Indonesian
Thursday 28th of November 2024
0
نفر 0

HARI KEBANGKITAN (1)

HARI KEBANGKITAN (1)



Iman Kepada Hari kebangkitan setelah Beriman Kepada Tuhan

Dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengilustrasikan kehidupan pasca kematian, hari kebangkitan, cara menghidupakn kembali orang-orang yang telah mati, timbangan, perhitungan, dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan kehidupan setelah kematian. Jumlah yang tak sedikit tersebut mengindikasikan posisi agung keyakinan terhadap hari kebangkitan dalam Islam dan peran aktifnya dalam menciptakan kebahagiaan manusia. Oleh karena itu, sering kali didapati keimanan kepada hari kebangkitan disebut tanpa terpisah setelah penyebutan keimanan kepada Tuhan. Seperti yang kita baca dalam ayat 62 surah al-Baqarah: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kebangkitan dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kehawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

Sekelompok ayat menjelaskan dampak-dampak pahit dan mengerikan dari pengingkaran akan hari kebangkitan, sekelompok lagi menjelaskan kebahagiaan dan kesengsaraan abadi, sebagaimana Al-Qur’an dengan pelbagai metode telah memaparkan hubungan dan relasi antara perbuatan baik dan buruk dengan balasan ukhrawinya. Al-Qur’an dengan berbagai metode menjelaskan bahwa terjadinya hari kebangkitan adalah hal yang mungkin terjadi dan sebuah peristiwa yang lazim.

Argumentasi Urgensi Hari Kebangkitan

Dalam beberapa ayat, Al-Qur’an membawakan argumentasi pentingnya hari kebangkitan. Untuk itu kami akan meringkas argumentasi itu sebagai bentuk pengenalan saja buat para pembaca budiman.
1.  Dunia Sia-Sia Tanpa Hari Kebangkitan

Kehidupan dunia tak mungkin menjadi tujuan akhir dari penciptaan manusia. Karena kehidupan dunia bersifat temporal, singkat dan dipenuhi oleh pelbagai kesengsaraan, rintangan, dan pada akhirnya ketiadaan. Oleh karena itu, jika hari kebangkitan tidak terjadi, niscaya kehidupan manusia hanya terbatas di dunia saja, dan penciptaannya akan sia-sia belaka. “Apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakanmu dengan sia-sia belaka, dan bahwa kamu  tidak akan dikembalikan kepada Kami?.” (QS. Al-Mu`minûn: 115)
2. Hari Kebangkitan Konsekuensi Keadilan Tuhan

Di dunia ini terkadang pribadi-pribadi baik dan orang pembuat durjana berada pada satu tingkat kehidupan. Mereka masih dapat menikmati kenikmatan dunia, bahkan terkadang para pelaku durjana memiliki taraf kehidupan lebih baik dan lebih mapan. Keadilan Tuhan mengatakan mereka harus dibedakan, dan setiap dari mereka harus dapat menikmati hasil amal perbuataan mereka masing-masing. Karena hal ini tak bisa didapatkan di dunia, maka butuh dan harus ada alam lain selain alam ini.

“Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka  bahwa Kami akan menjadikan mereka sama seperti orang-orang yang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, di mana  kehidupan dan kematian mereka sama satu sama lain? Amat buruklah apa yang mereka sangka dan hukumi itu”. (QS. Al-Jâtsiyah: 21)
3. Hari Kebangkitan Konsekuensi Rahmat Tuhan

Tuhan memiliki rahmat yang luas dan tak terbatas. Konsekuensi dari rahmat  yang tak  terbatas ini adalah anugerah dan rahmat Tuhan tidak akan terhenti dan terputus karena sekedar kematian, dan senantiasa nikmat yang diterima oleh para hamba-hamba saleh tetap terjaga, dan mengalir.

