Benarkah Syi’ah mempunyai Al-Qur’an yang disebut dengan
Mushaf Fathimah sa?
Kata shuhuf di dalam kitab suci Al-Qur’an berarti kitab
secara mutlak, sebagaimana digunakan di dalam ayat:
“Dan apabila catatan-catatan amal disebarkan.” (QS. Al-
Takwir [81]: 10)
“Sesungguhnya hal ini telah ada dalam kitab-kitab
terdahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” (QS.
Al-A’la [86]: 18-19)
Kata mushhaf juga mempunyai akar kata yang sama dengan
kata shuhuf dan berarti buku atau kitab yang dijilid.
Pada awal sejarah Islam, bahkan sepeninggal Rasulullah
Saw, Mushaf belum jadi nama Al-Qur’an, melainkan
digunakan untuk menyebutkan setiap kitab yang dijilid.
Ibnu Abi Dawud Sajestani di dalam bab ‘Pengumpulan Al-
Qur’an’, meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin bahwa
‘Ketika Rasulullah Saw wafat, Ali as berkata, ‘Aku
bersumpah tidak akan meletakkan kain Rida ke bawah
selain untuk Shalat Jum’at kecuali setelah berhasil
mengumpulkan seluruh ayat Al-Qur’an.’ Abul Aliyah juga
meriwayatkan, ‘Mereka mengumpulkan Al-Qur’an di sebuah
Mushaf pada masa kekhalifahan Abu Bakar.’ Dia juga
meriwayatkan, ‘Umar bin Khathab memerintahkan
pengumpulan Al-Qur’an dan dialah orang pertama yang
mengumpulkan Al-Qur’an dalam sebuah Mushaf (kitab).’[1]
Ungkapan-ungkapan ini membuktikan bahwa pada zaman itu
kata Mushhaf digunakan dengan arti buku besar atau kitab
yang dijilid sehingga lembaran-lembarannya tidak
tercerai berai. Tapi lambat laun kata itu digunakan
sebagai salah satu nama dari Al-Qur’an. Hadis-hadis dari
para imam suci as menunjukkan bahwa pada zaman mereka
sendiri kata itu masih digunakan juga untuk arti kitab
atau buku catatan. Imam Ja’far Shadiq as berkata,
‘Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an dari lembaran-
lembaran berjilidnya niscaya dia akan mendapatkan
keuntungan dari matanya.’[2] Pada hadis lain disebutkan,
‘Membaca Al-Qur’an dari lembaran-lembaran berjilid akan
mengurangi siksa yang dirasakan oleh kedua orangtua.
(sepeninggal mereka)’[3]
Mengenai biografi Khalid bin Mi’dan, para sejarawan
menuliskan, ‘Khalid bin Mi’dan mencatat ilmunya di
sebuah buku yang berkancing dan berikatan.’[4] Khalid
bin Mi’dan adalah salah seorang tabiin yang mengalami
tujuh puluh sahabat Nabi Muhammad Saw. Ibnu Atsir
menyebutkan biografinya di materi Kala’i.[5]
Sampai di sini jelas bahwa sampai akhir abad ke-1, kata
mushaf berarti kitab atau buku jilidan yang dijadikan
tempat pencatatan ilmu oleh kebanyakan orang. Jika di
kemudian hari Al-Qur’an juga disebut dengan Mushaf tiada
Iain karena keluar dari benak atau ingatan orang menjadi
tulisan di atas Iembaran-Iembaran yang dijilid.
Berdasarkan keterangan di atas, sama sekali tidak
mengherankan apabila putri Nabi Muhammad Saw Fathimah
Zahra sa mempunyai Mushaf dimana beliau mencatat dan
menyimpan ilmu serta pengetahuannya yang beliau dapat
dari sang ayah, Rasulullah Saw, di dalam Mushaf
tersebut, lalu mewariskannya kepada keturunan beliau.
Terang saja keturunan beliau mengetahui hakikat yang
sebenarnya dari Mushaf itu, mereka mengatakan, ‘Mushaf
ini tiada Iain adalah ilmu dan pengetahuan yang didengar
oleh beliau dari sang ayah atau dari jalur Iain.’
Berikut ini kami akan menukil berapa riwayat yang
berkaitan dengan Mushaf ini:
Hasan bin Ali as berkata, ‘Pada kami terdapat Kitab
Jami’ yang memuat hukum-hukum halal dan haram, begitu
pula Mushaf Fathimah sa yang di dalamnya tidak satu pun
kata dari Al-Qur’an, melainkan hasil dikte Rasulullah
Saw yang ditulis tangan oleh Amirul Mukminin Ali as, dan
semua itu ada pada kami.’[6]
Dengan penuh perhatian imam as mengingatkan kepada kita
semua di dalam Mushaf Fathimah tidak terdapat hukum
halal dan haram, sehingga jangan sampai muncul anggapan
bahwa telah turun wahyu syariat kepada putri Nabi
Muhammad Saw.
Dalam hadis Iain, Imam Ja’far Shadiq as menjelaskan
tentang Mushaf Fathimah seraya berkata, ‘Demi Allah, di
dalamnya tidak terdapat satu kata pun dari Al-Qur’an.’
