Apakah topik ini menimbulkan perselisihan di kalangan umat Islam?
Barangkali sebagian orang akan membayangkan bahwa pembahasan topik ini dapat menimbulkan perselisihan dan perdebatan antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah. Anggapan ini jelas keliru.
Sebab, ketika kita menyingkirkan bias politik dalam pembahasan seputar topik kepemimpinan ini, lalu kita mengedepankan sisi ilmiah, maka akan tersingkap dan dikenal lebih banyak lagi pandangan dan pendapat kedua golongan ini, yakni Syi’ah dan Ahlus Sunnah. Selain itu, hal ini juga dapat memberikan kesempatan untuk semakin mempersempit ruang perbedaan dan perselisihan di antara kaum Muslim.
Pembahasan ilmiah dalam masalah kehidupan ini akan menjadi pembelajaran pada jalan kebebasan dalam berpikir dan pengungkapan pendapat serta keluasan cakrawala berekspresi di antara dua kelompok besar dalam Islam ini, yaitu Syi’ah dan Ahlus Sunnah. Hal ini juga dapat menambah kecintaan dan memperkuat hubungan tali persaudaraan di antara mereka. Inilah faktor pertamanya.
Yang kedua, telah terbukti keserasian di bawah naungan kebenaran akan membuahkan basil yang berguna. Sebaliknya, mementingkan sendiri akan suatu kebenaran dan bahkan menyembunyikannya serta bergantung pada persatuan secara lahiriah saja tidak akan menciptakan hubungan yang kuat di antara kelompok-kelompok Islam.
Definisi Imamah (Kepemimpinan) secara Umum Definisi imamah mencakup sumber pengambilan pemikiran, kekuasaan politik, dan kepemimpinan agama.
Kepemimpinan agama berarti penerapan hakikat-hakikat Islam dalam kehidupan sehari-hari, dan ia juga berarti merealisasikan nilai-nilai luhur kemanusiaan bagi risalah Islam. Sayyidina Muhammad saw diutus demi mewujudkan nilai-nilai agung seperti ini, dan beliau juga berjihad di jalan ini.
Definisi imamah terkadang hanya sebatas kepemimpinan suatu masyarakat yang terbatas, atau politik dalam skala tertentu.
Akan tetapi, yang kita upayakan dalam pembahasan ini adalah “imam” dengan kedudukannya yang tinggi yang ia memuat dimensi ketuhanan. Ia adalah kepemimpinan yang menggantikan Nabi saw atau khalifah beliau dalam kepemimpinan umat. Yaitu, sebuah kepemimpinan yang membawa misi hidayah kepada umat manusia, yang meliputi kehidupan duniawi dan akidah-akidah keagamaan mereka serta merupakan jalan menuju kesempurnaan yang dimulai oleh Nabi saw.
Pandangan Ahlus Sunnah Seputar Imamah
Mayoritas ulama Ahlus Sunnah menganggap definisi imamah sebatas jabatan kekhalifahan. Imamah dan kekhalifahan, dalam pandangan Ahlu Sunnah, adalah dua istilah yang bermakna satu (sinonim). Jadi, kekhalifahan adalah tanggung jawab sosial dan agama yang terselenggara melalui pemilihan.
Seorang khalifah bertanggung jawab untuk memecahkan masalah sosial dan keagamaan kaum Muslim. Sebagaimana dia juga bertanggung jawab dalam hal menciptakan kestabilan keamanan umum melalui kekuatan militer dan penjagaan perbatasan kedaulatan Islam.
Dengan demikian, seorang khalifah, dalam pandangan Sunni ini, hanyalah seorang pemimpin biasa dan penguasa dalam bingkai sosial.
Imamah (Kepemimpinan) dalam Pandangan Ahlus Sunnah
1. Khalifah dalam pandangan Ahlus Sunnah adalah seseorang yang menerima jabatan kepemimpinan umat melalui sebuah pemilihan. Ini berarti jabatan khalifah adalah tanggung jawab sosial, bukan berdasarkan pengangkatan Allah (atas penunjukan-Nya).
Dan sini, kekhalifahan adalah masalah furu’udin (cabang-cabang agama), dan subjeknya adalah perbuatan mukallaf, dengan demikian ia tidak termasuk ushul (pokokpokok agama) secara logis karena maudhu (ushul) adalah perbuatan Allah Azza wa Jalla yang menuntut pendekatan rasional dalam memahaminya.
