Dalam tema agama dan sains, Einsten berujar, “Dengan sedikit hati-hati, akan menjadi maklum bahwa agitasi dan perasaan-perasaan insani menjadi penyebab munculnya agama yang beraneka dan beragam coraknya…”. Setelah menyebutkan asumsi takut, ia menambahkan tipologi menusia sebagai makhluk sosial juga merupakan salah satu faktor munculnya agama.
Seseorang melihat orangtuanya, kerabat, para pemimpin dan orang-orang besar meninggal dunia. Satu demi satu orang-orang disekelilingnya berlalu. Setelah itu harapan untuk terbimbing dengan petunjuk, menyukai, mencintai, bersandar dan bergantung adalah landasan yang membentuk keyakinannya kepada Tuhan. Dengan urutan seperti ini, Einstein beranggapan bahwa penyebab munculnya agama adalah motivasi moral dan motivasi sosial.
Mari kita kembali menelaah pendapat diatas. Orang-orang yang memberikan asumsi akhlak ini keliru dalam memahami efek dan motivasi. Kita mengetahui bahwa setiap efek tidak mengharuskan adanya motivasi. Boleh jadi tatakala menggali sebuah sumur yang dalam kita menemukan harta karun. Ini adalah efek. Sedangkan penggerak dan motivasi utama kita untuk menggali sumur ialah untuk mendapatkan air, bukan untuk menemukan harta karun.
Oleh karena itu, adalah benar bahwa agama dapat menenangkan keluh dan derita spiritual manusia. Iman kepada Tuan dapat melepaskan manusia dari kesendirian tatkala harus kehilangan orang-orang terkasih, sahabat tercinta dan orang-orang besar yang dibanggakan. Iman kepada Tuhan dapat memenuhi segala sesuatu yang lepas dari tangannya dan mengisi kekosongan akibat kehilangan yang dideritanya. Akan tetapi, semua ini adalah sebuah efek bukan merupakan motivasi.
Motivasi utama agama yang tampak paling logis adalah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya; semakin manusia mengamati sistem semesta, semakin ia mengenal kedalaman, kerumitan dan keagungan semesta ini. ia sekali-kali tidak akan menerima begitu saja akan munculnya sekuntum bunga dengan segala elegansinya, keajaiban strukturnya, atau matahari dengan seluruh sistem sedemikian agung dan kompleksnya, yang lahir dari rahim semesta yang tak berakal dan pelbagai benturan. Dan berangkat dari sini, manusia bergerak kepada Sumber Awal sistem jagad ini.
Tentu saja kasus lain dengan maksud yang sama dapat membantu, sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya.
Dan anehnya, Einstein sendirilah yang mengusulkan asumsi ini. di tempat lain ia mengubah pernyataannya. Ia mengekspresikan, dengan bahasa yang berbeda, keyakinannya yang teguh terhadap penyebab terjadinya fenomena semesta dan imannya kepada sumber Awal Yang Agung tersebut. Dan hal ini menunjukkan bahwa a mengingkari ideologi yang bergantung kepada khurafat-khurafat, bukan kepada sebuah tauhid yang tulus dan bersih dari segala khurafat.
Ia menuturkan, “sebuah makna real dari keberadaan Tuhan di balik imaginasi-imaginasi yang secuil telah ditemukan oleh mereka” Kemudian Einstein dan para ilmuwan besar lainnya menamakan keyakinan mereka sebagai sebuah jenis keyakinan yang disebut “perasaan religius keberadaan”. Dan di tempat lain, disebut sebagai takjub yang menggairahkan dari seistem ajaib dan akurat jagad raya”
Dan yang lebih menarik adalah penegasannya : Iman religius adalah suluh bagi jalan pencarian hidup para cendekiawan”
Tentu saja, dalam masalah ini banyak pernyataan yang dapat dinukil. Sekiranya kita ingin melepaskan kendali pena, pembahasan kita akan keluar dari pembahasan tafsir tematik.
Oleh karena itu, kita kembalikan kepada persoalan utama. Dan pembahasan ini kita akhiri sampai disini. Kami ingatkan bahwa untuk mengetahui motivasi atau dorongan munculnya agama seyogyanya terlebih dahulu menelaah penciptaan semesta (alasan logis dan rasional), dan selepas itu mengkaji kekuatan magnetis dalam lubuk hati (motivasi fitri), kemudian mengalihkan perhatian kepada Sumber Awal Yang Agung, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya mengenai anugerah-anugerah Nya yang nir batas.