Abu Bakar berkata:
Aku menyesal terhadap tiga perkara yang telah ku lakukan, aku suka sekali sekiranya tidak melaksanakannya. Salah satunya ialah serangan terhadap rumah Fathimah Az-Zahra. Aku suka sekali kalau tidak merusak rumah Fathimah untuk membongkar apapun sekalipun aku...
Suparno Sutrisno
Dalil Naqli Dan Aqli Adanya Penyerangan Rumah Fatimah sa
لا تحزن ان الله معنا
Janganlah kamu takut karena Allah bersama kita.
Janganlah kamu takut karena Allah berada dikelompok kita.
Janganlah kamu takut karena Allah yang menjadi pendukung kita.
Janganlah kamu takut karena Allah yang menjadi penolong kita.
Janganlah kamu takut karena Allah swt yang menjadi pembela kita.
Janganlah kamu takut karena Allah swt yang menjadi penunjuk kita.
Sebuah syubhat yang kerap ditudingkan kelompok wahabi adalah syubhat yang berkaitan erat dengan para ahlul bait yang lima, baik terhadap imam Ali, Fatimah sa, imam Hasan dan Husain.
Pada kesempatan ini mari kita urai terkait syubhat yang ditujukan pada kelompok syiah atau sunni. Syubhat yang berkaitan langsung dengan empat orang ahlul bait Nabi Muhammad saaw, syubhat kasus penyerangan rumah Fatimah sa.
Dalam syubhat itu dipertanyakan bagaimana mungkin Ali bin Abi Thalib sang Haidar, sang jagoan dimedan laga membiarkan non mahram menyerang istrinya, menyerang rumahnya, padahal sebagai seorang muslim maka Ali bin Abi Thalib harus melakukan jihad pembelaan diri?
Disini dalam syubhat ini ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan:
Pertama, Ali as itu seorang pemberani.
Kedua, dalam syubhat ini digambarkan Ali itu tidak mau melakukan pembelaan diri. Beliau membiarkan keluarganya diserang oleh orang-orang yang disebut sebagai sahabat-sahabat Nabi Muhammad saaw. Beliau diam sama sekali tanpa melakukan perlawanan apalagi mengangkat pedang.
Ketiga, membela diri dan keluarga adalah salah satu kewajiban seorang muslim.
Keempat, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan karena untuk keberanian Imam Ali as tidak ada sedikitpun keraguan, karena orang arab sendiri ketika ada keluarganya mati di medan laga dan yang membunuh adalah Ali maka mereka akan bangga, sebab tidak ada seorang musuh pun yang selamat ketika berperang melawan Ali as.
Kelima, jadi dengan syubhat diatas diangkat tujuan untuk menolak bahwa sebenarnya tidak pernah terjadi penyerangan terhadap rumah Fatimah sa.
Sesungguhnya syubhat ini tidak hanya datang dari kalangan wahabi yang memang gemar sekali mencipta fitnah untuk menyerang syiah, tapi juga dikalangan interen syiah sendiri. Namun ada perbedaan diantara keduanya walau syubhat isinya sama. Ketika syubhat itu ditanyakan interen syiah tujuannya untuk mengetahui apa hikmat dan tujuan dari Imam Ali mengapa melakukan seperti itu jika memang itu beliau lakukan. Mengingat prilaku seorang imam jaman jelas hal itu pasti berdasarkan pada pemikiran dan pertimbangan yang luas. Sedang ketika syubhat ini dilayangkan kelompok takfiri tujuannya lain, tujuan mereka tidak lain adalah untuk mengingkari kejadian pemakaman sayidah Fatimah sa yang dilakukan secara rahasia, sehingga manusia terutama umat Islam tidak perlu bingung dengan pertanyaan dimanakah tempat Fatimah sa dimakamkan?
Seperti kita tahu, ketika ada yang menanyakan dimana makam Fatimah sa maka otomatis dia akan sampai pada pertanyaan mengapa sampai makam beliau tidak diketahui, mengapa beliau mewasiatkan untuk dimakamkan dimalam hari, mengapa Abu Bakar bin Kuhafah dan Umar bin Khatab tidak diberitahu untuk datang mengiring kepergian jenazah Fatimah sa dst sampai pada pertanyaan alasan apa yang membuat sayidah Fatimah sa melakukan tindakan tersebut.
Terkait Penyerangan rumah dan syahâdah Fatimah Zahra sa kami akan mengutip beberapa matan dari kitab-kitab Ahlusunnah sehingga menjadi jelas bahwa masalah penyerangan kediaman Hadhrat Fatimah Zahra Sa merupakan sebuah peristiwa sejarah faktual serta bukan sebuah mitos dan legenda!! Meski pada masa para khalifah terjadi sensor besar-besaran terhadap penulisan keutamaan dan derajat (para maksum); akan tetapi kaidah menyatakan bahwa "hakikat (kebenaran) adalah penjaga sesuatu." Hakikat sejarah ini tetap hidup dan terjaga dalam kitab-kitab sejarah dan hadis. Di sini kami akan mengutip beberapa referensi dengan memperhatikan urutan masa semenjak abad-abad pertama hingga masa kini.