2. Keunggulan dalam hal ilmu dan takwa -apalagi kemaksuman- bukan syarat dalam kekhalifahan. Bahkan, seandainya seorang khalifah keluar dari batas ketakwaan dan terperosok dalam lembah kesalahan atau perbuatan dosa, maka hal ini sama sekali tidak berpengaruh pada kelangsungan jabatan kekhalifahannya.
Berkaitan dengan hal ini, salah seorang ulama kenamaan Ahlus Sunnah berkata, “Seorang imam tidak dapat dicopot dari kedudukannya (jabatannya) disebabkan oleh kefasikan dan kezalimannya, perampasan harta, menelantarkan kewajiban, dan tidak melaksanakan hukum syariat.”
3. Cara pemilihan khalifah. Pemilihan khalifah dibolehkan dengan salah satu dari ketiga cara berikut ini:
Pertama, kesepakatan umat atau kesepakatan ahlul hal wal ‘aqd. Kedua, melalui penunjukan seorang khalifah sebelurnnya. Ketiga, musyawarah.
Yang jelas, pandangan Ahlus Sunnah ini berdasarkan inspirasi dari peristiwa yang terjadi pada periode permulaan Islam dan cara-cara yang beragam yang dilakukan oleh para khalifah.
Tidak ada satu pun di antara ketiga cara dalam pemilihan khalifah ini yang memiliki dasar logika yang kuat yang memungkinkan diadakan pengkajian seputar masalah ini.
Imamah dalan Pandangan Syi’ah
Dari sudut pandangan Syi’ah, imamah adalah bentuk dari pemerintahan Tuhan. Maka, ia merupakan perintah Allah dalam penunjukannya, sebagaimana halnya dalam kenabian. Sebab, Allah memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Akan tetapi, terdapat perbedaan yang utama antara kenabian dan imamah. Kenabian adalah pendirian risalah, sedangkan imamah adalah penjaga bagi risalah ini.
Berdasarkan hal ini, sudah seharusnya orang yang memegang kendali pemerintahan sepeninggal Rasulullah saw adalah orang yang terpelihara dari setiap kesalahan dan disucikan dari segala dosa dan kekurangan.
Ringkasnya, kedudukan imamah sama seperti kenabian, hanya saja seorang imam tidak mendapatkan wahyu, berbeda dengan seorang nabi yang mendapat wahyu.
Berdasarkan ini pula, adalah merupakan suatu keharusan adanya seorang individu yang layak memegang jabatan imamah, alim, dan terpelihara dari segala dosa dan kekurangan (maksum) agar dia menjadi teladan (contoh) bagi umatnya dalam perjalanan hidupnya menuju kesempumaan.
Sesungguhnya peranan seorang pemimpin dalam membina masyarakat adalah peranan yang sangat menentukan dan memiliki pengaruh yang besar, bahkan dapat dikatakan bahwa dia lebih berpengaruh daripada lingkungan keluarga dan factor-faktor gen biologis.
Karena hanya Allah ‘Azza wa Jalla sendiri yang mengetahui individu yang maksum ini, maka hanya Allah pula yang berhak memilih dan mengangkat seorang imam. Jadi, penunjukan seorang imam adalah berdasarkan perintah Allah. Ia (imamah) seperti kenabian, yang tidak seorang pun berperan dalam penunjukannya.
Pentingnya Memahami Imamah
Pandangan Syi’ah mengatakan bahwa kekhalifahan tidak dapat dipisahkan dengan imamah. Sebab, tidak mungkin memisahkan antara kepemimpinan Nabi saw dengan kenabiannya.
Sebab, agama Islam ini adalah agama politik dan maknawi (spirit), yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana dimensi ruhani bagi Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari dimensi politiknya.
Di samping adanya peran pendidikan bagi keberadaan imam sebagai teladan (model), dan juga peranannya dalam menjaga kesatuan masyarakat serta pemberian hidayah bagi kebahagiaan yang abadi, maka di sana juga terdapat kebutuhan fitrah (alami) bagi keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat.
Karena agama Islam ini adalah agama fitrah, yang aturan-aturannya selaras dengan kebutuhan-kebutuhan manusia, maka sudah seharusnya pula Islam memenuhi kebutuhan fitrah ini dalam opini masyarakat.
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah memenuhi setiap kebutuhan yang diperlukan dalam perkembangan manusia, baik jasmani maupun ruhani, maka bagaimana mungkin Dia tidak memberikan kebutuhan fitrah publik dan sangat penting ini (imamah)?
