat menuntun dan mengarahkan seseorang dalam sikap dan perbuatannya dengan baik. Dengan kata lain bahwa akal manusia memiliki potensi untuk maju dan berkembang. Dan hal itu melalui proses sebagaimana manusia berproses dari sejak bayi hingga dewasa. Ada hubungan yang erat antara proses perkembangan fisik seseorang dengan proses perkembangan akalnya. Artinya, jika fisiknya itu berkembang dengan baik, maka akalnya pun demikian pula. Di samping itu akal memiliki potensi lainnya yang berupa mencerap berbagai ilmu penghetahuan, yaitu dengan jalan mendengar, melihat, belajar, membaca, berpikir, dan lain sebagainya. Oleh karena itu akal seseorang yang tidak pernah dipakai untuk mencerap ilmu pengetahuan dengan cara-cara tersebut, ia akan tetap bodoh dan tidak memiliki ilmu pengetahuan apa-apa meskipun fisiknya tumbuh berkembang dan dewasa. Akal dan ilmu pengetahuan Di atas, telah kami singgung bahwa akal manusia itu bersifat non-materi. Artinya ia tidak dapat dilihat secara kasat mata, tidak dapat dianalisa di laboratorium secara empiris dan dengan sarana materi, tetapi dapat dirasakan efek dan pengaruhnya. Demikian halnya dengan ilmu pengetahuan, ia bersifat non-materi dan non- inderawi. Pendek kata, akal manusia dan ilmu pengetahuan yang dicerap olehnya, keduanya merupakan wujud non-materi. Jika akal seseorang yang ada di kepalanya itu bersifat materi, dan ilmu pengetahuan pun bersifat materi, maka tidak mungkin ia akan dapat menampung berbagai pengetahuan, bahkan tidak sebuah pengetahuan pun di dalam kepalanya. Jika pengetahuan Anda tentang bentuk sebuah rumah yang akan Anda beli itu merupakan materi, mungkinkah pengetahuan tersebut anda masukkan ke dalam akal Anda yang terletak di sudut kepala Anda? Bahkan jika akal Anda itu materi, maka ketika Anda mengetahui panasnya api, maka akal dan kepala Anda akan terbakar. Dari uraian singkat ini dapat dipahami, bahwa akal manusia, ilmu-ilmu yang decerap dan dimilikinya dan bahkan pemilik asli ilmu-ilmu tersebut, yaitu ruh manusia, semuanya bersifat non-materi dan non-inderawi. Karena otak manusia hanyalah merupakan alat yang fungsinya tidak lebih hanya sebagai pengumpul ilmu-ilmu dan berbagai informasi. Otak tidak berbeda dengan alat perekam dan komputer, ia tidak dapat berfungsi untuk mencerap dan mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi sebagai pengumpul belaka. Tidak bedanya dengan mata, telinga dan panca indera lainnya yang merupakan sarana untuk memperoleh ilmu pengetahaun dan berbagai informasai. Sementara akal, sebagaimana telah kami singgung di atas, ia merupakan bagian dan salah satu kekuatan ruh manusia. Dengan ungkapan lain, bahwa ruh manusia itu memiliki berbagai kekuatan, keunikan dan keajaiban. Salah satunya adalah kekuatan berpikir dan mencerap ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh akal melalui panca inderanya yang kemudian dikumpulkan oleh otaknya yang terletak di bagian kepalanya. Pembahasan mengenai kenon-materian ruh dan ilmu pengetahuan akan dibahas secara mendetail dalam kajian filsafat ilmu. Hubungan akal dengan kebaikan dan keburukan Para ilmuan Asy’ariyah (baca:jabriyyah, determinisme) berpandangan bahwa akal manusia sebenarnya tidak dapat menilai dan menghukumi suatu perbuatan itu baik atau buruk. Akal manusia, ketika menghadapi suatu perbuatan dan tindakan bersikap netral. Kelompok ini berpendapat bahwa akal manusia tidak memiliki hak untuk menilai baik dan buruk segala perbuatan dan tindakan apa pun. Wewenang penilaian baik dan buruk diserahkan hanya kepada Tuhan dengan syariat dan ajaran-Nya. Perbuatan apapun, jika Tuhan atau syariat iu menilainya baik, maka manusia harus tunduk dan patuh kepda penilaian tersebut, meskipun akal pikirannya tidak dapat menerimanya. Begitu pula, setiap perbuatan yang dinilai oleh Tuhan buruk, maka akal manusia harus mengikutinya. Dengan demikian, ketika seseorang berhadapan dengan suatu perbuatan dan tindakan yang belum diketahui baik dan buruknya melalui syariat Tuhan, maka ia harus bersikap netral hingga datang penilaian syariat Tuhan tersebut. Sebenarnya persoalan kemampuan akal manusia untuk dapat menilai dan menghukumi suatu perbuatan itu baik atau buruk, adalah merupakan persoalan yang gamblang dan tidak serumit yang dibayangkan. Bahkan hal itu merupakan sesuatu yang