1. Ibnu Abi Syaibah dan kitab "Al-Musannif"
Abu Bakar bin Abi Syaibah (159-235 H) pengarang kitab al-Mushannif dengan sanad sahih menukil demikian:
"Tatkala orang-orang memberikan baiat kepada Abu Bakar, Ali dan Zubair berada di rumah Fatimah berbincang-bincang dan melakukan musyawarah. Hal ini terdengar oleh Umar bin Khattab. Ia pergi ke rumah Fatimah dan berkata, "Wahai putri Rasulullah, ayahmu merupakan orang yang paling terkasih bagi kami dan setelah Rasulullah adalah engkau. Namun demi Allah! Kecintaan ini tidak akan menjadi penghalang. Apabila orang-orang berkumpul di rumahmu maka Aku akan perintahkan supaya rumahmu dibakar. Umar bin Khattab menyampaikan ucapan ini dan keluar. Tatkala Ali As dan Zubair kembali ke rumah, putri Rasulullah Saw menyampaikan hal ini kepada Ali As dan Zubair: Umar datang kepadaku dan bersumpah apabila kalian kembali berkumpul maka ia akan membakar rumah ini. Demi Allah! Apa yang ia sumpahkan akan dilakukannya![1]
2. Baladzuri dan kitab "Ansab al-Asyrâf"
Ahmad bin Yahya Jabir Baghdadi Baladzuri (wafat 270) penulis masyhur dan sejarawan terkemuka, mengutip peristiwa sejarah ini dalam kitab "Ansab al-Asyrâf" sebagaimana yang telah disebutkan.
Abu Bakar mencari Ali As untuk mengambil baiat darinya, namun Ali tidak memberikan baiat kepadanya. Kemudian Umar bergerak disertai dengan alat untuk membakar dan kemudian bertemu dengan Fatima di depan rumah. Fatimah berkata, "Wahai putra Khattab! Saya melihat kau ingin membakar rumahku? Umar berkata, "Iya. Perbuatan ini akan membantu pekerjaan yang untuknya ayahmu diutus."[2]
3. Ibnu Qutaibah dan kitab "Al-Imâmah wa al-Siyâsah"
Sejarawan kawakan Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Dainawari (216-276) yang merupakan salah seorang tokoh dalam sastra dan penulis kawakan dalam bidang sejarah Islam, penulis kitab "Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits" dan "Adab al-Kitab" dan sebagainya. Dalam kitab "Al-Imamah wa al-Siyasah" ia menulis sebagai berikut:
"Abu Bakar mencari orang-orang yang menghindar untuk memberikan baiat kepadanya dan berkumpul di rumah Ali bin Abi Thalib. Kemudian ia mengutus Umar untuk mendatangi mereka. Ia datang ke rumah Ali As dan tatkala ia berteriak untuk meminta mereka keluar namun orang-orang dalam rumah tidak mau keluar. Melihat hal ini Umar meminta supaya kayu bakar dikumpulkan dan berkata, "Demi Allah yang jiwa Umar di tangan-Nya! Apakah kalian akan keluar atau aku akan membakar rumah (ini)." Seseorang berkata kepada Umar, "Wahai Aba Hafs (julukan Umar) dalam rumah ini ada Fatimah, putri Rasulullah." Umar menjawab: "Sekalipun."!![3]
Ibnu Qutaibah sebagai kelanjutan kisah ini, menulis lebih mengerikan, "Umar disertai sekelompok orang mendatangi rumah Fatimah. Ia mengetuk rumah. Tatkala Fatimah mendengar suara mereka, berteriak keras: "Duhai Rasulullah! Selepasmu alangkah besarnya musibah yang ditimpakan putra Khattab dan putra Abi Quhafah kepada kami." Tatkala orang-orang yang menyertai Umar mendengar suara dan jerit tangis Fatimah, maka mereka memutuskan untuk kembali namun Umar tinggal disertai sekelompok orang dan menyeret Ali keluar rumah dan membawanya ke hadapan Abu Bakar dan berkata kepadanya, "Berbaiatlah." Ali berkata, "Apabila Aku tidak memberikan baiat lantas apa yang akan terjadi?" Orang-orang berkata, "Demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya, kami akan memenggal kepalamu."[4]
Tentu saja penggalan sejarah ini sangat berat dan pahit bagi mereka yang mencintai syaikhain (dua orang syaikh, Abu Bakar dan Umar). Karena itu, mereka meragukan kitab ini sebagai karya Ibnu Qutaibah. Padahal Ibnu Abil Hadid, guru sejarah ternama, memandang bahwa kitab ini merupakan karya Ibnu Qutaibah dan senantiasa menukil hal-hal di atas. Namun amat disayangkan kitab ini telah mengalami distorsi dan sebagian hal telah dihapus tatkala dicetak sementara hal yang sama disebutkan dalam Syarh Nahj al-Balâghah karya Ibnu Abil Hadid.