“Ia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Ia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya”. (QS. Al-An’âm: 12)


Motif Dan Sangkalan Para Pengingkar Hari Kebangkitan

Mayoritas manusia menginginkan hidup secara bebas dan tidak terkekang oleh beban apapun, sehingga ia dapat mengekspresikan segala hal yang didengar, dilihat, dan diucapkan. Namun di sisi lain, keyakinan terhadap hari kebangkitan dan adanya pengadilan di sana, serta balasan terhadap amal perbuatan yang telah dilakukan, menutup jalan manusia untuk merealisasikan obsesinya tersebut. Ketentuan-ketentuan dan undang-undang telah membatasi ruang lingkup dan geraknya. Atas dasar ini, manusia mengingkari dan menolak kabar para nabi tentang adanya hari kebangkitan kelak di Kemudian hari.

“Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukanlah demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jermarinya dengan sempurna/menyamakan sidik jari mereka? Manusia tidak meragukan kekuasaan kami (untuk membangkikan kembali mereka kelak di kemudian hari). Akan tetapi, mereka ingin (bebas dan menampakkan ketidaktakutan akan hari itu) berbuat maksiat terus-menerus sepanjang umurnya. (QS. Al-Qiyâmah: 3-5).

Mengikuti hawa nafsu adalah penyebab keingkaran terhadap hari kebangkitan, dan dengan berbagai justifikasi mereka menolak keberadaannya. Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an penentangan dan pengingkaran mereka ini beraneka-ragam. Di antaranya mereka mengatakan:

1. Tidak ada argumentasi atas terjadinya hari kebangkitan.

2. Hari kebangkitan merupakan salah satu kebohongan dan dongeng orang-orang terdahulu.

3. Hari kebangkitan adalah kebohongan dengan mengatas namakan Tuhan, dan ucapan ngelantur.

4. Menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati adalah sihir dan tipu daya saja.

5. Jika hari kebangkitan memang betu-betul ada, bangkitkanlah leluhur kita.

6. Menghidupkan kembali orang-orang yang mati adalah pekerjaan yang sangat sulit.

7. Menghidupkan kembali orang-orang yang mati berada di keluar kekuasaan Tuhan.

8. Tuhan tidak mengetahui organ-organ tubuh manusia yang telah terpisah. Oleh karena itu, Ia tak mampu untuk membangkitkan kembali manusia-manusia yang sudah mati.

Al-Qur’an dalam menjawab berbagai kritikan dan sangkalan ini, mengingatkan manusia akan kekuasaan absolut dan komprehensif Tuhan. Ia berfirman, ”Mereka tidak mengenal Tuhan sebagaimana yang seharusnya dikenal.

Ia yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan langit, pastilah memiliki kemampuan pula untuk membangkitkan orang yang sudah mati. Ia yang pada awalnya mampu memberi kehidupan,  pada kali kedua tentu mampu melakukannya lagi. Dan Tuhan Maha Mengetahui mayat-mayat yang terpendam dalam bumi.

Hakikat Kematian

Apakah kematian adalah ketiadaan dan kesirnaan atau perpindahan dari satu alam ke alam lain?

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar dan utama bagi setiap manusia, dan setiap manusia selalu mencari jawabannya.

Jalan terbaik untuk mendapatkan jawaban atas soal tersebut adalah merujuk pada Al-Qur’an. Al-Qur’an dalam hal ini memakai kata tawaffâ. Di dalam berbagai tempat Al-Qur’an selalu menggunakan kata tawaffâ untuk mengungkapkan kematian. Tawaffâ secara linguistik berarti pengambilan sesuatu secara utuh dan sempurna. Di saat manusia menarik sesuatu dengan betul-betul dan utuh sehingga tak ada yang tersisa, dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata tawaffâ. Tawaffaitul Mal (aku telah ambil seluruh harta bendaku tanpa kurang dan lebih).

Dalam menjawab mereka-mereka yang berasumsi bahwa manusia ketika telah mati ia dikebumikan, kemudian hancur dan sirna, lalu dengan dalil ini mereka mengingkari hari kebangkitan, Al-Qur’an menjawab mereka seraya berkata, ”Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi tugas (untuk mencabut nyawamu) akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Allah lah kalian akan dikembalikan”. (QS. As-Sajdah: 11).

