Dalil Pertama atas Keprinsipalitasan Eksistensi
Menurut keyakinan kami hakikat adalah apa yang dikatakan oleh filosof peripatetik, yaitu keprinsipalitasan wujud. Argumen yang membuktikan kemendasaran eksistensi dijelaskan berikut ini:
Mahiyah ditinjau dari dzatnya bukan sesuatu yang lain kecuali ia –dirinya- dan nisbahnya terhadap wujud dan adam (tiada) adalah sama. Sekarang, jika mahiyah keluar dari kondisi terebut dan mendapatkan bidang wujud, dimana dalam hal ini muncul efek-efek darinya, tidak dengan perantaraan wujud maka terjadi inqilâb pada dzat (inqilâb dzat atau revolusi dzat, yakni sesuatu menjadi sesuatu lain tanpa ada perubahan karena penambahan atau pengurangan yang terjadi), sedangkan revolusi dalam dzat adalah suatu yang mustahil secara badihi. Oleh sebab itu wujudlah yang mengeluarkan mahiyah dari posisi relasi yang sama terhadap wujud dan adam, karena itu wujudlah yang prinsipalitas.
Dan adapun pandangan bahwa mahiyah dengan mendapatkan relasi dan hubungan pada Khâliq (Sang Pencipta) keluar dari batas kesamaan dan mencapai tataran prinsipalitas serta terurut efek-efek darinya, adalah suatu pandangan yang tidak dapat diterima. Sebab jika keadaan mahiyah sesudah berelasi dengan Khâliq mendapatkan perubahan (dan mahiyah mendapatkan suatu hal yang sebelumnya ia tak miliki), dalam bentuk ini penyebab perbedaan kondisi mahiyah pada dasarnya adalah wujud asli, kendatipun dinamakan dengan berelasi pada Khâliq. Dan jika tidak terjadi perbedaan pada mahiyah dan mahiyah dengan sendirinya disifatkan dengan wujud dan menjadi sumber efek-efek maka ini adalah revolusi dalam dzat yang kemustahilannya telah disebutkan sebelumnya.
Penjelasan dan Tafsiran
Dalam bagian ini dijelaskan argumen pertama tentang keprinsipalitasan eksistensi dan keiktibaran mahiyah. Argumen ini merupakan salah satu paling pentingnya argumen yang dipaparkan dalam masalah keprinsipalitasan eksistensi. Keutamaan argumen ini disamping karena kekokohannya, juga dikarenakan ketidakbergantungannya terhadap satupun aksioma dan hanya berlandaskan murni realitas –yakni obyek-obyek di luar mempunyai perwujudan- dan ziyâdah wujud atas mahiyah. Premis-premis argumen ini tertata dalam bentuk ini:
Mahiyah ditinjau secara dzat, tidak mempunyai hak keeksistensian dan tidak hak kenoneksistensian.
Sebagian dari kuiditas-kuiditas adalah maujud dan di luar mempunyai perwujudan.
Perwujudan kuiditas-kuiditas ini jika dengan sendirinya dan tanpa penambahan wujud kepada mereka maka ini adalah inqilâb (revolusi dalam dzat mahiyah). Sementara itu inqilâb dzati adalah mustahil.
Konklusi: Mahiyah dengan perantara penambahan wujud kepadanya akan mendapatkan hak penyifatan keeksistensian dan perwujudan, dan karena itu wujudlah yang prinsipalitas, sebab dengan penambahan suatu perkara iktibari tidak akan menyebabkan keeksistensian dan perwujudan.
Penjelasan: Tidak satupun dari wujud dan adam diperoleh dari konsep-konsep esensial. Misalnya jika kita mengurai konsep manusia, kita akan menemuka konsep-konsep substansi, jisim, sensitif, dan seperti itu lainnya, tetapi selamanya kita tidak akan sampai kepada konsep wujud. Dan dikarenakan ini maka kita katakan, wujud aksidental atas mahiyah. Sekarang jika manusia tersifati dengan wujud dan menemukan perwujudan di luar, penyifatan ini tentunya dikarenakan efek penambahan wujud kepadanya, sebab kalau tidak demikian, ia dengan sendirinya tersifati dengan wujud, ini meniscayakan inqilâb. Inqilâb yakni suatu obyek tanpa perubahan padanya dan sesuatu bertambah atasnya atau berkurang darinya, ia menjadi sesuatu yang lain. Kemustahilan inqilâb adalah jelas, sebab meniscayakan ijtimâ’ naqidhain. Oleh karena itu, penyifatan kuiditas manusia kepada keeksistensian dikarenakan efek penambahan wujud kepadanya. Jadi yang asli dan nyata serta secara hakikat mempunyai realitas adalah wujud, dan mahiyah bukanlah sesuatu kecuali pola mental yang terabstraksi dari wujud.