Zarkili menegaskan bahwa kitab "Al-Imâmah wa al-Siyâsah" ini merupakan karya Ibnu Qutaibah dan mengimbuhkan bahwa sebagian memiliki pendapat terkait dengan masalah ini. Artinya keraguan dan sangsi disandarkan kepada orang lain bukan kepada mereka, sebagaimana Ilyas Sarkis[5] memandang bahwa kitab ini merupakan salah satu karya Ibnu Qutaibah.
4. Thabari dan kitab "Târikh"
Muhammad bin Jarir Thabari (W 310 H) dalam Târikh-nya peristiwa penyerangan ke rumah wahyu menjelaskan demikian:
Umar bin Khattab mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib sementara sekelompok orang-orang Muhajir berkumpul di tempat itu. Umar berkata kepada mereka: "Demi Allah! Saya akan membakar rumah ini kecuali kalian keluar untuk memberikan baiat." Zubair keluar dari rumah sembari membawa pedang terhunus, tiba-tiba kakinya terjungkal dan pedangnya terjatuh. Dalam kondisi ini, orang lain menyerangnya dan mengambil pedang darinya.[6]
Penggalan sejarah ini merupakan sebuah indikator bahwa pengambilan baiat dilakukan dengan intimidasi dan ancaman. Seberapa nilai baiat semacam ini? Kami persilahkan Anda untuk menjawabnya sendiri.
5. Ibnu Abdurabih dan kitab "Al-‘Aqd al-Farid"
Syihabuddin Ahmad yang lebih dikenal dengan Ibnu Abdurabih Andalusi (463 H) penulis kitab al-Aqd al-Farid dalam kitabnya menulis sebuah pembahasan rinci terkait dengan sejarah Saqifah dengan judul "Orang-orang yang menentang baiat kepada Abu Bakar." Berikut tulisannya, "Ali, Abbas dan Zubair duduk di rumah Fatimah dimana Abu Bakar mengutus Umar bin Khattab untuk mengeluarkan mereka dari rumah Fatimah. Ia berkata kepadanya, "Apabila mereka tidak keluar, maka berperanglah dengan mereka! Dan ketika itu, Umar bin Khattab bergerak menuju ke rumah Fatimah dengan membawa api untuk membakar rumah tersebut. Dalam kondisi seperti ini, ia berjumpa dengan Fatimah. Putri Rasulullah Saw berkata, "Wahai putra Khattab! Kau datang untuk membakar (rumah) kami. Ia menjawab: "Iya. Kecuali kalian memasuki apa yang telah dimasuki umat![7]
Kiranya kami cukupkan sampai di sini penggalan kisah tentang adanya keinginan untuk menyerang rumah Fatimah. Sekarang mari kita mengulas pembahasan kedua kita yang menunjukkan alasan adanya niat untuk menyerang ini.
Apakah penyerangan itu benar-benar terjadi?
Di sini ucapan-ucapan kelompok yang hanya menyinggung niat buruk khalifah dan para pendukungnya berakhir sampai di sini saja. Sebuah kelompok yang tidak ingin atau tidak mampu menyuguhkan laporan tragedi yang terjadi dengan jelas, sementara sebagian kelompok menyinggung inti tragedi yaitu penyerangan terhadap rumah dan sebagainya, sehingga tersingkap kedok yang sebenarnya meski pada tingkatan tertentu. Di sini kami akan menyebutkan beberapa referensi terkait dengan penyerangan dan penodaan kehormatan (pada bagian ini juga dalam mengutip beberapa literatur dan referensi ghalibnya dengan memperhatikan urutan masa penulis atau sejarawan):
1. Abu Ubaid dan kitab "Al-Amwâl"
Abu Ubaid Qasim bin Salam (W 224 H) dalam kitabnya "Al-Amwâl" yang menjadi sandaran para juris Islam menukil: "Abdurrahman bin Auf berkata, "Aku datang ke rumah Abu Bakar untuk membesuknya yang tengah sakit. Setelah berbicara panjang-lebar, ia berkata: "Saya berharap kiranya saya tidak melakukan tiga perbuatan yang telah saya lakukan. Demikian juga saya berharap saya bertanya tiga hal kepada Rasulullah Saw. Adapun tiga hal yang telah saya lakukan dan saya berharap kiranya saya tidak melakukannya adalah: "Kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah dan membiarkanya begitu saja meski pintunya tertutup untuk (siap-siap) perang."[8]
Abu Ubaid tatkala sampai pada redaksi ini, tatkala sampai pada redaksi ini, alih-alih menulis "Lam aksyif baita Fatima wa taraktuhu..." Ia malah menulis, "kadza..kadza.." dan menambahkan bahwa saya tidak ingin menyebutkannya!