Perawi meriwayatkan, ‘Lantas aku bertanya kepada beliau,
‘Apakah di dalamnya terdapat ilmu?’ dan beliau menjawab,
‘Tentu saja ada, tapi bukan ilmu yang biasa.’[7]
Berdasarkan bukti dan keterangan di atas, jelas bahwa
Mushaf Fathimah sa tidak ada kaitannya dengan Al-Qur’an,
sedangkan orang-orang yang menjadikannya sebagai dalih
pembenaran atas terjadinya tahrif atau distorsi terhadap
Al-Qur’an tidaklah keluar dari dua kemungkinan;
kemungkinan yang pertama adalah dia orang yang punya
niat buruk dengan tuduhan itu, dan kemungkinan yang
kedua adalah dia orang yang tidak tahu dan berkata
sesuatu tanpa penelitian tentang hakikat yang sebenamya
dari sesuatu tersebut.
Selanjutnya kami akan menjelaskan hakikat yang
sebenarnya tentang hal ini:
Muhaddats dalam Islam
Salah satu ajaran yang pasti diterima oleh ulama Islam
adalah adanya orang-orang muslim tertentu sebagai
muhaddats. Orang-orang ini bukan nabi dan tidak ada
wahyu yang turun kepada mereka. Tapi pada saat yang
sama, para malaikat berbicara dengan mereka dan mereka
mendengar pembicaraan para malaikat tersebut, karena itu
mereka disebut dengan muhaddats dengan bentukan kata
objektif; dengan kata lain, malaikat membawakan hadis
(berbicara) dengan mereka. Bukhari meriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw bersabda, ‘Di kalangan para pendahulu
Bani Israil terdapat orang-orang yang diajak bicara dari
alam gaib, dan pada saat yang sama mereka bukan nabi.
Dan seandainya di kalangan umatku ada orang yang seperti
ini niscaya orang itu adalah Umar bin Khathab.’[8]
Jumlah hadis tentang muhaddats di tengah umat Islam yang
diriwayatkan melalui jalur Ahli Sunnah sangat banyak,
begitu pula keterangan tentang kata dan istilah ini dari
kalangan mereka, karena itu tidak mungkin kita nukil
hadis-hadis dan keterangan itu di sini, dan penjelasan
yang disampaikan oleh para komentator kitab Shobhih
Bukhari tentang hal ini kami rasa sudah cukup untuk
membuktikan kebenarnanya.[9]
Syaikh Kulaini di dalam kitab Al-Kafi menulis sebuah bab
dengan judul ‘Innal A’immata Muhaddatsiin Mufahhamiin’ –
yang artinya, sesungguhnya para imam suci as itu
muhaddats dan mufahham- dengan muatan hadis-hadis yang
bersangkutan. Seluruh hadis yang ditulisnya dalam bab
ini membuktikan bahwa muhaddats adalah orang yang
mendengar pembicaraan malaikat tapi tidak melihatnya.
Kemudian syaikh menambahkan, ‘Seluruh imam suci Ahli
Bait as adalah orang-orang yang muhaddats.’[10]
Fathimah Zahra sa Seorang Muhaddats
Putri Nabi Muhammad Saw Fathimah Zahra sa karena
kesempurnaan dirinya termasuk orang yang muhaddats;
artinya, orang yang mendengar pembicaraan malaikat tapi
tidak melihatnya. Dan pengalaman ini terjadi ketika ayah
mulia beliau meninggal dunia. Kesedihan menyelimuti
dirinya, ketika itulah Malaikat Jibril turun kepadanya
dengan perintah Allah Swt, dia datang dengan membawa
kabar tentang masa depan untuknya dan dengan cara itu
dia hendak menghiburnya.
Sekarang, kami akan menjelaskan ciri-ciri Mushaf
Fathimah sa berdasarkan keterangan dari keturunan suci
beliau sendiri:
Imam Ja’far Shadiq as berkata, ‘Kala Allah Swt mencabut
ruh Rasul-Nya, kesedihan yang mendalam menyelimuti diri
Fathimah Zahra sa, maka Allah Swt mengutus malaikat
untuk menghiburnya, lalu Fathimah Zahra sa memberitahu
Amirul Mukminin Ali as apa yang beliau dengar (dari
malaikat tersebut), sehingga Ali as berkata kepadanya,
‘Kapan pun engkau mendengar suara malaikat maka beritahu
aku apa yang dikatakannya supaya aku dapat
menuliskannya.’ Maka laporan-laporan yang sampai kepada
Fathimah Zahra sa melalui malaikat dan disampaikan oleh
beliau kepada Amirul Mukminin Ali as terkumpul dalam
sebuah buku yang kemudian disebut dengan Mushaf. Namun,
di sana tidak terdapat hukum halal dan haram, melainkan
di dalamnya terdapat kabar-kabar ghaib tentang masa
depan.[11]
CATATAN :
[1] Al-Mashahif, Hafidz Abu Bakar Abdullah bin Abi Dawud
Sajestani, hal. 9-10.
[2] Ushul Al-Kafi, jld. 2, hal. 613.
[3] Ibid.
[4] Al-Mashohif, ibid., hal. 134 & 135.
[5] Al-Lubab fi Tahdzib Al-Ansab, lbnu Atsir, jld. 3,
hal. 62 & 63.
[6] Basha’ir Al-Darojat, Shaffar, hal. 157 & 158.
[7] UshuI Al-Kafi, ibid, hadis no. 1.
[8] Shahih Al-Bukhori, jld. 2, hal. 194, bab Manaqib
Umar bin Khathab.
[9] lrsyad Al-Sari bi Syarh Shahih Al-Bukhari, jld. 6,
hal. 99.
[10] Ushul Al-Kafi, jld. 1, hal. 325-327.
[11] Ushul Al-Kafi, bab ‘Fihi Dzikr Al-Shohifah’, hadis