Al-Qur’an menyebut Rasulullah Saw sebagai suri tauladan terbaik bagi umat manusia,[1] dimana sirah beliau adalah pedoman bagi mereka dalam mencapai kesempurnaan hakiki. Mengikuti sirah dan prilaku Rasul adalah satu-satunya jalan menuju kebahagian duniawi dan ukhrawi. Oleh karenanya, selain mewajaibkan umat manusia untuk mengimani beliau, Allah Swt pun menurunkan aturan-aturan sekaitan dengan kewajiban umat terhadap Nabi mereka yang mulia itu.
Orang-orang mukmin adalah mereka yang telah mengimani kenabian Muhammad Rasulullah Saw, oleh karenanya selain di pundak mereka terdapat kewajiban dan tanggung jawab sosial di hadapan Rasulullah Saw, mereka pun memiliki kewajiban secara pribadi dan individual, sebagaimana yang telah disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Di bawah ini kami akan mengkaji beberapa ayat Al-Qur’an yang menyebutkkan kewajiban –baik sosial maupun individual- umat Islam terhadap Nabi mereka. selain itu, kami pun akan memaparkan efek serta manfaat yang muncul dari menjalankan kewajiban tersebut.
Ketaatan Secara Mutlak
Tidak diragukan lagi, setiap orang yang mengaku sebagai umat Rasulullah Saw berkewajiban untuk mentaati beliau secara mutlak, mereka haruslah menerima hukum dan undang-undang yang beliau sampaikan tanpa tawar menawar, baik hukum yang berkaitan dengan kehidupan sosial maupun individual.
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, Allah Swt memerintahkan seluruh manusia untuk mentaati-Nya dan Rasul-Nya, “Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul” [2]. Dalam ayat lain, peritah Allah Swt untuk mentaati Rasul-Nya secara khusus tertuju kepada kaum mukminin, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)” [3]. maksud dari ketaatan dalam ayat ini ialah mengikuti serta menjalankan sepenuhnya ajaran Rasulullah Saw, dimana jalan yang beliau tempuh adalah jalan yang lurus, jalan Allah Swt dan taat kepada beliau merupakan sebuah keharusan, karena yang beliau sampaikan tidak lain kecuali pesan dari Allah Swt.[4] Oleh karenanya, di mata Al-Qur’an ketaatan kepada Rasulullah Saw adalah manifestasi dari ketaatan kepada Allah Swt, “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (QS. An-Nisa’: 80).
Ketaatan kepada Rasul memiliki wilayah yang sangat luas, dimana maksud dari ketaatan ini ialah ketaatan terhadap seluruh aturan dan hukum Allah Swt yang beliau sampaikan. Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa segala yang beliau ucapkan dan sampaikan adalah wahyu Ilahi yang diturunkan kepada beliau.[5]
Perintah Allah Swt untuk mentaati Rasul-Nya secara mutlak tanpa ada syarat apapun menandakan akan ke-ishmahan (kesucian) beliau. Karena seandainya Rasulullah Saw tidak suci dari segala sifat tercela, dosa dan kesalahan, maka Allah Swt akan memberikan syarat dalam ketaatan kepada beliau. Karena jika tidak, berarti Allah Swt telah memerintahkan manusia untuk mengikuti kebatilan dan kesalahan, yang jelas hal ini bertentangan dengan hikmah dan keadilan-Nya. Atas dasar ini, Imam Ali as berkata, “Aku bersaksi bahwasannya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah Swt... ia telah membawa kepada kita bendera kebenaran. Barang siapa yang mendahuluinya, maka ia telah keluar dari agama. Barang siapa yang tertinggal darinya, maka ia akan binasa dan barang siapa yang bersamanya, ia akan selamat”.[6] Dalam kesempatan lain, Imam Ali as berkata, “Hamba (manusia) yang paling dicintai Allah Swt adalah yang selalu mengikuti Nabinya dan melangkah sesuai dengan jejak kakinya”.[7]
A. Kewajiban Sosial
Kewajiban terpenting umat Islam di hadapan Rasulullah Saw ialah yang berkaitan dengan wilayah dan kepemimpinan beliau. Tidak diragukan, usaha terbesar yang dilakukan Rasul Saw ialah mendirikan pemerintahan Islam yang puncaknya beliau lakukan sepulang dari Hajjatul Wada’ (haji perpisahan). Terdapat banyak ayat yang menyebutkan bentuk dari kewajiban ini yang sebagian darinya akan kami sebutkan di bawah ini.