Ustad Muthahari rh dalam memaparkan argumen ini menyatakan, manusia yang dalam dzat dirinya adalah mahiyah, nisbahnya dengan wujud dan adam adalah sama. Tidak berhak predikasi eksistensi dan tidak predikasi noneksistensi. Manusia mempunyai hak predikasi eksistensi ketika ia ditinjau bersama dengan wujud dan ia memiliki hak predikasi noneksistensi ketika ia beserta dengan adam. Sebaliknya wujud ia adalah eksistensi itu sendiri dan pemilik realitas dan dengan kata lain keeksistensian terabstraksi dari hak dzat wujud tapi tidak terabstraksi dari hak dzat mahiyah, akan tetapi terabstraksi dari mahiyah beserta dengan wujud. Jadi ketika kita melihat seluruh mahiyah-mahiyah keluar dari batas kesamaan dikarenakan wujud, yakni keluar dari kesamaan nisbah kepada wujud dan adam maka bagaimana mungkin bukan wujud yang principal? (Syarh-e Mukhtashar Manzhumeh, Jld. 1, Hal. 14).
Menolak Sebuah Kesangsian
Sebagian mengatakan bahwa mahiyah tidak dengan sendirinya tersifati keeksistensian dan tidak dengan perantara penambahan wujud kepadanya, akan tetapi dengan perantara penisbahannya kepada Pencipta alam dimana telah maujud sebelumnya. Manusia sebelum mendapatkan relasi kepada Pencipta adalah ma’dum (nonexistent), dan setelah berelasi dengannya menjadi eksis.
Dalam menjawab kesangsian mereka mesti dikatakan, setelah penisbahan manusia kepada Pencipta alam, apakah terdapat sesuatu yang bertambah pada kuiditas manusia ataukah tidak terjadi perubahan sama sekali padanya? Jika Anda katakan, sesuatu telah bertambah atasnya dan dengan perantara sesuatu itu ia maujud, kita akan mengatakan, penambahan itu tidak lain adalah wujud dan itu jugalah yang prinsipal. Dan ini sebenarnya adalah ucapan dan pandangan kami, dimana Tuhan dengan penambahan wujud kepada mahiyah mengeluarkannya dari persembunyian adam serta memakaikannya pakaian eksistensi.
Dan jika Anda katakan, tidak terjadi perubahan sedikitpun pada keadaan mahiyah, dan manusia sesudah berelasi kepada Pencipta, itu juga manusia sebelum berelasi, dan dengan ini semua, ia sebelum berelasi adalah tidak eksis serta setelah berelasi menjadi eksis dan menjadi sumber efek-efek. Kita katakan, asumsi ini tidak lain adalah inqilâb yang mana kemustahilannya telah kami singgung.
Bersambung....
Catatan Kaki :
[1] . Dari sini diketahui bahwa sebagian dari definisi-definisi yang dijelaskan bagi mahiyah berdasarkan atas kemendasaran eksistensi, contoh dari definisi-definisi ini di antaranya:
«الماهيّة قالب كليّ للموجودات العينيّة»، «الماهيّة هي الحدّ العقل الذي ينعكس في الذهن من الموجودات المحدودة» (تعليقة علي نهاية الحكمة، ص 22)، «فإنّ ماهيّة كلّ شيء هي حكاية عقلية عنه و شبح ذهني لرؤيته في الخارج و ظلّ له» (اسفار، ج3، ص236)، «فإنّ الماهيّة نفسها خيال الوجود وعكسه الذي يظهر منه في المدارك العقليّة و الحسيّة»، (اسفار، ج1، ص198)، «انّ الماهيّات انحاء الوجود»، «إنّ الماهيّات حدود الوجود»، (نهاية الحكمة، ص14).