Indonesian
Thursday 28th of November 2024
0
نفر 0

Yazid dalam Timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah

Selain tujuh ratus tokoh Muhajirin dan Anshar, sepuluh ribu kaum muslimin penduduk Madinah terbantai secara mengerikan dalam peristiwa tersebut. Yazid dalam perintahnya menghalalkan apapun yang dilakukan pasukannya terhadap penduduk Madinah selama 3 hari. Sekedar untuk memberikan gambaran kekejian yang mereka lakukan, Abu Al Hasan Al Madani mengatakan, "Setelah peristiwa Harrah di kota Madinah, sebanyak seribu wanita melahirkan tanpa suami."
Yazid dalam Timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah

Selain tujuh ratus tokoh Muhajirin dan Anshar, sepuluh ribu kaum muslimin penduduk Madinah terbantai secara mengerikan dalam peristiwa tersebut. Yazid dalam perintahnya menghalalkan apapun yang dilakukan pasukannya terhadap penduduk Madinah selama 3 hari. Sekedar untuk memberikan gambaran kekejian yang mereka lakukan, Abu Al Hasan Al Madani mengatakan, "Setelah peristiwa Harrah di kota Madinah, sebanyak seribu wanita melahirkan tanpa suami."

Pada tahun 62 H sekelompok warga Madinah pergi ke Syam. Dengan mata kepala mereka sendiri mereka menyaksikan perbuatan mungkar Yazid bin Muawiyah. Dari sinilah mereka sadar bahwa khalifah yang berkuasa atas kaum muslimin adalah orang yang tidak mengenal agamanya. Setibanya di kota Madinah, mereka menceritakan apa yang terjadi di Syam kepada penduduk Madinah. Mereka mengutuk Yazid. Abdullah bin Handhalah ra yang juga ikut pegi ke Syam berkata, "Wahai penduduk Madinah, kami baru saja tiba dari Syam. Kami sempat bertemu dan bertatap muka langsung dengan Yazid. Ketahuilah bahwa dia adalah seorang yang tidak mengenal agamanya. Dia adalah seorang yang meniduri ibu, anak dan saudara sekaligus. Yazid adalah seorang peminum khamar, yang tidak melaksanakan kewajiban shalat dan bahkan membantai anak keturunan Nabi."

Mendengar hal itu, penduduk Madinah bertekad menarik kembali baiat mereka kepada Yazid. Tak cukup sampai disitu, mereka juga mengusir guberbur Madinah yang bernama Utsman bin Muhammad bin Abu Sufyan. Berita pembangkangan penduduk kota Madinah sampai ke telinga Yazid. Yazid mengirimkan bala tentaranya dalam jumlah besar dipimpin oleh Muslim bin Uqbah untuk menumpas gerakan Warga Madinah. Selama tiga hari pasukan Yazid membantai warga Madinah. Darah membanjiri lorong-lorong kota Madinah hingga membasahi makam suci Rasulullah dan Masjid Nabawi.

Selain tujuh ratus tokoh Muhajirin dan Anshar, sepuluh ribu kaum muslimin penduduk Madinah terbantai secara mengerikan dalam peristiwa tersebut. Yazid dalam perintahnya menghalalkan apapun yang dilakukan pasukannya terhadap penduduk Madinah selama 3 hari. Sekedar untuk memberikan gambaran kekejian yang mereka lakukan, Abu Al Hasan Al Madani mengatakan, "Setelah peristiwa Harrah di kota Madinah, sebanyak seribu wanita melahirkan tanpa suami."

Kisah yang bukan dongeng ini ditulis oleh banyak sejarahwan muslim, diantaranya, Sibt Ibn Al-Jauzi dalam kitabnya Al-Tadzkirah hal 63. Ibnu Katsir—rahimahullah—berkata, "Yazid telah bersalah besar dalam peristiwa Al Harrah dengan berpesan kepada pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk membolehkan pasukannya memanfaatkan semua harta benda, kendaraan, senjata, ataupun makanan penduduk Madinah selama tiga hari". Yang dalam peristiwa tersebut terbunuh sejumlah sahabat nabi dan anak-anak mereka. Bagaimanakah Islam menyikapi tragedi ini?