Dasar imamah ini tergolong dalam nash-nash Islam sebagai ruh bagi syariat Islam dan jantung yang berdenyut di dalamnya. Dan sesungguhnya penghapusan dan penyingkiran imamah ini akan menjadikan agama ini laksana tubuh yang sudah tidak bergerak lagi (mati) yang tidak ada kehidupan di dalamnya.
Nabi saw bersabda, “Barang siapa meninggal, sedangkan dia tidak mengetahui imam pada zamannya, maka dia meninggal secara jahiliah.”[1]
Melalui hadis ini kita mendapatkan bahwa jahiliah adalah suatu masa yang kosong dari tauhid, kenabian, dan perangai kemanusiaan. Hadis ini juga menekankan pentingnya imamah sehingga ia dikaitkan dengan kematian jahiliah bagi yang tidak mengenal imam zamannya.
Barangkali sebagian orang akan menganggap bahwa penunjukan imam ini adalah suatu perkara yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi. Dengan anggapan bahwa umat tidak dilibatkan dalam penentuan seorang pernimpin dan khalifah Nabi saw. Atau, dengan kata lain, hal ini merupakan pemaksaan kehendak terhadap umat.
Asumsi ini timbul karena didasarkan suatu perasaan yang menganggap penunjukan seorang imam sama dengan tindakan sewenang-wenang atau diktatorial.
Akan tetapi, kita menyaksikan sistem diktatorial ini selalu lahir melalui kudeta militer, atau revolusi, atau intervensi asing. Maka, saat itulah pendapat atau ucapan seorang diktator adalah segala-galanya, tanpa ada syarat apa pun.
Sebaliknya, imamah dalam pandangan Syi’ah tunduk pada syarat-syarat dan kriteria yang tidak mungkin dilanggarnya. Maka, selama syarat- syarat dan kriteria itu tidak terpenuhi dalam diri seseorang, dia tidak akan pemah menjadi imam.
Sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya bahwa hanya Allah-lah yang berhak mernilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya untuk menjadi imam atau khalifah. Yaitu, orang yang memenuhi syarat-syarat dan kriteria imam atau khalifah, di antaranya keilmuan dan kemaksuman.
Jadi, imamah adalah pernilihan individu ideal oleh Allah dan mengangkatnya sebagai imam untuk menjadi teladan (model) dan petunjuk bagi umat.
Individu tersebut adalah seseorang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang ideal sehingga dia tidak akan ditundukkan oleh hawa nafsunya dan tidak akan dikalahkan oleh ketamakan. Dia benar-benar menaati Allah Swt secara mutlak.
Dia akan menjalankan pemerintahan hanya dengan syariat Allah, dia sama sekali tidak akan mencampurkan pendapat pribadi di dalamnya. Sebab, Pembuat syariat adalah Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan dia hanyalah pengemban syariat itu.
Pembuat syariat ini adalah Pencipta manusia yang mengetahui segala rahasia, ambisi, dan kemaslahatannya. Sedangkan imam (pernimpin) adalah seorang yang telah dipilih dari sisi Allah, pernilihan orang itu setelah dianugerahi ilmu pengetahuan dan kemaksuman. Maka, sangatlah tidak masuk akal bila kita katakan pemerintahan semacam ini adalah pemeritahan yang diktatorial.
Apakah Demokrasi Model Ideal bagi Kehidupan Masyarakat?
Sebelum menjawab pertanyaan ini seyogyanya kita menyinggung beberapa point berikut:
Pertama, meskipun demokrasi dari sudut konsep bahasanya merujuk pada pemerintahan rakyat tetapi pada realitasnya ia adalah pemerintahan mayoritas, bukan rakyat secara keseluruhan.
Kedua, apakah kita bisa mengklaim adanya pemerintahan demokratis sejati, dan apakah ada pada kenyataannya pemerintahan demokratis itu?
Ketiga, apakah kebenaran selalu ada di tangan mayoritas?
Seandainya mayoritas mengkampanyekan pandangan yang bertentangan dengan akal, moral, atau kemanusiaan. Apakah pandangannya masih bisa dikatakan benar? Dan ketika demi memuaskan hasrat-hasratnya mayoritas cenderung membolehkan segala cara, maka sikap apa yang akan kita ambil? Apakah fenomena keserbabolehan dan penyimpangan homoseks yang mengecambah di negara demokrasi masih dianggap manusiawi dan bermoral?
Apakah penguasa yang memegang kendali kekuasaan melalui pengangkatan suara mayoritas akan sanggup mewujudkan aspirasi mayoritas baik secara konstitusional ataupun tidak?
