Indonesian
Thursday 28th of November 2024
0
نفر 0

Mengapa pada ayat 3 surah al-Insan (76), “Imma syâkirân wa immâ kafûrân” pada kata syakiran yang digunakan adalah subyek atau pelaku (ism fâ’il) sementara dalam masalah kufur yang digunakan adalah sigha mubâlagha?

Mengapa pada ayat 3 surah al-Insan (76) yang digunakan, “Immâ syâkirân wa immâ kafurân” (ada yang bersyukur dan ada pula yang amat kafir). Mengapa tidak dinyatakan dengan kalimat immâ syâkirân (ism fail) wa immâ kâfirân (ism fail) atau immâ syakûrân (sigha mubâlagha) wa immâ kafûrân (sigha mubalagha) atau immâ syakûrân (sigha mubâlagha) wa immâ kâfirân (ism fâ’il)?
Jawaban Global

Redaksi kata “syâkir” adalah subyek atau pelaku (isim fâ’il) akar katanya (derivat) dari “syu-k-r” dan “ka-fû-r” adalah bentuk sigha mubâlagha (bentuk kata yang digunakan untuk menyatakan berlebih-lebihannya sesuatu atau bermakna amat-sangat) derivasinya dari “ku-f-r.”

 

Adapun sehubungan dengan mengapa bagian pertama ayat menggunakan subyek atau pelaku (isim fâ’il) dan bagian kedua ayat menggunakan bentuk kata sigha mubalâgha, para penafsir berpendapat sebagai berikut:

 

Lantaran jumlah orang-orang yang bersyukur lebih sedikit ketimbang orang-orang yang tidak bersyukur, maka digunakanlah kata subyek atau pelaku untuk mendeskripsikan syukur dan diterapkan sigha mubâlagha untuk mencirikan kekufuran.[i]

 

Dalam Tafsir Nemune disebutkan, “Mengingat bahwa tiada satu pun tangan dan lisan yang mampu menyampaikan rasa syukur kepada Allah Swt, maka digunakanlah isim fâ’il (subyek/pelaku, syâkir) untuk kata syukur. Sementara sehubungan dengan kekufuran dinyatakan dengan kata kafûr. Kafûr adalah bentuk mubâlaghah; artinya bahwa bentuk kata yang digunakan adalah bentuk kata untuk menyatakan berlebih-lebihannya sesuatu atau bermakna amat-sangat; karena mereka tidak mengindahkan karunia besar ini maka mereka telah melakukan tindakan kekufuran yang amat-sangat; karena Allah Swt telah memberikan pelbagai media petunjuk kepada mereka dan merupakan puncak kekufuran apabila manusia tidak mengindahkannya dan memilih jalan yang keliru.[ii]

 

Disebutkan bahwa kata “ka-fu-r” juga digunakan bagi orang-orang yang tidak bersyukur kepada nikmat (kufur nikmat) juga digunakan bagi orang-orang yang ingkar secara ideologis (kufur akidah) sebagaimana yang diungkap oleh Raghib Isfahani dalam Mufradât-nya.[iii] [iQuest]

 



[i]. Silahkan lihat, Darwisyi Muhyiddin, I’râb al-Qur’ân wa Bayânuhu, jil. 10, hal. 318, Dar al-Irsyad, Suriah, 1415 H.  

 

[ii]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 25, hal. 338, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S.  

 

[iii]. Husain bin Muhammad Raghib Isfahani, al-Mufradât fi Gharîb al-Qur’ân, jil. 714, Dar al-‘Ilm al-Dar al-Syamiyah, Damaskus, 1412 H.

Jawaban Detil

Pertanyaan ini Tidak Memiliki Jawaban Detil

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Apakah perbedaan antara akhlak dan ilmu akhlak?
Dapatkah Anda menyebutkan tentang kisah Siti Hajar istri Nabi Ibrahim As berdasarkan ...
Yang manakah yang dimaksud ayat-ayat sakhra dalam al-Qur'an?
Apakah Ja’dah memiliki anak dari Imam Hasan As?
Menjadi penghuni surga Ridhwan bagaimana bisa sejalan dengan syafaat Malaikat?
Apakah orang-orang Iran memeluk Islam berkat usaha Umar?
Apakah dan bagaimanakah burhân (tanda) Ilahi itu yang menjaga Nabi Yusuf dari perbuatan ...
Mengapa dalam al-Quran iman kepada malaikat disebutkan terlebih dahulu dari pada iman ...
Mengapa Tuhan tidak menggunakan mukjizat untuk mencegah terbunuhnya Imam Husain As?
Bagaimanakah epistemologi dalam pandangan Allamah Thabathabai? Menurut Allamah media ...

 
user comment