Sikap Islam terhadap Pembunuh Sahabat Nabi

Tragedi Al-Harrah adalah tragedi besar pasca tragedi terbantainya keluarga nabi di Karbala. Yazid tidak merasa puas berusaha menghabisi keluarga nabi namun juga berupaya menumpas habis sahabat-sahabat nabi dan anak-anak mereka. Dalam peristiwa tersebut terbunuh sekitar tujuh ratus sahabat nabi, yang mengantongi curicullumvitae keutamaan berjihad bersama nabi. Diantaranya, Abdullah bin Handhalah ra, anak sahabat nabi yang dimandikan oleh malaikat setelah syahid dalam perang. Menyikapi Yazid, PP Wahdah Islamiyah (selanjutnya dibaca WI) dalam situs resminya memposting artikel, bahwa sikap Ahlus Sunnah wal Jama'ah terhadap Yazid bin Muawiyah adalah tidak mencela tapi tidak pula mencintainya dengan dalih agama Islam tidak dibangun di atas celaan melainkan dibangun di atas akhlak mulia. Maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama Islam.. Sesuaikah sikap tersebut dengan prinsip-prinsip dalam Islam? Mari kita lihat sikap Islam yang berdasar pada Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Imam Bukhari dan Imam Muslim menulis dalam kitab shahih mereka, Rasulullah saww bersabda, "Barang siapa menakut-nakuti penduduk Madinah dengan kedzalimannya, maka Allah akan membuatnya takut. Baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Di hari kiamat kelak, Allah SWT tidak akan menerima amal perbuatannya."

Pertanyaannya, apakah melakukan pembunuhan massal, merampas harta dan kehormatan kaum muslimah pada peristiwa Al-Harrah tidak termasuk menakut-nakuti penduduk Madinah?. Berdasarkan hadits ini, Yazid adalah orang yang dikutuk oleh Allah, para malaikat dan seluruh umat manusia. Selanjutnya, pada peristiwa tersebut terbunuh ratusan sahabat nabi, bagaimanakah sikap Rasulullah saww terhadap pembunuh sahabat-sahabatnya?. Pada Shahih Bukhari Jilid 5 hal 132 bab Ghaswah Ar-Raji'i wa ri'li wa dzakwan. Riwayat ini diceritakan oleh Anas bin Malik bahwa Bani Raji'i, Dzakwan, Ushayyah dan Bani Hayan meminta bantuan Rasulullah saww untuk membantu mereka menghadapi musuh. Rasulullah saww mengirimkan 70 sahabat terbaik dari kalangan Anshar yang terkenal sebagai Al-Qurra' (pembaca Al-Qur'an). Namun ketika mereka sampai pada sumber mata air yang bernama Bi-ir Ma'unah, dengan licik 70 sahabat Anshar tersebut mereka bunuh. Rasulullah sangat berduka atas peristiwa ini, dan selama satu bulan beliau membaca qunut melaknat pembunuh sahabat-sahabatnya. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Rasulullah saww, sahabat-sahabatnya dibantai oleh yang mengaku sebagai khalifah Rasulullah.

Lalu kemudian, generasi selanjutnya datang mengaku sebagai pengikut dan pembela sunnah nabi namun kemudian menyebarkan ajaran Islam yang dibangun di atas akhlak yang mulia, saking mulianya mereka menulis, "…maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama Islam". Tidak adakah tempat dalam Islam bagi Rasulullah saww yang mencela dan melaknat pembunuh sahabat-sahabatnya?. Bahkan Allah SWT sendiri, Penguasa alam semesta, bagi mereka tidak memiliki tempat dalam Islam, sebab Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka." (Qs. Al-Ahzab : 57). Ayat ini menegaskan Allah SWT melaknat dan mencela orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan akhirat, sedangkan bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah (versi WI) Islam tidak memberi tempat sedikitpun bagi para pencela.