Namun kapan saja Abu Ubaid berdasarkan fanatisme mazhab atau alasan lainnya menolak untuk menukil kebenaran dan hakikat ini; namun para peneliti kitab al-Amwâl menulis pada catatan kaki: Redaksi kalimatnya telah dihapus dan disebutkan pada kitab "Mizân al-I'tidâl" (sebagaimana yang telah dijelaskan). Di samping itu, Thabarani dalam "Mu'jam" dan Ibnu Abdurrabih dalam "Aqd al-Farid" dan lainnya menyebutkan redaksi kalimat yang telah dihapus itu. (Perhatikan baik-baik)
2. Thabarani dan kitab "Mu'jam al-Kabir"
Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad Thabarani (260-360 H) dimana Dzahabi bercerita tentangnya dalam Mizân al-I'tidâl: Ia adalah seorang yang dapat dipercaya.[9] Dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir yang berulang kali telah dicetak, terkait dengan Abu Bakar, khutbah-khutbah dan wafatnya, Thabarani menyebutkan: "Abu Bakar sebelum wafatnya ia berharap dapat melakukan beberapa hal. Kiranya saya tidak melakukan tiga hal. Kiranya saya melakukan tiga hal. Kiranya saya bertanya tiga hal kepada Rasulullah. Ihwal tiga perkara yang dilakukan dan berharap kiranya tidak dilakukannya, Abu Bakar menuturkan, "Saya berharap saya tidak melakukan penodaan atas kehormatan rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja![10] Redaksi-redaksi ini dengan baik menunjukkan bahwa ancaman Umar itu terlaksana.
3. Ibnu Abdurrabih dan "Aqd al-Farid"
Ibnu Abdurrabih Andalusi (W 463 H) penulis kitab "Aqd al-Farid" dalam kitabnya menukil dari Abdurrahman bin Auf: ""Aku datang ke rumah Abu Bakar untuk membesuknya yang tengah sakit. Setelah berbicara panjang-lebar, ia berkata: "Saya berharap kiranya saya tidak melakukan tiga perbuatan yang telah saya lakukan. Salah satu dari tiga hal tersebut adalah. Kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah dan membiarkanya begitu saja meski pintunya tertutup untuk (siap-siap) perang."[11] Dan juga nama-nama dan ucapan-ucapan orang-orang yang menukil ucapan khalifah ini akan disebutkan bagian mendatang.
4. Nazzham dan "Al-Wâfi bi al-Wafâyât"
Ibrahim bin Sayyar Nazzham Muktalizi (160-231) yang lantaran keindahan tulisannya dalam puisi dan prosa sehingga ia dikenal sebagai Nazzham. Dalam beberapa kitab menukil tragedi pasca hadirnya beberapa orang di rumah Fatimah sa. Ia berkata, "Umar, pada hari pengambilan baiat untuk Abu Bakar, memukul perut Fatimah dan ia keguguran seorang putra yang diberi nama Muhsin yang ada dalam rahimnya."[12] (Perhatikan baik-baik)
5. Mubarrad dan kitab "Kâmil"
Muhammad bin Yazid bin Abdulakbar Baghdadi (210-285), seorang sastrawan, penulis terkenal dan pemilik karya-karya terkemuka, dalam kitab "Al-Kâmil"-nya, mengutip kisah harapan-harapan khalifah dari Abdurrahman bin Auf. Ia menyebutkan, "Saya berharap kiranya saya tidak menyerang rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja pintunya (meski) tertutup untuk (siap-siap) perang."[13]
6. Mas'udi dan "Murûj al-Dzahab"
Mas'udi (W 325 H) dalam Murûj al-Dzahab menulis: "Tatkala Abu Bakar menjelang wafatnya berkata demikian, "Tiga hal yang saya lakukan dan berharap kiranya saya tidak melakukannya. Salah satunya adalah: Saya berharap kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah. Hal ini banyak (kali) ia sebutkan."[14]
Mas'udi meski ia memiliki kecendrungan yang baik kepada Ahlulbait namun sayang ia menghindar untuk mengungkap ucapan khalifah dan menyampaikannya dengan bahasa kiasan. Akan tetapi Tuhan mengetahui dan hamba-hamba Tuhan juga secara global mengetahui hal ini!
7. Ibnu Abi Daram dalam Mizân al-I'tidâl
Ahmad bin Muhammad yang dikenal sebagai "Ibnu Abi Daram" ahli hadis Kufa (W 357 H), adalah seseorang yang dikatakan oleh Muhammad bin Ahmad bin Himad Kufah: "Ia adalah orang yang menghabiskan seluruh hidupnya di jalan lurus."
Dengan memperhatikan martabat ini, ia menukil bahwa di hadapannya berita ini dibacakan, "Umar menendang Fatimah dan ia keguguran seorang putra bernama Muhsin yang ada dalam rahimnya![15] (Perhatikan baik-baik)
8. Abdulfatah Abdulmaqshud dan kitab "Al-Imâm Ali"
Ia menyebutkan dua hal terkait dengan penyerangan ke rumah wahyu dan kita hanya menukil satu darinya: "Demi (Dzat) yang jiwa Umar berada di tangan-Nya. Apakah kalian keluar atau aku akan membakar rumah ini (berikut penghuninya). Sebagian orang yang takut (kepada Allah) dan menjaga kedudukan Rasulullah Saw dari akibat perbuatan ini, mereka berkata: "Aba Hafs, Fatimah dalam rumah ini." Tanpa takut, Umar berteriak: "Sekalipun!! Ia mendekat, mengetuk pintu, kemudian menggedor pintu dengan tangan dan kaki untuk masuk ke dalam rumah secara paksa. Ali As muncul.. pekik jeritan suara Zahra kedengaran di dekat tempat masuk pintu rumah... suara ini adalah suara meminta pertolongan.."[16]
satu hadis lainnya dari "Maqatil Ibnu ‘Athiyyah" dalam kitab al-Imâmah wa al-Siyâsah (Meski masih banyak yang belum diungkap di sini!)