1. Menerima Wilayah dan Kepemimpinan Rasulullah Saw
Kewajiban terbesar yang dimiliki setiap umat Islam ialah menerima wilayah dan kepemimpinan Rasul mereka. Al-Qur’an memandang bahwa wilayah adalah semata milik Allah Swt, Rasul Saw dan sekelompok orang beriman,”Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat saat mereka melaksanakan ruku’ ” (QS. Al-Maidah: 55). Wilayah Rasul Saw sedemikian urgen sehingga ia melebihi wilayah seseorang atas dirinya. Berkaitan hal ini Allah Swt berfirman, “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (QS. Al-Ahzab: 6). Atas dasar ini, orang-orang mukmin hendaknya mendahulukan aturan dan kehendak Rasul Saw di atas kehendak dan keinginan diri mereka. Sebagaimana Allah Swt memiliki wilayah atas segala sesuatu, Nabi pun memiliki wilayah atas umat beliau.
Muhammad Saw tidak lain adalah utusan Allah Swt yang tidak berbicara kecuali wahyu diri sisi-Nya, sekali-kali beliau tidak pernah menyampaikan sesuatu dari diri beliau, apa yang beliau sampaikan mutlak adalah datang dari sisi Allah Swt. “dan ia tidak berbicara sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya. Tiada lain ia hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-Najm: 3-4). Oleh karenanya, siapa yang menerima wilayah Rasul Saw berarti ia telah menerima wilayah Allah Swt.[8]
2. Kembali Kepada Sunnah Rasul Saat Mengalami Terjadi Peselisihan
Dalam beberapa ayat, Allah Swt memerintahkan kepada kaum muslimin untuk kembali kepada Rasulullah Saw saat menghadapi problema sosial. Hendaknya mereka memposisikan ucapan, tindakan dan diamnya beliau -dalam kerangka sunnah dan Al-Qur’an- sebagai pelita petunjuk mereka dalam meraih kebahagiaan abadi. Allah Swt berirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS. An-Nisa’: 59).
Sebagian ahli tafsif mengatakan, “Ayat suci ini mengingatkan akan kewajiban umat manusia di hapadapan Allah Swt, Rasul Saw dan Ulil amri, dan menyatakan bahwa dengan kembali kepada tiga rujukan ini, umat tidak akan menghadapi jalan buntu”.[9]
Dalam pandangan Al-Qur’an, kembali kepada sunnah Nabi Saw dalam permasalahan sosial adalah tanda keimanan hakiki umat beliau. “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisa’: 65).
Dapat disaksikan secara jelas, dalam ayat ini Allah Swt dengan bersumpah dengan Dzat-Nya menyatakan bahwa umat manusia tidak akan mencapai keimanan hakiki kecuali dengan tiga syarat.
A. Kembali kepada hukum dan sunnah Rasulullah Saw dalam perkara yang diperselisihkan.
B. Tidak merasa keberatan dengan hukum yang ditentukan Rasul Saw.
C. Menerima sepenuhnya keputusan yang diberikan Rasul Saw.[10]
Dalam logika Islam, kewajiban kaum muslimin tidak hanya kembali kepada sunnah Rasul saat mereka menghadapi permasalahan, tetapi mereka juga diwajibkan untuk menerima keputusan dan hukum yang beliau berikan. Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Seandainya ada dari kaum tertentu dimana mereka melaksanakan ibadah kepada Allah Swt, tidak menyakini adanya sekutu bagi-Nya, melaksanakan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan berpuasa di bulan Ramadhan, akan tetapi mereka tidak menerima sepenuhnya keputusan Allah Swt dan Rasul-Nya seraya mengatakan, “Apabila keputusan yang ada tidak demikian, maka akan menjadi lebih baik”, walaupun hal ini tidak diucapkan dengan lisan dan hanya terlintas dalam hati mereka, dengan kadar ini, mereka telah musyrik”.[11]
3. Meminta Izin Kepada Rasul Saw
Menurut Al-Qur’an salah satu kewajiban sosial kaum muslimin, ialah saat mereka dalam pertemuan dengan Rasulullah Saw, maka tidak diperbolehkan bagi mereka –dengan alasan apapun- untuk meninggalkan pertemuan tersebut sebelum mendapatkan izin dari beliau. Al-Qur’an menyebutkan, “Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya” (QS. An-Nur: 62).