Keterlibatan Yazid dalam Tragedi Karbala

Dalam artikel tersebut ada upaya jelas untuk mengarahkan opini kaum muslimin agar menyalahkan pengkhianatan penduduk Kufah yang terlibat tidak langsung dibanding mereka yang terlibat langsung membantai keluarga Nabi di Karbala. Lebih mengerikannya lagi, mereka menyebut penduduk Kufah yang berkhianat dan tidak menolong Imam Husain as, keluarga dan pengikutnya adalah kelompok Syiah. Inilah fitnah terbesar mereka terhadap Syiah. Apakah mereka tidak tahu, bahwa dalam makna lafadsnya saja sudah jelas, Syiah berarti pengikut, pembela dan golongan?. Fairuzabadi dalam al-Qamus mengenai kata Sya'a mengatakan Syi'aturrajul adalah , golongan, pengikut dan pembela seseorang. Dalam Al-Qur'an Surah As-Saffat ayat 83 tertulis, "Wa inna min syiah tihi laa ibrahima" artinya "Dan sesungguhnya Ibrahim termasuk golongannya (Nuh)".

Ketika ada yang mengatakan sebagai Syiah Nabi maka berarti pengikut dan pembela Nabi. Begitu juga dengan Syiah Imam Husain as. Karenanya dimana Syiah pada waktu terjadi tragedi Karbala?. Mereka turut terbantai bersama Imam Husain as, mereka meneguk cawan syahadah bersama penghulu pemuda surga. Lalu siapakah orang-orang Kufah yang mengundang Imam Husain as dan menyatakan kesediaan meraka berbaiat dan rela mati bersama Al-Husain?. Kalaupun mereka mengaku dan bersaksi sebagai Syiah Imam Husain as, maka persaksian mereka akan tertolak secara sendirinya kalau ternyata mereka tidak mampu memberikan bukti atas kesaksian tersebut. Menghukumi pengkhianatan orang-orang Kufah sebagai pengkhianatan orang-orang Syiah adalah tidak adil dan termasuk kejahatan intelektual sebab Syiah sendiri berlepas dari mereka. Lalu kemana Ahlus Sunnah pada waktu itu?. Ini yang secara pribadi ingin saya gugat, apa bedanya mereka dengan penduduk Kufah yang tidak memberi pembelaan dan pertolongan kepada keluarga nabi?. Mereka tidak memberi respon apa-apa terhadap peristiwa tersebut. Ya, mereka bisa jadi tidak memiliki tenaga yang cukup untuk berjihad bersama Imam Husain as sebab mereka hari itu berpuasa sesuai 'perintah' nabi, “Ia (puasa) ‘Asyura, menghapus dosa tahun lalu.” (HR. Muslim). Atau mereka menganggap Imam Husain as tidak layak mendapat pertolongan, sementara mereka sendiri mengakui Imam Husain as terbunuh secara dzalim.

Mereka yang mengaku Ahlus Sunnah (padahal jauh dari sunnah) berupaya mengubur dalam-dalam tragedi ini, agar tidak lagi diperbincangkan dan menjadi ingatan bagi kaum muslimin. Di hari Asyura mereka melakukan tiga hal, berpuasa, mengecam Syiah dan membela Yazid, tidak melaknat dan juga tidak mencintainya. Mereka berupaya mengampuni Yazid dengan dalil hadits dari Rasulullah saww, "Pasukan yang paling pertama menyerang Romawi diampuni." (HR. Bukhari). Kalaupun benar hadits ini shahih dan ekspedisi ini dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, itu tidak memberi dampak apa-apa terhadap pengampunan kedzalimannya kepada keluarga dan sahabat-sahabat nabi. Sebab penyerangan tersebut terjadi pada tahun 49 H, pengampunan dimaknai sebagai terhapusnya dosa-dosa yang telah dilakukan, seseorang tidak diampuni karena dosa-dosa yang belum dilakukannya. Sementara tragedi Karbala terjadi pada tahun 61 H dan tragedi Al-Harrah pada tahun 63 H, jauh setelah ekspedisi Yazid ke Romawi. Kalau mau tetap memaksakan diri menafsirkan hadits Rasulullah saww tersebut bahwa yang dimaksud diampuni adalah dosa setelah dan yang akan datang, maka harus kita akui, Yazid lebih tinggi keutamaannya dibanding sahabat-sahabat utama nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali –ridha Allah atas mereka-) sebab tidak ada pernyataan nabi yang menggambarkan keutamaan sebagaimana yang dimiliki Yazid sebagai pemimpin pasukan menyerang Romawi, yang terampuni dosa-dosanya sebesar dan sedzalim apapun.