Ia menulis dalam kitab ini sebagai berikut:
"Tatkala Abu Bakar mengambil baiat dari orang-orang dengan ancaman, pedang dan paksaan, Umar, mengirim Qunfudz dan sekelompok orang ke rumah Ali dan Fatimah sa dan Umar mengumpulkan kayu bakar dan membakar pintu rumah..."[17]
Ibnu Zanjawaih di dalam al-Amwal, Ibnu Qutaibah Dainuri di dalam kitab al-Imamah Was-Siyasah, Thabari di dalam kitab Tarikhnya, Ibnu Abd Rabbah di dalam kitab al-ʽAqdul Farid, Masʽudi di dalam kitab Muruj al-Zahab, Thabari di dalam kitab al-Muʽjam al-Kabir, Muqaddasi di dalam kitab al-Ahadis al-Mukhtarah, Shamsuddin Zahabi di dalam kitab Tarikh al-Islam dan banyak lagi... telah menukilkan Pengakuan Abu Bakar dengan sedikit perbedaan teks. Kami ingin bawakan di sini matan dari kitab al-Amwal ibnu Zanjawaih yang merupakan salah satu tokoh Ahlusunnah kurun ke-tiga:
أنا حميد أنا عثمان بن صالح، حدثني الليث بن سعد بن عبد الرحمن الفهمي، حدثني علوان، عن صالح بن كيسان، عن حميد بن عبد الرحمن بن عوف، أن أباه عبد الرحمن بن عوف، دخل على أبي بكر الصديق رحمة الله عليه في مرضه الذي قبض فيه ... فقال [أبو بكر] : « أجل إني لا آسى من الدنيا إلا على ثَلاثٍ فَعَلْتُهُنَّ وَدِدْتُ أَنِّي تَرَكْتُهُنَّ، وثلاث تركتهن وددت أني فعلتهن، وثلاث وددت أني سألت عنهن رسول الله (ص)، أما اللاتي وددت أني تركتهن، فوددت أني لم أَكُنْ كَشَفْتُ بيتَ فاطِمَةَ عن شيء، وإن كانوا قد أَغْلَقُوا على الحرب... .
Telah menceritakan kepada kami Hamid, telah menceritakan kepada kami Usman bin Shalih, telah menceritakan kepada kami al-Lays bin Saʽd bin Abdul Rahman al-Fahmi, telah menceritakan kepada kami ʽUlwan, daripada shalih bin Kaysan, daripada Hamid bin Abdul Rahman bin ʽAuf, sesungguhnya ayahnya Abdul Rahman bin ʽAuf bertemu dengan Abu Bakar ketika sedang sakit yang bakal membawa kematiannya.... Maka Abu Bakar berkata:
Aku menyesal terhadap tiga perkara yang telah ku lakukan, aku suka sekali sekiranya tidak melaksanakannya. Salah satunya ialah serangan terhadap rumah Fathimah Az-Zahra. Aku suka sekali kalau tidak merusak rumah Fathimah untuk membongkar apapun sekalipun aku...[18-19]
Sekarang jelas bahwa tidak ada jalan lagi untuk mengingkari kejadian penyerangan rumah Fatimah sa. Dan ketentuannya barangsiapa mengakui bahwa penyerangan ini terjadi dan dilakukan khalifah waktu itu maka harus percaya bahwa Sayidah Fatimah telah marah kepada mereka, dan ini berlanjut hingga wafat beliau, sehingga beliau tidak mengijinkan dua syaikh tadi untuk datang kepemakaman beliau.
Permasalahan selanjutnya, apakah benar Imam Ali as hanya berdiam diri?
sebelum menjawab pertanyaan ini mari kita Tanya, pada masa Nabi Muhammad masih hidup dimana banyak orang munafik dan musyrik yang ada disekitar beliau, banyak para pemeluk agama Islam diserang dan dibunuh namun nabi tidak dating mengangkat pedang melakukan pembelaan, apakah dengan semua kenyataan ini kita akan berkata bahwa Nabi Muhammad saw itu pengecut, nauzubillah minzalik, jelas kita tidak akan berbuat lancang mengatakan hal demikian ini.
dalam hal ini sebenarnya Imam Ali as tidak hanya berdiam diri, beliau melakukan perlawanan, walau perlawanan beliau tidak dengan menyabetkan pedang sehingga para penyerang harus bergelimang darah. Perlawanan dengan sebuah tujuan yang akan kami jelaskan nantinya.
Sebelum menjawab pertayaan diatas mari kita telusur berbagai kemungkinan ketika Imam Ali mengangkat pedang dan membunuh semua orang yang menyerang rumah beliau.