Ayat di atas diturunkan sekaitan dengan sekelompok orang munafik yang di setiap Rasul Saw dan orang-orang mukmin sedang berkumpul guna membicarakan berbagai permasalahan bahkan permasalahan penting sekalipun –seperti halnya peperangan-, mereka tanpa meminta izin dari Rasulullah Saw serta-merta meninggalkan pertemuan tersebut. Akibatnya, dalam ayat ini Allah Swt memberi peringatan kepada mereka untuk tidak meninggalkan Rasul Saw tanpa izin dari beliau.[12]
Perintah ini tidak hanya terbatas pada masa hidup Rasulullah Saw, yang hanya ditujukan kepada para sahabat beliau. Akan tetapi, perintah ini tetap berlaku bagi seluruh kaum muslimin di hadapan para Imam Maksum as dan para ulama yang menduduki posisi sebagai pewaris Nabi. Hal ini, dikarenakan perintah ini mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin dan undang-undang sosial Islam. Selain itu, akal dan logika juga menghukumi hal demikian, karena tidak ada satupun organisasi yang dapat berdiri dan juga kordinasi tidak akan berjalan dengan baik tanpa memperhatikan perkara tersebut.[13] Maka dari itu, merupakan kewajiban bersama umat di saat permasalahan sosial islam dikemukakan oleh seorang ulama -yang pada dasarnya adalah hak Rasulullah Saw-, hendaknya mereka turut andil di dalamnya dan sekali-kali tidak meninggalkan dan mengabaikannya.[14]
4. Setia dan Tidak Berkhianat
Termaksud kewajiban seluruh umat Islam terhadap Nabi mereka, ialah kesetiaan dan tidak berkhianat kepada beliau. Sekaitan hal ini, secara gamblang Al-Qur’an menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad)” (QS. Al-Anfal: 27).
Syekh Thabarsi dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, “Berkhianat kepada Allah Swt ialah meninggalkan sesuatu yang diwajibkan-Nya, khianat kepada Rasul Saw ialah meninggalkan sunnah, sirah serta syariat agama beliau. Meninggalkan perkara agama dan mengabaikannya ialah bentuk pengkhianatan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya”.[15]
Pesan ayat ini dapat difahami dari asbab nuzul ayat tersebut, dimana para mufassir berbeda pendapat seputar sebab diturunkannya ayat ini. Di bawah ini, akan kami sebutkan dua contoh sejarah sekaitan dengan hal ini.
1. Di saat kaum muslimin dengan perintah Rasulullah Saw mengepung kaum Yahudi Bani Quraidhah. Mereka (orang-orang Yahudi) menawarkan untuk berdamai dan bermigrasi ke wilayah Syam. Rasulullah Saw tidak menerima tawaran mereka dan memerintahkan Sa’ad bin Mu’adz untuk menengahi permasalahan tersebut dengan didampingi seorang bernama Abu Lubabah yang memiliki ikatan dengan kaum Yahudi itu. Saat berhadapan dengan mereka, Abu Lubabah mengisyaratkan tangannya ke tenggorokan dengan tujuan mengabarkan mereka, jika menerima Sa’ad sebagai hakim, maka mereka akan terbunuh.