Yang jelas bahwa berbagai pemilu tidak akan menghasilkan pemimpin yang paling ideal, sebagaimana mayoritas tidak akan bisa menjadi timbangan bagi kebenaran dan kebatilan.
Metode pemilu seperti ini, yaitu pengurangan berbagai hak eksplisit masyarakat dari kelompok minoritas tanpa dibarengi dalil logis yang kuat; karena minoritas akan menjadi sekedar pengikut bagi pandangan dan kepentingan mayoritas.
Sementara dalam pemilihan Ilahiah kemaslahatan seluruh masyarakat dipenuhi secara proporsional. Inilah kemaslahatan hakiki yang tidak mengandung vested interest. Karena di dalamnya berlaku hukum Allah, tidak ada hukum mayoritas ataupun minoritas tetapi yang ada hanyalah hukum Allah.
Apakah Imamah Merupakan Keharusan dalam Tatanan Sosial?
Barangkali ada sebagian orang yang akan mempertanyakan tentang pentingnya imamah dan kepemimpinan sehingga Allah harus menunjuk seorang imam, atau keharusan umat melakukan pemilihan umum untuk mengangkat seorang pemimpin. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengatakan bahwa umat mana saja jika tidak dipimpin oleh seorang pemimpin atau penguasa, pasti akan timbul kekacauan yang sulit dikendalikan atau diredam. Akibatnya, umat tersebut akan mengalami kebinasaan dan kepunahan.
Oleh karena itu, kita perhatikan bahwa fenomena kepemimpinan ini senantiasa menyertai perjalanan umat manusia sepanjang sejarahnya yang panjang.
Berdasarkan hal ini, kita dihadapkan pada dua keadaan saja, tidak ada yang ketiga. Yaitu, adanya seorang imam a tau tidak adanya. Keadaan yang kedua, ketiadaan imam, akan mengakibatkan hancurnya umat itu. Maka, tinggallah keadaan yang pertama, yaitu kehadiran imam.
Keberadaan imam tetap merupakan keharusan tuntutan sosial, maka yang tinggal hanyalah pembahasan seputar karakteristik-karakteristik seorang imam. Apakah dia seorang yang alim, adil, mementingkan rakyatnya, dan bertakwa, atau dengan satu ungkapan, yaitu saleh, ataukah dia seorang yang zalim, pembuat kerusakan, jahat, dan egois, atau dengan satu ungkapan ‘seorang penguasa yang zalim’?
Sangatlah logis bahwa nalar yang sehat dan hati nurani pasti akan memilih seorang imam yang pertama, yakni saleh.
Akan tetapi, terkadang kita dihadapkan pada dua individu, yaitu yang satu saleh, sedangkan yang satunya lagi lebih saleh, merniliki keutamaan dan yang lebih utama. Di sini, kita dihadapkan pada masalah keutamaan atau lebih mulianya seseorang atas seseorang yang lain yang juga memiliki kemuliaan. Dan masalah inilah yang menimbulkan perdebatan panjang antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah.
Kebanyakan ulama Ahlus Sunnah membolehkan keimaman seorang yang keutamaannya lebih rendah, padahal masih ada orang lain yang lebih utama daripadanya. Pandangan seperti ini jelas bertentangan nalar yang sehat. Sebab, akal menolak sesuatu yang lebih utama berada di bawah sesuatu yang lebih rendah, maka bagaimana mungkin mendahulukan yang lebih rendah daripada yang lebih utama?
Maka, berdasarkan hal ini, yang ada hanyalah satu jalan saja, yaitu adanya imam yang paling unggul (paling utama) pada zamannya dalam setiap karakter yang baik.
Dalam hal ini, pandangan Syi’ah adalah pandangan yang selaras dengan logika, fitrah, dan hati nurani.
Pandangan ini sama sekali tidak dibangun berdasarkan kediktatoran atau mengekang kebebasan, dan ia sedikit pun tidak bertentangan dengan nalar yang sehat.
Ia adalah pandangan yang dibangun berdasarkan bahwa Allah Swt adalah Pencipta manusia dan masyarakat, serta Dia adalah yang paling tabu akan kemaslahatan-kemaslahatan mereka secara hakiki serta lebih menyayangi mereka daripada selainnya. Oleh karena itu, pilihan Allah Swt pastilah yang paling baik dan paling selaras dengan jalan pikiran manusia serta paling sesuai dengan fitrah mereka.
CATATAN :
[1] Musnad Ahmad: 96.
source : alhassanain