Ketika Imam Ali mengangkat pedang maka beliau dan keluarga beliau akan dicap sebagai pemberontak yang melakukan pemeberontakan kepada khalifah yang "sah" sesuai pemilihan sepihak di Saqifah bani Saidah. Ketika hal ini terjadi maka dengan mudah dan tanpa arti para musuh islam itu akan menyerang Imam Ali as dan keluarga membunuh mereka tanpa ada bekas dan arti bagi umat Islam, umat Islam hanya akan mengenang mereka sebagai seorang pemberontak tidak lebih. Berbeda dengan kasus pengangkatan pedang yang dilakukan Imam Husain as.
Ketika Imam Ali as melakukan perlawanan pedang maka islam akan musnah, tidak akan pernah terdengar adzan sehari-hari. Waktu itu musuh Islam menunggu titik-titik lemah Islam dan peperangan saudara peperangan interen ditengah umat Islam jelas akan melemahkan Islam yang memang baru berdiri. Roma dan Persia jelas akan girang mendengar berita peperangan intern ditengah umat Islam, dan jelas mereka akan mencari waktu tepat untuk membumi hangus islam sampai keakar-akarnya. Bagaimana dengan tugas Imam Ali as untuk menjaga Islam, mengembangkan Islam, mendakwahkan Islam, apakah hal itu bisa terwujud jika beliau memulai peperangan intern dalam Islam sendiri? Selain itu apa yang akan dilakukan para munafikin, bukankah ketika ada peperangan didalam islam ini kesempatan emas buat mereka, bagaimana dengan para Nabi Palsu, bukankah para nabi Palsu akan berpesta dan berkata, nih lihatlah agama islam, penuh dengan kekacauan, maka dari itu ikutilah aku, ikuti ajaranku.
Ketika Imam Ali sampai meninggal dalam perlawanan maka tidak ada lagi yang mengawasi pemerintahan Islam, dalam sejarah kita bisa membaca bahwa walau bagaimana Imam Ali as tetap berperan dalam menjaga Islam, berulang kali khalifah bertanya dan merujuk kepada beliau, sebuah pengakuan secara tidak langsung bahwa mereka kalah ilmu dibanding Ali as. Ketika Imam Ali as tidak ada maka islam yang ada adalah islam versi khulafa yang tiga dimana dalam kasus pemilihan Imam Ali as untuk dipilih menjadi khalifah menggantikan Umar, beliau menolak persyaratan untuk mengikuti apa-apa yang sudah dilakukan dua khalifah pertama kedua, sebab itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi saw.
Kedua perlu diketahui bahwa waktu itu Imam Ali as tidak memiliki jumlah pendukung yang cukup, hanya sahabat setia pada wasiat nabi saja yang mengikuti beliau hingga akhir, dan mereka sedang berkumpul dirumah Ali as pada saat dilakukan penyerangan dan pembakaran pintu rumah Ali as. Mungkin ada sahabat lain yang tidak ada disana tapi jumlahnya tidaklah seberapa.
Ketiga, apa yang dilakukan Imam Ali as dengan tidak mengangkat pedang dan dengan melarang para sahabat setia beliau untuk tidak melakukan perlawanan tidak jauh beda dengan tindakan Allah yang masih membiarkan setan tetap ada dimuka bumi padahal setan itu membuat manusia sengsara, menipu sehingga banyak manusia tidak menyembah Allah. Padahal Allah kuasa dan Maha segala, jika Allah berkehendak maka setan dan iblis akan binasa tanpa tersisa namun kenyataannya Allah tidak melakukan hal ini. Apakah masih eksisnya setan dan iblis menunjukkan bahwa Allah itu pengecut?
Keempat, pada jaman Nabi banyak sahabat yang disiksa dan dibunuh kaum musyrik, namun Nabi tidak mengangkat pedang dan melakukan peperangan pada mereka, apakah hal itu berarti Nabi saw itu pengecut tidak berani?
Kelima, ketika Imam Ali as melakukan perlawanan maka beliau akan dibilang telah murtad dan layak dibunuh. Sebab telah melawan khalifah yang "sah".
Keenam, kondisi waktu itu sungguh kacau sehingga sahabat yang membunuh sahabat lain lalu mezinai wanita itu dihitung sebagai sebuah ijtihad yang salah dan itu mendapat pahala satu. Khalid bin al-Walid membunuh sahabat Malik bin Nuwairah, petugas pengumpul zakat Nabi SAW hanya karena ingin memiliki isteri Malik yang cantik jelita bernama Ummu Tamim.
Cerita ini diangkat berdasarkan apa yang dicatat oleh Tabari dalam Tarikhnya ketika Umar berkata keras kepada Khalid :"Kamu telah membunuh seorang Muslim kemudian kamu memperkosa isterinya. Demi Allah aku akan merajam kamu dengan batu."[20]
Dan juga tercatat dalam al-Isabah bahwa Khalifah Abu Bakar tidak mengenakan hukum hudud ke atas Khalid bin al-Walid yang telah membunuh Malik bin Nuwairah dan kabilahnya. Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib menuntut supaya Khalid dihukum rajam. [21]
Sebenarnya mengapa Imam Ali as tidak melakukan perlawanan bersenjata tidak perlu kita buktikan dengan nash dan riwayat, sesungguhnya dengan akal sehat pun sudah bisa memahami mengapa beliau melakukan langkah itu, dari sisi islam yang masih baru, islam yang masih rentan, jelas Imam tidak mungkin bertindak gegabah dengan melakukan perlawanan bersenjata.