Dengan perintah Allah Swt, Malaikat Jibril mengabarkan tindakan Abu Lubabah kepada Rasulullah Saw, sehingga semenjak kejadian tersebut, Abu Lubabah merasa malu dengan pengkhianatan yang dilakukannya, ia pun mengikat tubuhnya di salah satu tiang masjid Nabi selama tujuh hari tanpa makan dan minum. Pada akhirnya Allah Swt menerima taubatnya.[16]
Berdasarkan pandangan akan asbab nuzul ini, sebuah isyarat yang dapat menguntungkan musuh termaksud salah satu bentuk dari pengkhianatan kepada Nabi Saw.
Dengan demikian, seluruh umat islam berkewajiban untuk menjauhi segala sesuatu yang dapat mengakibatkan Rasulullah Saw dilecehkan dan agama islam direndahkan. Hendaknya mereka tidak melakukan sebuah pekerjaan yang dapat dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk menyerang Rasul Saw dan ajaran yang dibawanya, serta mengokohkan posisi mereka.
2. Dalam peperangan Badar sebagian orang menulis surat kepada Abu Sufyan, surat tersebut berisikan berita mengenai strategi Rasul dalam peperangan tersebut. Abu Sufyan pun dengan meminta bantuan dari kaum musyrikin Makkah bergerak menuju Badar bersama seribu pasukan.[17]
Berdasarkan pandangan ini, membocorkan siasat peperangan Nabi Muhammad Saw kepada musuh merupakan tindakan khianat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena ayat di atas mensejajarkan antara pengkhianatan kepada Allah Swt dan Rasul Saw.
Atas dasar ini, tidak diperbolehkan atas kaum muslimi untuk membocorkan rahasia atau siyasat sosial islam –baik masalah pertahanan, politik, budaya maupun ekonomi- kepada pihak musuh. Karena hal ini dapat membahayakan Islam dan kaum muslimin, serta membawa keuntungan bagi musuh. Menurut ayat di atas, tindakan ini termaksud bentuk pengkhiatan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya.
B. Kewajiban Individual
Maksud dari kewajiban individual ialah kewajiban atas perkara-perkara di luar kerangka sosial. Dengan kata lain, setiap individu umat islam -terlepas akan ikatan antara umat dan pemimpin, serta dimensi sosial undang-undang Islam- memiliki kewajiban tertentu di hadapan Rasul mereka.
Agama-agama Ilahi khususnya agama Islam diturunkan guna menyempurnakan jiwa dan maknawiyah umat manusia. Tujuan diturunkannya syariat ialah untuk mensucikan jiwa manusia dari segala kotoran maknawi. Guna merealisasikan tujuan ini, Allah Swt mensyariatkan sejumlah kewajiban individu umat manusia di balik kewajiban sosial mereka, sehingga dengan menjalankannya dengan tulus dan baik, mereka dapat mencapai penghambaan hakiki dan meraih kedekatan Ilahi yang menjadi tujuan dari penciptaan mereka.
Kewajiban individual terbesar kaum muslimin di hadapan Nabi mereka ialah melaksanakan perintah-perintah Ilahi yang disyariatkan guna mensucikan jiwa mereka. Sebab tanpa melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, kewajiban sosial pun tidak dapat mereka laksanakan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh; seseorang yang tidak bertakwa dan tidak bersifat adil, maka ia tidak akan dapat mengemban tugas-tugas penting perkara sosial secara benar.
Tentunya, setiap individu umat Islam memiliki banyak kewajiban di hadapan Rasul mereka, namun yang secara gamlang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Kecintaan Kepada Rasul Saw dan Ahlul Baytnya
Kecintaan kepada Rasul dan Ahlul Baytnya sedemikian penting dan mulia sehingga Rasul Saw sendiri menganggapnya sebagai pelengkap dari keimanan seorang hamba. Beliau bersabda, “Keimanan seorang hamba [Allah] tidak akan sempurna kecuali apabila ia lebih mencintaiku dari pada dirinya, dan mencintai keluargaku melebihi kecintaannya kepada keluarganya”.[18] Dalam hadis lain seraya mengungkapkan pentingnya kecintaan dalam diri seseorang, beliau bersabda, “Seseorang akan dibangkitkan bersama orang yang dicintainya”.[19]
Tentunya, yang dimaksud dengan kecintaan di sini ialah kecintaan yang mendorong pelakunya untuk mengikuti orang yang dicintainya, ia selalu berusaha untuk menjadikan ucapan dan prilaku pribadi yang dicintai sebagai tauladan baginya.
