Konsekuensi logis yang bisa kita tarik dari pembahasan di atas, bahwa jika dalam ilmu hudhuri, sama sekali tidak terdapat perantara, baik dari sisi yang diketahui (ma’lum), begitu pula dari sisi yang mengetahui (alim), dan jika antara wujud yang mengetahui dengan wujud yang diketahui berhubungan secara langsung tanpa melalui perantara, maka dalam ilmu hudhuri tidak mungkin terdapat kesalahan.
Dalam pembahasan epistemologi, ilmu dibagi pada dua bagian; hushuli dan hudhuri. Namun bukan berarti bahwa ilmu hanya dapat di bagi menjadi hudhuri dan hushuli. Tentu, ilmu memiliki pembagian yang lain tergantung pada kategori pembagiannya. Misalnya, dalam pembahasan logika, salah satu pembagian ilmu, badihi (mudah) dan nazari (teoritis), atau dalam pandangan Kant yang membagi ilmu pada apriori dan apostoriori.
Dalam artikel ini, fokus yang akan di bahas adalah ilmu hudhuri dan hushuli. Hudhuri merupakan objek yang paling mendasar dalam pembasan epistemologi, bahkan menjadi bangunan dasar dalam pembahasan metafisik, khususnya dalam tradisi filsafat Islam. Ayatullah Mizbah Yazdi dalam bukunya “ durus-e falsafeh” meyakini bahwa hanya ilmu yang bersandar pada hudhuri yang memiliki sifat yang benar, artinya, jika seluruh pengetahuan nazari kembali pada badihi, maka badihi tersebut pasti hudhuri. Bahkan untuk membuktikan badihi itu sendiri, bersandar pada ilmu hudhuri.
Dalam epistimologi Barat, hampir bisa dikatakan ilmu hudhuri tidak memiliki tempat sebagai subjek pembahasan, mungkin disebabkan karena “berfikir” lebih banyak bernaung dalam pembahasan logika. Maksudnya wilayah ilmu logika “berfikir”, dan “berfikir” memiliki dua objek, tasawwur dan tahsdiq, pemikiran tasawwur dihasilkan melalui had dan rasm, dan tashdiq melalui argumentasi, baik itu qiyas, istiqra dan tamsil, yang semuanya masuk dalam wilayah ilmu hushuli.
Perbedaan Hudhuri dan Hushuli
Pertanyaan yang mendasar dalam pembahasan ini, apakah perbedaan antara ilmu hudhuri dan ilmu hushuli? Atau dalam ungkapan lain, apakah tolak ukur keduanya? Kapankah kita bisa mengatakan bahwa yang satu hushuli dan lainnya hudhuri? Karena sebagaimana kita ketahui bahwa keduanya merupakan pembahagian ilmu, yang terdapat titik kesamaan, juga perbedaan, yang kemudian memisahkan mereka pada hushuli dan hudhuri.
Ada tiga pendapat dalam melihat perbedaan antara hushuli dan hudhuri. Pertama, perbedaaan mendasar antara hushuli dan hudhuri terletak pada “perantara” (washitah). Jika ilmu (yang diketahui) hadir pada kita tanpa melalui perantara apapun, ilmu ini disebut hudhuri. Dan sebaliknya jika melalui “perantara” maka ilmu tersebut disebut dengan hushuli.
Hudhuri berarti ilmu itu sendiri yang hadir pada diri kita, misalnya, ketika kita lapar, apakah kita mengkonsepsi dulu tentang “apa itu lapar” kemudian kita merasakan lapar? Bahkan konsepsi tentang lapar itu sendiri ada setelah kita merasakan lapar. Contoh yang lain tentang “aku”, “aku” dalam hal ini diri kita, untuk menkopsepsinya tidak butuh pada pikiran, kita tidak harus berfikir bahwa “aku” itu apa, kemudian setelah itu “aku” hadir dalam diri kita. Bahkan mengkonsepsi adalah mustahil, karena pikiran bergantung pada “aku”. Karenanya “aku berfikir maka aku ada” adalah sebuah pengingkaran pada ilmu hudhuri.
Berbeda dengan ilmu hushuli, untuk menghasilkannya membutuhkan perantara. Misalnya, untuk mengkonsepsi “api” yang memiliki realitas diluar diri kita, yang kita butuhkan adalah “bentuk” sebagai perantara hingga api yang merealitas diluar bisa kita konsepsi. Sebab tidak mungkin api yang sifatnya membakar, hadir kedalam diri kita, jika mungkin, mengapa diri kita tidak ikut terbakar? Karena, yang hadir kedalam diri kita adalah bentuknya saja, maka kita tidak terbakar. Pada hakekatnya, ilmu hushuli bersandar pada tiga rukun; pertama, yang “menkonsepsi” dalam hal ini adalah jiwa, kedua yang “dikonsepsi” atau yang diketahui secara aksidental, dan ketiga “bentuk yang dikonsepsi” atau yang diketahui secara substansi yang berperan sebagai perantara. Sedangkan dalam ilmu hudhuri cukup dengan dua rukun saja; yang “menkonsepsi” dan yang “dikonsepsi”.