Alasan mengapa Imam Ali as tidak melakukan perlawanan bersenjata adalah untuk maslahat umat, untuk menjaga agar Islam tetap eksis, untuk menjaga islam yang hakiki, sebuah tindakan yang sudah semestinya dilakukan seorang imam umat. Dia melakukan segala hal dengan penuh pertimbangan. Tidak hanya melihat dari satu sisi saja, yang diukur sebagai pengecut atau penakut.
Wallahu 'alam Bishshawwab
Footnote:
[1]. Ibnu Abi Saibah, al-Musannif, 8/572, Kitab al-Maghazi:
« انّه حین بویع لأبی بکر بعد رسول اللّه(صلى الله علیه وآله) کان علی و الزبیر یدخلان على فاطمة بنت رسول اللّه، فیشاورونها و یرتجعون فی أمرهم. فلما بلغ ذلک عمر بن الخطاب خرج حتى دخل على فاطمة، فقال: یا بنت رسول اللّه(صلى الله علیه وآله) و اللّه ما أحد أحبَّ إلینا من أبیک و ما من أحد أحب إلینا بعد أبیک منک، و أیم اللّه ما ذاک بمانعی إن اجتمع هؤلاء النفر عندک أن امرتهم أن یحرق علیهم البیت. قال: فلما خرج عمر جاؤوها، فقالت: تعلمون انّ عمر قد جاءَنى، و قد حلف باللّه لئن عدتم لیُحرقنّ علیکم البیت، و أیم اللّه لَیمضین لما حلف علیه.»
[2]. Ansab al-Asyrâf, 1/582, Dar Ma'arif, Kairo:
«انّ أبابکر أرسل إلى علىّ یرید البیعة فلم یبایع، فجاء عمر و معه فتیلة! فتلقته فاطمة على الباب. فقالت فاطمة: یابن الخطاب، أتراک محرقاً علىّ بابى؟ قال: نعم، و ذلک أقوى فیما جاء به أبوک...»
[3]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 12, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
« انّ أبابکر رضی اللّه عنه تفقد قوماً تخلّقوا عن بیعته عند علی کرم اللّه وجهه فبعث إلیهم عمر فجاء فناداهم و هم فی دار على، فأبوا أن یخرجوا فدعا بالحطب و قال: والّذی نفس عمر بیده لتخرجن أو لاحرقنها على من فیها، فقیل له: یا أبا حفص انّ فیها فاطمة فقال، و إن!! »
[4]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 13, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
« ثمّ قام عمر فمشى معه جماعة حتى أتوا فاطمة فدقّوا الباب فلمّا سمعت أصواتهم نادت بأعلى صوتها یا أبتاه رسول اللّه ماذا لقینا بعدک من ابن الخطاب، و ابن أبی قحافة فلما سمع القوم صوتها و بکائها انصرفوا. و بقی عمر و معه قوم فأخرجوا علیاً فمضوا به إلى أبی بکر فقالوا له بایع، فقال: إن أنا لم أفعل فمه؟ فقالوا: إذاً و اللّه الّذى لا إله إلاّ هو نضرب عنقک...!»
[5]. Mu'jam al-Mathbu'ât al-Arabiyah, 1/212.
[6]. Târikh Thabari, 2/443:
« أتى عمر بن الخطاب منزل علی و فیه طلحة و الزبیر و رجال من المهاجرین، فقال و اللّه لاحرقن علیکم أو لتخرجنّ إلى البیعة، فخرج علیه الزّبیر مصلتاً بالسیف فعثر فسقط السیف من یده، فوثبوا علیه فأخذوه.»
[7]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu Hilal:
.« فأمّا علی و العباس و الزبیر فقعدوا فی بیت فاطمة حتى بعثت إلیهم أبوبکر، عمر بن الخطاب لیُخرجهم من بیت فاطمة و قال له: إن أبوا فقاتِلهم، فاقبل بقبس من نار أن یُضرم علیهم الدار، فلقیته فاطمة فقال: یا ابن الخطاب أجئت لتحرق دارنا؟! قال: نعم، أو تدخلوا فیما دخلت فیه الأُمّة!»
[8]. Al-Amwâl, Catatan Kaki 4, Nasyr Kulliyat Azhariyah, al-Amwal, hal. 144, Beirut dan juga dinukil Ibnu Abdurrabih dalam Aqd al-Farid, 4/93:
« وددت انّی لم أکشف بیت فاطمة و ترکته و ان اغلق على الحرب»
[9]. Mizân al-I'tidâl, jil. 2, hal. 195.
[10]. Mu'jam Kabir Thabarani, 1/62, Hadis 34, Tahqiq Hamdi Abdulmajid Salafi:
« أمّا الثلاث اللائی وددت أنی لم أفعلهنّ، فوددت انّی لم أکن أکشف بیت فاطمة و ترکته. »
[11]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu al-Hilal:
« وودت انّی لم أکشف بیت فاطمة عن شی و إن کانوا اغلقوه على الحرب.»