Kecintaan kepada keluarga Nabi adalah kewajiban besar setiap muslim. Oleh karenanya, dalam sebuah ayat kecintaan kepada mereka disebut sebagai upah dari upaya dan risalah Rasulullah Saw, “Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluarga-ku-” (QS. As-Syura: 23). Dengan kata lain, kecintaan kepada Ahlul Bayt adalah keniscayaan dari kecintaan kepada Rasulullah Saw.
2. Membaca Shalawat
Salah satu kewajiban individu umat Islam terhadap Nabi mereka ialah membaca shalawat kepada beliau. Dalam sebuah ayat Al-Qur’an disebutkan, bahwa Allah Swt dan seluruh Malikatnya bershalawat kepada Rasulullah Saw, sehingga Allah pun memerintahkan umat manusia untuk juga turut bershalawat kepada beliau, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Ahzab: 56).
Arti dari shalawat Allah Swt kepada Rasul ialah Allah Swt menurunkan rahmat-Nya kepada Rasul Saw dan keluarganya, dan saat rahmat Ilahi ini turun kepada beliau, ia pun akan turun pula kepada selain beliau, karena beliau adalah perantara karunia Ilahi kepada para hamba, melalui beliau lah karunia dan rahmat Ilahi akan sampai kepada umat manusia.
Sekaitan dengan ayat di atas, Imam Ali as mengatakan,”Saat kalian membaca ayat ini, baik dalam keadaan shalat atau di luar shalat, maka bacalah shalawat kepada Rasulullah Saw”![20]
Dalam riwayat lain, Imam Ali berkata, “Tidak ada amalan yang lebih berat dalam timbangan amal (mîzan a’mâl) melebihi bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Di hari kiamat, saat amalan seseorang ringan ketika diletakkan di timbangan, Rasulullah Saw akan meletakkan shalawat yang ia ucapkan ditimbangan amalnya, sehingga timbangannya akan menjadi berat dan mengalahkan amalan buruknya”.[21]
3. Bertawasul
Dalam sebuah ayat, Allah Swt menganjurkan kepada orang-orang yang berdosa untuk mendatangi Rasulullah Saw dan meminta kepada beliau untuk memohonkan ampunan kepada Allah Swt, “Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa: 54).
4. Berziarah
Saat kita menziarahi Rasulullah Saw ke kota Madinah, maka kita akan medapatkan karunia dan rahmat khusus Ilahi. Selain Rasulullah Saw mengucapkan salam kepada kita, “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, Maka Katakanlah: "Salaamun alaikum” (QS. Al-An’am: 54). Beliau pun akan memohon kepada Allah Swt agar dosa kita diampuni.
Tentunya berziarah dan bertawasul kepada Rasulullah Saw tidak terbatas hanya dengan datang ke kota Madinah dan menziarahi makam suci beliau -meskipun hal ini memiliki keutamaan tersendiri-. Akan tetapi setiap orang mukmin yang membaca doa dengan niat bertawasul atau berziarah kepada beliau meskipun dari jarak yang jauh, maka ia akan mendapat inayah khusus dari beliau. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an menyebutkan bahwa beliau senantiasa menyaksikan amalan orang-orang mukmin, “Dan Katakanlah: "beramallah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalanmu itu” (QS. At-Taubah: 105).
5. Menjaga Adab dan Sopan Santun
Al-Qur’an mengajarkan etika berbicara di hadapan Rasul Saw kepada kaum muslimin, dalam sebagian ayat di sebutkan beberapa hal sekaitan masalah ini.