Dari kelompok ayat yang memakai kata tawaffâ dapat kita simpulkan bahwa berdasarkan perspektif Al-Qur’an kematian adalah pengambilan kembali. Dengan kata lain, ketika manusia mati semua keperibaian dan eksistensinya berada di tangan para pesuruh Allah (malaikat pencabut nyawa), dan mereka telah mengambil manusia. Dari kelompok ayat ini kita dapat mengambil 3 poin berikut:

1. Kematian bukanlah kesirnaan dan ketiadaan, akan tetapi perpindahan dari alam satu pada yang lain, dan manusia dengan cara lain melanjutkan kehidupannya di sana.

2. Realitas manusia yang sering diungkapkan dengan kata “saya” bukanlah badan dan organ-organ tubuhnya. Karena badan dan organ-organ tubuh yang lain ketika mati tidak dapat dipindah dan dicabut oleh para pesuruh Allah. Ia menetap di alam ini dan secara bertahap akan sirna. Realitas manusia yang sering dikatakan dengan kesayaan adalah nafs atau ruh sebagaimana telah diungkapkan oleh Al-Qur’an.

3. Ruh manusia dari sisi maqam lebih tinggi dan utama dari materi dan hal-hal material. Dengan kematian, ruh akan pindah ke alam lain yang sesuai dengannya. Dengan kata lain, ketika mati, hakikat metafisik itu akan kembali ke alamnya.

Hubungan Kematian dengan Tidur

Poin yang perlu kita perhatikan di sini adalah Al-Qur’an juga mengungkapkan tidur dengan kata tawaffâ. “Dan Ialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Ia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Ia membangunkanmu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditentukan. Kemudian kepada Allahlah kalian akan kembali, lalu Ia memberitahukan padamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-An’âm: 60)

Dengan dipakainya kata tawaffâ ini, berarti ada indikasi keserupaan relatif antara kematian dan tidur. Ayat  berikut ini lebih gamblang lagi menjelaskan dan mengungkap keserupaan di antara keduannya. “Allah yang memegang (mengambil secara utuh) ruh manusia di saat kematiannya, dan memegang ruh orang yang belum mati di saat tidurnya, maka Ia tahan jiwa orang yang telah ditetapkan kematiannya dan Ia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang telah ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang berpikir”. (QS. Az-Zumar: 42)

Dalam sebuah riwayat disebutkan Imam Baqir a.s ditanya tentang kematian, apakah kematian itu? Beliau menjawab, ”Ia adalah tidur yang setiap malam mendatangimu, hanya saja ia sangat panjang masanya”.

Dari kompilasi antara ayat-ayat dan beberapa riwayat tadi, dapat kita ketahui bahwa kematian adalah sebuah kondisi mirip tidur, sedang kebangkitan seperti keterjagaan dari tidur. Tidur adalah kematian yang singkat dan sebentar, kematian adalah tidur yang panjang dan lelap sekali. Dan dalam dua tahapan tersebut ruh manusia berpindah dari alam satu pada yang lain. Dengan satu perbedaan, kalau manusia terjaga dari tidur ia tidak menyadari dan memperhatikan kalau pada hakikatnya ia telah pulang dari sebuah perjalanan, sedang dalam kematian tidaklah demikian; segala sesuatu jelas baginya.

Alam Kubur (Barzakh)

Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat dapat dipahami bahwa manusia setelah mati tidak akan memasuki hari kebangkitan secara langsung. Namun, ia akan singgah di alam antara dunia dan akhirat yang bernama Barzakh.

Barzakh secara linguistik bermakna jarak (pemisah) antara dua sesuatu. Oleh karena itu, jarak dan pemisah antara kehidupan dunia  dan Kiamat dinamakan Barzakh.

Kata ini sekurang-kurangnya diulang sebanyak tiga kali dalam Al-Qur’an. Salah satu berkaitan dengan masalah alam pemisah antara dunia dan hari kebangkitan.

“Hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, ia berkata, ”Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan”. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mukminûn: 99).

Ayat ini menggambarkan bahwa setelah mati manusia mengungkapkan rasa penyesalannya, dan meminta dari Tuhan untuk mengembaliknnya lagi ke dunia. Namun keinginan mereka tersebut hanya sekedar isapan jempol belaka.