disepakati oleh setiap manusia yang berakal sehat. Anak kecil sekalipun dapat memahami dan menilai bahwa menolong orang itu adalah perbuatan terpuji dan menyakiti orang itu adalah perbuatan tercela. Dan hal ini sama sekali tidak memerlukan bantuan syariat Tuhan untuk menilainya dan kemudian melakukannya. Manusia, ketika mengetahui bahwa sesuatu itu layak untuk dilakukan, maka ia akan mendapatkan pujian ketika melakukannya. Ketika mengetahui bahwa sesuatu itu tidak layak untuk dikerjakan, maka ia akan mendapatkan kecaman jika mengerjakannya. Dan hal itu tidak terjadi begitu saja, atau tanpa adanya alasan dan sebab-sebab tertentu yang mendasarinya. Hal itu merupakan tabiat dan naluri manusia yang terjai dengan sebab-sebab tertentu. Dapat dikatakan, bahwa sebab-sebab utamanya adalah istiqrâ’ (induksi, analisa secara menyeluruh dari yang bersifat partikular kepada yang universal) yang terjadi secara berulang-ulang dalam kehidupan manusia. Berikut ini kami sebutkan beberapa sebab istiqra’ mengenai terjadinya penilaian atas suatu perbuatan tersebut: Pertama: Manusia mengetahui bahwa suatu perbuatan itu merupakan kesempurnaan atau kekurangan bagi dirinya. Ketika akalnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut merupakan kesempurnaan dirinya, maka akalnya akan menilai bahwa melakukan perbuatan itu merupakan kebaikan baginya dan akan mendapatkan pujian. Pada saat itu, ia merasa terdorong untuk melakukannya. Sebaliknya, ketika ia mengetahui bahwa suatu tindakan itu sebagai kekurangan bagi dirinya, maka akalnya menilai tidak layak untuk melakukannya dan akan tercela. Dengan demikian, ia merasa terdorong untuk meninggalkannya. Dengan demikian, bahwa sebab dan landasan melakukan atau meninggalkan perbuatan tersebut adalah karena kesempurnaan atau kekurangan diri. Kedua: Manusia mengetahui bahwa suatu perbuatan itu sesuai dengan selera hatinya atau tidak, baik hal itu karena faktor interen dirinya atau karena faktor eksteren, yaitu berupa manfaat dan maslahat baginya, baik manfaat umum maupun khusus. Ketika ia mengetahui bahwa perbuatan tertentu itu sesuai dengan selera hatinya, maka ia menilainya baik, dan dengan itu ia merasa terdorong untuk melakukannya agar memperoleh maslahat dan manfaat darinya. Ketika ia tahu bahwa hal itu tidak sesuai dengan selera hatinya, maka akalnya menilai bahwa hal itu tidak layak dilakukan. Dengan itu ia terdorong untuk meninggalkan perbuatan tersebut agar tidak terkena bahaya dan bencana yang akan menimpa dirinya. Dengan demikian, bahwa sebab dan landasan melakukan atau meninggalkan perbuatan tersebut adalah karena motivasi selera hatinya. Pengetahuan manusia terhadap dua masalah tersebut, yaitu pengetahuannya terhadap kesempurnaan atau kekurangan dan selera hatinya atau tidak, ada dua macam: 1. Manusia dapat mencerap realitas partikular tertentu saja. Ketika itu, ia menghukumi dan menilai baik dan buruk suatu perbuatan, karena dorongan maslahat dan keuntungan peribadi semata. Pencerapan dan pengetahuan ini diperoleh bukan dengan kekuatan akalnya. Karena natural akal manusia hanya mampu mencerap dan menangkap hal-hal yang bersifat global dan universal, bukan hal-hal yang bersifat partikular. Hal-hal yang bersifat partikular itu dicerap dan ditangkap oleh kekuatan indera, wahmi (dugaan) dan daya khayal. Meskipun seseorang yang melakukan pencerapan semacam itu terkadang mendapat pujian atau celaan, tetapi pujian atau celaan tersebut, tidak selayaknya dinamakan “aqly” (rasional). Tetapi lebih tepat jika dinamakan “athify” (perasaan, afeksi). Karena dasarnya adalah dominasi perasaan dan emosional pribadi. 2. Manusia hanya mencerap realitas global dan universal. Ketika itu, ia menghukumi dan menilai baiknya perbuatan tersebut karena ia merupakan kesempurnaan bagi dirinya. Misalnya seperti ilmu pengetahuan dan keberanian. Atau karena terdapat maslahat dan keuntungan dalam melakukannya, seperti maslahat keadilan untuk memelihara undang-undang dan kesinambungan umat manusia. Pencerapan ini dilakukan dengan kekuatan akal semata. Oleh karena itu, perbuatan yang didasari atas kekuatan ini berhak mendapat pujian oleh semua orang yang berakal sehat di sepanjang masa. Demikian pula dalam hal mencerap dan menangkap buruknya suatu perbuatan, karena ia merupakan kekurangan diri,seperti