Agar kaum muslimin tidak menganggap Rasulullah Saw sebagai manusia biasa, Al-Qur’an memerintahkan mereka untuk menjaga sopan santun saat berbicara atau memanggil beliau, Allah Swt melarang mereka untuk mengangkat suara mereka keras-keras di hadapan Rasul Saw. Karena perbuatan ini ialah perbuatan tidak sopan yang dapat meruntuhkan amalan baik pelakunya. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari” (QS. Al-Hujurat: 2)
Hilang dan runtuhnya pahala saat berlaku tidak sopan kepada Rasulullah Saw, tidak hanya terbatas pada masa kehidupan beliau. Akan tetapi pada saat ini pun kita harus menjaga adab ini di sisi makam suci beliau. Demikian halnya dengan para Imam dan para ulama rabbani, kita diharuskan menjada sopan santun ini di hadapan mereka.
Dalam ayat lain, Allah Swt memperingati kaum muslimin agar tidak mendahului Rasulullah Saw dalam segala hal. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya” (QS. Al-Hujurat: 1).
Syekh Thabarsi saat menjelaskan ayat ini mengatakan bahwa larangan untuk tidak mendahului Rasul Saw mencakup banyak hal diantaranya ialah, saat berjalan dengan beliau, saat berbicara dan melakukan suatu pekerjaan. Al hasil dalam segala hal kita harus bersama dan mengikuti Rasulullah Saw.[22]
Sebagian mufassir lainnya sekaitan dengan larangan mendahului Rasul Saw ini, mengatakan, “Dikarenakan Al-Qur’an tidak menyebutkan bentuk-bentuk tindakan yang dianggap mendahului Rasulullah Saw tetapi ia menyebutkannya secara mutlak, maka larangan tersebut mencakup segala bentuk tindakan mendahului Nabi, baik dalam permasalahan akidah, ilmu, politik, ekonomi ataupun sosial. Dan barang siapa yang mendahului Allah Swt dan Rasul-Nya, maka ia telah berbuat kekacauan dalam sistem masyarakat, yang pada hakikatnya ia telah mempermainkan undang-undang sekehendak hatinya”.[23]
Maka dari itu, undang-undang yang dihasilkan dari kecenderungan pribadi atau adat istiadat warga setempat, bukanlah undang-undang yang berbasis akal dan fitrah. Setiap hukum yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Swt, atau sebaliknya menghalalkan apa yang diharamkan Allah Swt, adalah bentuk perbuatan mendahului Allah Swt dan Rasul-Nya.[24]
Catatan Kaki:
[1] QS. Al-Ahzab: 21.
[2] QS. An-Nur: 54, 56; آli Imran: 32; Al-Maidah: 92.
[3] QS. An-Nisa’: 59; Al-Anfal: 20; Muhammad: 33.
[4] Thabathabai, muhammad Husain, Tafsir al-Mizan, jld. 5, hlm. 40.
[5] QS. An-Najm: 3.
[6] Nahjul Balaghah, Khutbah: 100.
[7] Ibid, Khutbah: 160.
[8] QS. An-Nisa’: 80.
[9] Qira’ati, Muhsin, Tafsif an-Nur, jld. 2, hlm. 311.
[10] Razi, Fakhruddin, Tafsir al-Kabir, jld. 10, hlm. 164.
[11] Kulaini, Muhammad bin Ya’kub, Ushul Al-Kafi, jld. 2, hlm. 398. Hadis No. 6.
[12] Qommi, Ali bin Ibrahim, Tafsir Al-Qommi, jld. 2, hlm. 110.
[13] Syirazi, Nashir Makarim, Tafsir Nemuneh, jld 14, hlm. 565.
[14] Jawadi Amuli, Abdullah, Shuhba-ye Haj, hlm. 198-199
[15] Thabarsi, Tafsir Majma’ Al-Bayan, jld. 3, hlm. 663.
[16] Tafsir An-Nur, jld. 4, hlm. 305.
[17] Ibid, hlm. 306.
[18] Bihar Al-Anwar, jld. 17, hlm. 13.
[19] Ibid.
[20] Ushul Al-Kafi, jld. 2, hlm. 140.
[21] Murtadha Muthahhari, Adl Ilahi, hlm. 240.
[22] Tafsir Majma’ Al-Bayan, jld. 10, hlm. 35.
[23] Ibid, hlm 13.
[24] Ibid, hlm. 13-14.