Dari berbagai ayat Al-Qur’an lain juga dapat kita pahami bahwa ada kehidupan antara kematian dan hari kebangkitan, dan secara utuh manusia akan merasakan kehidupan itu; ia berbicara dan mendengar, mendapatkan kenikmatan dan merasakan siksaan serta menikmati kehidupan penuh bahagia atau kehidupan penuh siksa. Ayat-ayat yang jumlahnya sekitar 15 ayat ini terbagi dalam beberapa katagori:

1. Ayat-ayat yang “merekam” dialog yang terjadi antara para hamba-hamba saleh dan orang-orang durhaka dengan para malaikat. Dialog tersebut terjadi berlangsung selepas kematian mereka. “Sesungguhnya orang-orang yang diambil nyawanya oleh  malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya, ”Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab, ”Kami orang-orang tertindas di negeri (Makkah)”. Para malaikat berkata lagi, ”Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di dalamnya?” Tempat orang-orang itu di Neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisâ`: 97).

Ayat ini berkenaan dengan orang-orang yang hidup di lingkungan non-kondusif, dan mereka menjadikan hal tersebut sebagai alasan. Para malaikat setelah mencabut nyawa mereka, berdialog dengan mereka, dan para malaikat mengatakan justikasi mereka itu cacat alias tak bisa diterima. Karena usaha dan upaya terkecilpun seperti berhijrah tidak mereka lakukan.

2. Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa para malaikat setelah berdialog dengan para saleh berkata kepada mereka, “Dari sekarang nikmatilah kenikmatan Ilahi”. Atas dasar ayat-ayat ini, Mukminin yang beamal saleh sebelum terjadinya Kiamat, dapat menikmati kenikmatan Ilahi.

“Orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat, mereka mengatakan,  “Salamullah Alaikum (salam sejahtera bagi kalian)” masuklah kamu ke dalam surga itu karena apa yang telah kalian kerjakan”. (QS. An-Nahl: 32).

3. Kelompok ayat yang secara langsung menjelaskan kehidupan bahagia yang dinikmati hamba-hamba saleh dan siksaan yang diderita para toleh di alam Barzakh.

“Janganlah kalian mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Akan tetapi, mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan kepada mereka, dan mereka bersenang hati terhadap orang yang tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kehawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”. (QS. Âli ‘Imrân: 169-170).

Ayat ini menggambarkan secara gamblang bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah itu hidup dan mendapatkan kenikmatan dari Tuhan. Sebagaimana ayat ini juga menggambarkan bahwa mereka (orang-orang yang telah mati) sadar dan tahu akan keadaan para manusia yang belum mati dan yang akan menyusul mereka.

“Fira’un beserta kaumnya dikepung oleh azab yang sangat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada waktu pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat (dikatakan kepada malaikat) “Masukkanlah Fira’un dan kaumnya ke dalam azab yang yang sangat keras”. (QS. Al-Mukmin: 45-46).

Dari ayat tadi dapat kita pahami bahwa Fira’un dan kaumnya di azab dengan dua macam siksaan: pertama, azab yang buruk yang terjadi sebelum kiamat, dan hal itu dengan cara didatangkannya api neraka sebanyak dua kali dalam setiap harinya tanpa harus mereka masuk ke dalamnya, dan kedua, siksaan paling dahsyat yang akan mereka rasakan kelak di hari kebangkitan.

Pada azab yang pertama disebutkan kata-kata pagi dan petang, berbeda dengan azab yang kedua. Hal ini disebabkan azab pertama berkaitan dengan alam Barzakh dan di alam Barzakh mengikuti dunia yang memiliki waktu pagi dan sore, minggu, bulan serta tahun, dan hal itu jelas tidak kita dapati dalam alam akhirat. (berkelanjutan)

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Sayidah Zainab dan Ketegaran Sejati
Sejarah Syiah: Sejak Zaman Rasulullah SAW sampai Abad 14 H
Asyura, Mengukir Semangat Juang dan Cinta
Apakah Imam Mahdi punya anak sehingga disebut aba shaleh
faktor-faktor kemunculan Imam Zaman Ajf (2)
Imam Jawad; Samudera Ilmu dan Takwa
Imam Jawad; Samudera Ilmu dan Takwa
Ketika Musa Berburu Keadilan
Imam Jalaluddin As-Suyuthi Tentang Peristiwa Karbala
Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 1-2

 
user comment