kebodohan. Atau karena ia dapat merusak, seperti kezaliman. Pencerapan ini pun dilakukan oleh kekuatan akal semata. Oleh karena itu, pelaku perbuatan yang dinilai buruk oleh akalnya berhak mendapat cercaan dan kecaman oleh semua orang yang berakal sehat. Pujian dan kecaman ini, merupakan kesepakatan pandangan di antara uqala’ (orang-orang yang berakal sehat. Mereka menilai dan menghukumi terdapat maslahat (keuntungan dan kebaikan) atau mafsadah (kerusakan dan kerugian) dalam perbuatan yang didasari akal tersebut. Jika demikian, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai hukum-hukum akal. Inilah yang dimaksud dengan makna “husn wa qubh aqli” (baik dan buruk yang dihukumi oleh akal). Hukum-hukum akal umum ini dinamakan “pandangan-pandangan terpuji”, dan hal ini tidak terhingga banyaknya. Dari uraian tersebut, jelslah bahwa ‘Adliyah (baca:freewill) -ketika mereka mengatakan baik dan buruk secara akal- maksudnya adalah baik dan buruk yang termasuk pandangan-pandangan yang terpuji dan merupakan qadhâya masyhurah (proposisi-proposisi populer) yang sejalan dengan pandangan orang-orang yang berakal sehat. Dan hal ini merupakan suatu realitas yang tidak seorang pun mengingkarinya. Dengan demikian, makna keadilan atau ilmu pengetahuan itu adalah baik -menurut ‘Adliyah- artinya bahwa pelakunya terpuji di kalangan orang-orang yang berakal. Dan makna kezaliman dan kebodohan itu buruk, artinya bahwa pelakunya tercela di kalangan mereka. Dan hal ini tidak menafikan bahwa ilmu pengetahuan itu baik dari dimensi lainnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan tersebut merupakan kesempurnaan jiwa, sementara kebodohan merupakan kekurangan jiwa. Ketiga: Hal lainnya yang merupakan dasar dan sebab-sebab timbulnya penilaian baik dan buruk suatu perbuatan adalah: khuluq insani (budi luhur manusia). Budi luhur ini terdapat dalam jiwa setiap manusia, meskipun mereka berlainan suku dan bangsanya. Misalnya seperti budi luhur menghormati dan memuliakan orang lain dan keberanian. Budi luhur inilah yang dapat mencerap,menangkap dan menilai bahwa menghormati orang lain itu suatu perbuatan yang layak untuk dilakukan dan pelakunya berhak mendapat pujian. Sementara bakhil (kikir, pelit) merupakan perbuatan yang seharusnya ditinggalkan dan pelakunya berhak mendapat cercaan dan kecaman. Penilaian dan penghukuman akal atas perbuatan seperti itu -terkadang- tidak melihat dari sisi maslahat atau mafsadah umum, dan tidak pula dari sisi kesempurnaan atau kekurangan jiwa. Tetapi karena dorongan budi luhur tersebut. Dan apabila budi luhur ini merupakan suatu realitas di kalangan orang-orang yang berakal sehat, maka baik dan buruk perbuatan tersebut merupakan hal yang masyhur dan sejalan dengan pandangan mereka. Keempat: Hal lainnya yang merupakan sebab-sebab timbulnya penilaian baik dan buruk suatu perbuatan adalah: infi’al nafsâni (refleksi jiwa). Misalnya seperti belas kasih, malu, kekerasan, pemeliharan, girah, dan lain sebagainya. Sifat-sifat jiwa tersebut terdapat pada semua manusia di belahan dunia manapun, sekalipun mereka yang tinggal di bawah kaki gunung atau di tengah hutan belantara. Atas dasar itu kita lihat, manusia menilai bahwa menyiksa binatang itu merupakan perbuatan buruk, karena sejalan dengan insting dan naluri belas kasih. Mereka menilai bahwa menolong orang lemah dan sakit, merawat anak-anak yatim dan orang-orang gila, bahkan juga merawat binatang, merupakan perbuatan yang terpuji. Karena hal itu sesuai dengan naluri belas kasih manusia. Mereka juga menilai bahwa membuka aurat dan berbicara cabul, merupakan perbuatan yang buruk, karena sejalan dengan naluri malu. Mereka memuji orang-orang yang membela anak-isteri, keluarga, suku, negara dan umat, karena hal itu sesuai dengan naluri girah dan pemeliharaan. Contoh-contoh ini dan lain
Akal dan agama memiliki hubungan yang sangat erat dan keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan demi meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki dan sejati, baik di dunia maupun di akhirat kelak
Akal dan agama memiliki hubungan yang sangat erat dan keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan demi meraih keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki dan sejati, baik di dunia maupun di akhirat kelak
source : abna24