Indonesian
Thursday 28th of March 2024
0
نفر 0

Posisi Manusia dalam Sistem Penciptaan

Posisi Manusia dalam Sistem Penciptaan

 

Allah, manusia dan dunia, tiga poros utama pemikiran manusia yang sepanjang sejarah ditanyakan dan pelbagai jawaban telah disampaikan. Dalam ajaran agama-agama langit, khususnya Islam, setelah masalah Allah, tema manusia menjadi yang paling penting. Penciptaan dunia, pengutusan para nabi dan diturunkannya kitab-kitab langit dilakukan untuk membimbing manusia meraih kebahagiaan puncak. Kini pernyataannya, siapa manusia itu, dan bagaimana nasibnya dalam tatanan semesta?

 

“Insan” dalam bahasa Arab berasal dari kata “Uns” yang berarti kedekatan. Insan disebut demikian karena esensi dan keberlangsungannya hanya terjadi bila ia mendekati penciptanya. Kata “Insan” digunakan secara berulang sebanyak 65 kali dalam al-Quran. Dalam pelbagai ayat al-Quran, manusia dikaji dari pelbagai dimensi, khususnya potensi, kewajiban dan masa depannya. Oleh karenanya, mengenal manusia berarti upaya untuk mengenal potensi, kemampuan dan mencari jalan kebahagiaannya.

 

Bila manusia dapat mengenal hakikat keberadaannya dan perannya di tatanan semesta, berarti ia dapat mengenal hakikat Allah Swt. Karena Allah Swt dalam al-Quran berfirman, “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. adz-Dzariyat: 20-21) Firman Allah ini menunjukkan bahwa tanda-tanda keberadaan Allah, dapat di cari pada batin manusia sendiri, selain langit dan bumi.

 

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Tentu saja yang dimaksud dengan pengenalan di sini bukan mengenal fisik, potensi dan nasab manusia saja, tapi mengenal hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk terbaik yang pernah diciptakaan Allah Swt dan sebagai khalifah-Nya di muka bumi.

 

Al-Quran sebagai akhir kitab langit memiliki banyak ayat yang membahas tentang manusia, penciptaan dan posisinya. Sekaitan dengan penciptaan Adam as disebutkan, “... Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani ...” (QS. al-Hajj: 5) dan begitu juga dalam surat al-Hijr ayat 28 dan 29 Allah Swt menjelaskan proses penciptaan manusia pertama, Adam as sebagai berikut, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.

 

Namun bagian lain dari firman Allah Swt terkait maqam dan derajat manusia harus dipahami dari ayat 30 surat al-Baqarah, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Dengan bersandarkan pada ayat-ayat al-Quran ini, sekalipun pada awalnya Allah Swt menciptakan manusia dari tanah liat, tapi ketika Dia meniupkan ruh-Nya ke dalam tubuh manusia, manusia kemudian menjadi makhluk terbaik dan dijadikan sebagai khalifah Allah di bumi. Setelah itu Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada makhluk terbaik ini.

 

Tapi apa sebenarnya yangdimaksud dengan manusia sebagai khalifah Allah? Khalifah berarti wakil. Dengan demikian, ketika dikatakan sesuatu itu khalifah Allah, maka ia harus makhluk yang memiliki sifat-sifat yang mirim dengan Allah. Di sini, Allah Swt menempatkan sifat-sifat-Nya yang tinggi itu ke dalam fitrah seluruh manusia. Bila manusia dengan potensi dan kemampuannya dapat mengenal sifat-sifat mulia ini dan mengaktualisasikannya, maka ia berada dalam posisi khalifah Allah. Karena itu berarti ia telah berada pada tingkatan tertinggi dari tahapan kesempurnaan yang bisa diraih manusia. Dan itulah tujuan dari penciptaan manusia.

 

Tapi perlu diketahui bahwa kebanyakan manusia tidak mampu mengaktualkan segala potensi mulia yang dimilikinya. Sebagian manusia akibat perbuatan buruk yangdilakukannya di muka bumi, sesuai dengan pentakbiran al-Quran, mereka bahkan lebih rendah dari hewan. Dapat dipastikan bahwa manusia yang semacam ini tidak dapat menjadi khalifah Allah Swt.

 

Para meter manusia yang dapat menjadi khalifah Allah Swt adalah pengetahuannya akan sifat-sifat Allah, kontinyuitas dalam beribadah dan penghambaan kepada Allah Swt dan beramal sesuai dengan perintah-Nya. Dengan mencermati perbedaan tingkatan dan derajat manusia dalam mengenal Allah dan ibadah, maka dengan sendirinya maqam khalifah Allah juga memiliki derajat.

 

Oleh karenanya, siapa saja akan mendapat saham khalifah Allah sesuai dengan kemampuannya memanifestasikan sifat-sifat mulia Allah. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan ibadah dan penghambaan tidak hanya melaksanakan hukum syariat, tapi setiap perbuatan yang menunjukkan sifat-sifat mulia dan keutamaan akhlak yang dapat membuat manusia lebih dekat kepada Allah Swt.

 

Allah Swt memberikan manusia akal, kehendak dan kemampuan untuk mengambil keputusan untuk membuktikan bahwa sejak dari sananya manusia sebagai khalifah Allah. Bila manusia menggunakan pemberian dan potensi yang dimilikinya, maka ia dapat mencapai puncak kesempurnaan dengan keutamaan akhlak seperti kemuliaan diri, tawakal, ikhlas, sabar, berani, rendah hati, pengorbanan, jujur dan syukur. Tapi bila ia tidak menggunakan pemberian dan potensi dari Allah Swt ini dan menghiasi dirinya dengan perilaku buruk seperti bodoh, sombong, nifak, zalim, takut, rakus, hasud dan tidak bersyukur, maka posisinya sangat rendah, bahkan lebih rendah dari hewan.

 

Allah Swt menggunakan mekanisme ujian kepada hamba-hamba-Nya untuk memastikan siapa yang layak menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Allah Swt dalam surat al-Mulk ayat 2, berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

 

Dengan demikian, Allah Swt menciptakan manusia dan mengujinya agar menjadi jelas siapa yang berjalan di jalan kebaikan dan kesempurnaan serta siapa yang memilih jalan yang salah dan menjauhkan dirinya dari Allah Swt. Dari sini dapat diketahui bahwa dunia pada dasarnya menjadi sarana untuk menguji manusia. Tujuan dari pengujian ini agar manusia melakukan perbuatan baik dengan penuh keikhlasan. Nabi Muhammad Saw mengenai pengertian perbuatan baik dalam ayat ayat 2 surat al-Mulk ini bersabda, “Maksudnya, siapa dari kalian yang akalnya lebih sempurna, lebih takut kepada Allah Swt dan lebih mengenal perintah dan larangan Allah, sekalipun ibadah sunnahnya lebih sedikit.”(IRIB Indonesia)


source : indonesian.irib.ir
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Puasa Ramadhan dalam tradisi Islam Syiah (bag satu)
Ciri-Ciri Dikuasai Hawa Nafsu
Larangan Allah Mendekati Perbuatan Keji
Dalil Naqli Dan Aqli Adanya Penyerangan Rumah Fatimah sa
Kumpulan Fatwa Rahbar Seputar Taqlid
Di manakah letaknya gua Ashabul Kahfi?
Pengorbanan nan Indah di Mata Al-Aqilah
Amalan Hari Raya Idul Ghadir
Studi Kritis Hadits "Berpegangan kepada al-Quran dan as-Sunnah"
Doa Nadi Ali dan kegunaannya

 
user comment