Padangan kedua. Perbedaan yang mendasar antara hushuli dan hudhuri pada “bentuk” (shurah). Jika ilmu kita terhadap sesuatu, kita mendapatkan melalui bentuknya, maka ilmu tersebut kita sebut dengan ilmu hushuli, sedangkan hudhuri tidak butuh pada bentuk, Ia hadir kedalam diri kita dengan seluruh eksistensinya. Ilmu hudhuri adalah , “hadirnya” sesuatu. Ilmu hushuli, sesuatu yang “dihasilkan”. Pandangan kedua ini menyempurnakan pandangan yang pertama, sebab yang dimaksud dengan “perantara” adalah “bentuk” (shurah). Maksudnya, dalam ilmu hushuli, yang menjadi perantara adalah “bentuk” antara yang “menkonsepsi” dengan yang diketahui secara aksiden, namun dalam ilmu hudhuri tak ada sesuatupun yang menjadi perantara, karena, kapan saja terdapat perantara antara yang menkonsepsi dengan yang dikonsepsi, maka perantara itu pastilah bentuk.
Pandangan ketiga. Pandangan ini dikemukakan oleh Syahid Muthahhari, dalam karyanya (Syarah Ushul-e-Falsafeh wa Rawesyeh Realism, jil 2 ,p-28/29) dijelaskan bahwa, “ilmu hudhuri tidak dipengaruhi oleh potensi atau alat tertentu, tapi kita sendiri mengetahui realitas tersebut secara dzati. Namun dalam ilmu hushuli, terdapat potensi tertentu, hingga kita mengetahui, yakni potensi imajinasi (khiyal). Ilmu hudhuri sama sekali tidak dipengaruhi oleh salah satu fakultas jiwa yang dimiliki manusia, berbeda dengan ilmu hushuli yang berhubungan dengan salah satu fakultas manusia “.
Dari berbagai pandangan diatas, secara umum, terdapat dua sudut pandang perbedaan antara ilmu hushuli dan ilmu hudhuri, dari sudut pandang ilmu atau yang diketahui (ma’lum), dan dari sudut pandang yang mengetahui (alim). Pandangan yang pertama dan kedua – perantara dan bentuk – berkaitan dengan sudut pandang yang pertama. Maksudnya jika ilmu atau yang diketahui kita tinjau dari ilmu hushuli, kita bandingkan dengan ilmu hudhuri, maka kita akan melihat, yang satu terdapat perantara, yakni bentuk, sedangkan yang lain tidak. Namun kedua ilmu tersebut, terdapat perbedaan pula dari sisi yang mengetahui (alim). Dalam ilmu hudhuri, yang mengetahui hadir secara dzati dan tanpa melalui perantara, namun dalam ilmu hushuli, yang mengetahui tidak hadir. Akan tetapi melalui potensi atau fakultas tertentu, misalnya fakultas khiyal (image), atau fakultas indrawi. Oleh karenanya, ilmu hushuli berhubungan dengan salah satu fakultas jiwa, sedangkan ilmu hudhuri sebaliknya.
Pembagian ilmu; Hudhuri dan Hushuli
Dalam ilmu logika, pembahasan “pembagian” itu sendiri, terbagi pada dua bagian, terkadang pembagian itu sifatnya “hisri” (tertutup), terkadang pula sifatnya “istiqrai”(terbuka). Misalnya pembagian manusia dari sisi gender; wanita dan pria. Pembagian ini sifatnya tertutup, karena tidak mungkin kita dapatkan manusia yang bukan pria, bukan pula wanita. Sedangkan pembagian yang sifatnya terbuka misalnya; pembagian rasa apel; manis dan kecut. Pembagian ini sifatnya terbuka, karena boleh jadi ada apel yang memiliki rasa asem, atau dengan kemajuan teknologi saat ini, bisa saja bentuknya apel tapi memiliki rasa yang lain. Kaitannya dengan pembahasan kita kali ini, apakah pembagian ilmu pada hushuli dan hudhuri, sifatnya terbuka atau tertutup?
Semua filosof Islam sepakat bahwa pembagian ilmu pada hushuli dan hudhuri sifatnya tertutup, artinya tidak mungkin kita tambahkan lagi bagian didalamnya. Ada dua argumentasi mengapa pembagian ini sifatnya tertutup; pertama, antara yang mengetahui (alim) dan yang diketahui (ma’lum), tidak akan keluar dari dua hal. Apakah diantaranya terdapat perantara, ataukah tidak? Jika terdapat perantara, maka ilmu tersebut hushuli, jika tidak maka huduri.
Argumentasi kedua, hadirnya yang diketahui (ma’lum) ke sisi yang mengetahui (alim) tidak keluar dari dua hal, apakah yang diketahui hadir ke sisi yang mengetahui melalui mahiyahnya, ataukah ia hadir dengan seluruh keberadaannya? Ilmu, jika berkaitan dengan mahiyah maka disebut hushuli, namun jika berkaitan dengan keberadaan (wujud) yang diketahui itu sendiri, maka disebut hudhuri.
Konsekuensi logis yang bisa kita tarik dari pembahasan di atas, bahwa jika dalam ilmu hudhuri, sama sekali tidak terdapat perantara, baik dari sisi yang diketahui (ma’lum), begitu pula dari sisi yang mengetahui (alim), dan jika antara wujud yang mengetahui dengan wujud yang diketahui berhubungan secara langsung tanpa melalui perantara, maka dalam ilmu hudhuri tidak mungkin terdapat kesalahan. Sebab kesalahan bisa terjadi jika terdapat perantara antara yang mengetahui dan yang diketahui, dan hanya melalui perantara ilmu tersebut bisa dihasilkan, atau dalam ungkapan lain, hubungan antara yang mengetahui dengan yang diketahui tidak terjadi secara langsung, tetapi melalui perantara.[]