Muraqabah (kewaspadaan supaya tidak hanyut dalam dosa) adalah tema pemting dalam ‘irfan amali. ‘Urafa seperti Mirza Jawad Maliki Tabrizi dan Imam as-Sayid Musawi Khomaini sangat meneknkan pentingnya muraqabah bagi salik. Tanpa muraqabah maka amalan akan sia-sia dan hampa dan seorang salik akan tercegah dari memperoleh maqam-maqam suluk. Dan taubat yang efektif dan positif harus disertai dengan muraqabah sehingga melahirkan transformasi dan bahkan revolusi spiritual bagi musafir Ilahi.
Adalah hal yang sangat baik bila orang yang menginginkan taubat dua atau tiga hari sebelumnya mengamalkan amalan ini. Yakni, hendaklah ia memiliki buku dan pada hari-hari ini dan pada masa-masa lalu ia berpikir dari masa kecil sampai hari ini adakah hak orang lain; adakah tanggungan kepada orang lain yang berada di pundaknya lalu hendaklah ia menulisnya di buku itu. Sebab, tanggungan harta bagi anak kecil pun itu menjadi tanggung jawabnya dimana setelah anak itu besar maka ia harus memenuhinya. Begitu juga dari hak-hak Allah Swt, yaitu dari ibadah yang dilalaikan dan diabaikannya maka semua itu harus ditulisnya, bahkan sangat baik sekali bila setiap anggota tubuhnya itu juga ditulis dalam daftar buku itu. Seluruh hak-hak yang wajib dilakukan oleh anggota tubuh harus ditulis di dalam jadwal buku itu. Hendaklah ia betul-betul merenung dan memikirkannya secara mendalam, apakah anggota tubuhnya pernah melakukan kelalaian saat melakukan kewajiban atau melakukan tindakan haram kalau memang dia lupa tidak melakukan sesuatu hendaklah ia mengosongkan daftar buku itu tetapi kalau ada sesuatu yang ingat, hendaknya ia menulis di bukunya. Misalnya, dia menulis dalam jadwal buku itu tentang kondisi mata, apakah mata itu pernah digunakan untuk maksiat. Misalnya, dia membikin jadwal tentang melihat kepada wanita yang non muhrim, melihat kepada gadis yang cantik, melihat kepada aurat orang mukmin, melihat ke rumah orang lain, melihat kepada tulisan yang tidak layak yang tanpa izin dan rida yang punya, melihat untuk menakut-nakuti orang mukmin, melihat dengan pandangan emosi kepada ayah dan ibu atau kepada orang-orang dekat atau kepada para ulama atau kepada orang-orang mukmin secara umum tanpa pembenaran syariat atau melihat dengan tujuan mengejek atau memperolok atau dengan tujuan untuk mencari aib orang atau dengan tujuan untuk menghina atau menunjukkan kesombongan atau melihat dengan keinginan menunjukkan kekurangan orang mukmin atau mengungkap sesuatu yang tersembunyi dari orang mukmin. Misalnya, terkadang satu pandangan menyebakan pembunuhan satu jiwa atau pembunuhan banyak jiwa atau perampasan harta. Allah: “Mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”[1]
Demikianlah hak-hak tidak melihat dan menutupi mata. Begitu juga hak-hak anggota tubuh yang lain, terutama lisan dimana hak-haknya tidak ada batasan.
Jadi kesimpulannya, hendaklah seseorang memperhatikan hak-hak harta dan hak-hak istihlaliyah[2]. Begitu juga hendaklah ia melaksanakan hak-hak ‘amaliyah[3] dan beristighfar terhadap hal-hal yang bisa diperbaiki dengan hanya beristigfar. Adapun hak-hak yang ia tidak lagi mampu melakukannya dan menyerahkannya kepada pemiliknya atau penerima haknya maka ia harus melakukan amalan-amalan baik sesuai dengan kadar haknya. Dan hendaklah ia membayar kafarah atau denda yang menjadi tanggung jawabnya dan melaksanakan qishas (hukuman) yang ditetapkan padanya. Sedangkan sesuatu yang masuk dalam kategori syubhah yang sudah dihindarinya maka hendaklah ia benar-benar berhati-hati dan tidak teledor serta berusaha memperbaikinya. Lalu hendaklah ia melakukan perbuatan yang mulia seperti yang disyaratkan dalam kitab al-Iqbal[4]. Kemudian hendaklah ia membaca doa taubat yang ada pada Shahifah Sajjadiyah dan hendaklah ia mengingat kembali berbagai maksiat besar, lalu ia mengingat juga nikmat khusus Allah Swt, dimana Dia mampu dengan segala kekuasaan-Nya untuk menurunkan siksa dan amarah di hadapan kemaksiatan yang dilakukan tanpa rasa malu ini, namun Allah Swt tetap menggelontornya dengan ribuan kenikmatan. Hendaklah ia bersimpuh dan meletakkan tanah di kepalanya dan hendaklah tangan kanannya diletakkan di lehernya dan diikatnya dan tangan kirinya diikatnya di dadanya, sehingga ia menyerupai kondisi orang-orang yang tersiksa yang mengikat tangan kanan mereka di lehernya dan tangan kirinya diletakkan di dadanya. Lalu kitabnya diberikan dengan tangan kiri. Mudah-mudahan dengan cara seperti ini ia memahami makna ayat:
“Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang.” [5]
Terkadang yang ditonjolkan takut akan siksa dan besarnya kesulitan dan dahsyatnya api Jahannam dan terkadang tentang ular-ular dan kalajengking-kalajengking dan terkadang lagi tentang mata rantai dan belenggu. Berkaitan dengan ayat, “Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta”[6] dalam riwayat disebutkan bahwa satu hasta panjangnya beberapa kilometer dari ukuran kilometer di dunia, dimana itu dimasukkan dari kepalanya dan keluar dari duburnya. Dan terkadang lagi Alquran memberitakan tentang kerasnya siksaan dan besarnya bentuk Malaikat yang sangat kejam dan sangat menakutkan, juga makanan dan minuman Zaqum, Dhari’ dan Ghislin[7]:
“Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka).”[8]
CATATAN :
[1] QS. Ghafir: 19.
[2] Istihlaliyah berarti mengambalikan harta milik seseorang atau sekadar meminta kerelaan dan keridhaannya.
[3] Hak-hak ‘amaliyah seperti melakukan salat dan puasa qadha (yang ditinggalkannya).
[4] Iqbal al A’mal, halaman. 147 dan 197.
[5] QS. Al Insyiqaq: 10.
[6] QS. al-Haqqah: 32.
[7] Zaqum adalah nutrisi penghuni neraka, Dhari’ adalah tanaman berduri, Ghislin adalah darah dan nanah yang mengalir di antara penduduk neraka.
[8] QS. Al Hajj: 19-20.