Apakah dosa membunuh keluarga nabi dan sahabat-sahabatnya akan terampuni sementara Allah SWT berfirman, "Barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam. Dia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya." (Qs. An-Nisa : 93). Di ayat yang lain, "Yaitu hari yang tidak berguna bagi orang-orang dzalim permintaan maaf mereka, bagi mereka laknat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk." (Qs. Al-Mu'min : 52). Ayat lainnya, "Ingatlah, laknat Allah ditimpakan atas orang-orang yang dzalim." (Qs. Hud: 18) dan masih banyak ayat lain yang bernada serupa.

Kalau dikatakan Yazid menyesali terbunuhnya Imam Husain as dan nampak terlihat kesedihan di wajahnya dan suara tangisan pun memenuhi rumahnya, lalu apa tindakannya terhadap pembunuh Imam Husain as, apakah dia memberikan hukuman kepada Ubaidillah bin Ziyad? Memecatnya sebagai gubernur pun tidak sama sekali. Tindakan memulangkan secara hormatpun keluarga nabi yang tersisa ke Madinah, tidak memiliki arti apa-apa, tanpa memberikan hukuman kepada pembunuh Imam Husain as. Bahkan tahun selanjutnya Yazid memerintahkan untuk menyerang kota Madinah. Kenyataan ini menunjukkan keterlibatan Yazid dalam tragedi Karbala, sebagai khalifah saat itu, dia bertanggungjawab penuh atas tragedi tersebut.

Tentang hadits "Janganlah kalian mencela orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah menyerahkan apa yang telah mereka perbuat." (HR. Bukhari). Benar-benar sangat meragukan telah diucapkan oleh Rasulullah saww sebab itu berarti, kita dilarang membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang bernada celaan dan laknat kepada mereka yang kafir dan dzalim. Bukankah laknat dan celaan Allah SWT tersebar dibanyak ayat kepada Firaun, Qarun, kaum A'ad, Tsamud, Abu Lahab dan secara umum kepada orang-orang kafir, yang kesemuanya adalah orang-orang terdahulu. Meskipun hadits tersebut berkenaan dengan Abu Jahal, namun teks hadits tersebut bermakna umum, yang artinya kita tidak boleh mencela Firaun, Qarun, Abu Lahab dan orang-orang kafir karena telah meninggal dunia dan telah menyerahkan apa yang telah diperbuatnya. Bagaimanapun menurut ijma kaum muslimin, kedudukan Al-Qur'an lebih tinggi dari hadits, karenanya jika matan sebuah hadits bertentangan dengan pesan-pesan Al-Qur'an maka hadits tersebut harus ditolak. Hatta diriwayatkan oleh Imam Bukhari sekalipun.

Apakah dengan dalil-dalil di atas membuat kita tetap bersedia terpengaruh dengan ajakan ustadz-ustadz WI untuk bersikap sama dengan Adz-Dzahabi, "Kita tidak mencela Yazid, tapi tidak pula mencintainya."? Atau bersedia melaknat Yazid, sebagaimana Allah SWT melaknat mereka yang telah menyakiti Rasulullah?. Pilihan anda menunjukkan derajat keimanan anda.

Saya merasa perlu menulis ini, sebab postingan "Siapa Pembunuh Al Husain Radhiyallahu 'anhuma?" di situs resmi Wahdah Islamiyah menurut saya sangat tidak Islami dan menyimpang dari sunnah.


source : abna24
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Apa makna makar Tuhan yang disebutkan dalam al-Qur'an?
Pesan Imam Husain as
Masalah Air di Karbala
Aksi Simpatik Muslim Inggris Memperkenalkan Imam Husain as di London
Sejarah Syiah: Sejak Zaman Rasulullah SAW sampai Abad 14 H
Kisah Salman al Farisi Mencari Kebenaran
Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
Sayidah Fathimah dalam Ucapan Amirul Mukminin
Semua Di Hadapan Amirul Mukminin Sejajar
Makna “al-Qurba” pada ayat 23 surah Syura

 
user comment