[12]. Al-Wâfi bil Wafâyât, 6/17, No. 2444. Al-Milal wa al-Nihal, Syahrastani, 1/57, Dar al-Ma'rifah, Beirut. Dan pada terjemahan Nazzham silahkan lihat, Buhuts fi al-Milal wa al-Nihal, 3/248-255.
« انّ عمر ضرب بطن فاطمة یوم البیعة حتى ألقت المحسن من بطنها.»
[13]. Syarh Nahj al-Balâghah, 2/46-47, Mesir:
« وددت انّی لم أکن کشفت عن بیت فاطمة و ترکته ولو أغلق على الحرب.»
[14]. Muruj al-Dzahab, 2/301, Dar Andalus, Beirut:
« فوددت انّی لم أکن فتشت بیت فاطمة و ذکر فی ذلک کلاماً کثیراً! »
[15]. Mizân al-I'tidâl, 3/459:
«انّ عمر رفس فاطمة حتى أسقطت بمحسن.»
[16]. Abdulfattah Abdulmaqshud, ‘Ali bin Abi Thalib, 4/276-277:
« و الّذی نفس عمر بیده، لیَخرجنَّ أو لأحرقنّها على من فیها...! قالت له طائفة خافت اللّه، و رعت الرسول فی عقبه: یا أبا حفص، إنّ فیها فاطمة...! فصاح لایبالى: و إن..! و اقترب و قرع الباب، ثمّ ضربه و اقتحمه... و بداله علىّ... و رنّ حینذاک صوت الزهراء عند مدخل الدار... فان هى الا طنین استغاثة...»
[17]. Maqatil ibn ‘Athiyyah, Kitâb al-Imâmah wa al-Khilâfah, hal. 160-161, diterbitkan dengan kata pengantar Dr. Hamid Daud, dosen Universitas ‘Ain al-Syams, Kairo, Cetakan Beirut, Muassasah al-Balagh:
« ان ابابکر بعد ما اخذ البیعة لنفسه من الناس بالارهاب و السیف و القوّة ارسل عمر، و قنفذاً و جماعة الى دار علىّ و فاطمه(علیه السلام) و جمع عمر الحطب على دار فاطمه و احرق باب الدار..»
IQuest! ()
[18]. Jawaban ini diadaptasi dan diringkas dari makalah Ayatullah Makarim Syirazi. Demikan juga Anda dapat mengklik tebyan.net untuk telaah lebih jauh.
[19] - Al-Kurasani, Abu Ahmad Hamid bin Makhlad bin Qutaibah bin Abdullah al-maʽruf bi Ibnu Zanjawaih (meninggal dunia pada tahun 251 Hijarah), al-Amwal, jilid 1 halaman 387. Abna Melayu
- Al-Dainuri, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Ibnu Qutaibah (meninggal dunia pada tahun 276 Hijrah), Al-Imamah Was Siyasah, jilid 1 halaman 21, tahqiq: Khalil al-Manshur, penerbit Dar Kutub Al-ʽIlmiyyah, Beirut 1418 Hijrah - 1997 Miladi, tahqiq Shiri, jilid 1 halaman 36, tahqiq Zaini, jilid 1 halaman 24;
- Al-Thabari, Muhammad bin Jarir (meninggal dunia 310 Hijrah), Tarikh al-Thabari, jilid 2 halaman 353, penerbit Darul Kutub al-ʽIlmiyyah, Beirut.
- Al-Andalusi, Ahmad bin Muhammad bin Abdul Rabbah (meninggal dunia pada tahun 328 Hijrah), al-ʽAqdul Farid, Jilid 4 halaman 254, penerbit Dar Ihya al-Turats al-ʽArabi, Lubnan, cetakan ke-tiga, 1420 Hijrah - 1999 Miladi.
- Al-Masʽudi, Abul Hasan Ali bin al-Husain bin Ali (meninggal dunia tahun 346 Hijrah), Muruj al-Dhahab, Jilid 1 halaman 290;
- Al-Thabrani, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abul Qasim (meninggal dunia pada tahun 360 Hijrah), al-Muʽjam al-Kabir, jilid 1 halaman 62 Hijrah), tahqiq Hamdi bin Abdul Majid al-Salafi, Penerbit Maktabah al-Zahra, al-Maushul, cetakan ke-dua, 1404 Hijrah 1983 Miladi;
- al-ʽAshimi al-Makki, Abdul Malik bin Husain bin Abdul Malik al-Shafiʽi (meninggal dunia pada tahun 1111 Hijrah), Samṭ al-nujūm al-ʻawālī fī anbāʼ al-awāʼil wa-al-tawālī, jilid 2 halaman 465, tahqiq: ʽAdil Ahmad Abdul Maujud - Ali Muhammad Muʽawwadh, penerbit Darul Kutub al-ʽIlmiyyah, Beirut, 1419 Hijrah 1998 Miladi.
[20] [Al-Tabari,Tarikh ,IV, hlm.1928]
[21] [Ibn Hajr, al-Isabah , III, hlm.336]
source : www.aban.ir