Sebagian penulis Ahlusunnah memandang bahwa nikah mut'ah (pernikahan temporal) merupakan tradisi jahiliyah yang ada sebelum Islam.[1] Sementara sebenarnya tidak demikian dan Sayid Muhsin Amin Rah dalam bukunya Naqdh al-Wasyi'ah mengkritisi pendapat dan tulisan tersebut.[2]
Bagaimanapun mengingat bahwa sebagian tradisi Arab sebelum Islam seperti sa'i antara Shafa dan Marwah, bertitik tolak dari agama-agama Ilahi dan mendapat sokongan Islam, boleh jadi dapat dikatakan bahwa pernikahan sementara juga merupakan sebagian hukum dan aturan yang ada semenjak pada agama-agama samawi sebelum Islam - meski berbeda tata cara pelaksanaannnya.
Akan tetapi ada atau tidaknya mut'ah pada masa sebelum Islam tidak akan berpengaruh pada penerimaannya; karena berdasarkan ayat dan riwayat serta sesuai dengan beberapa kondisi pernikahan temporal itu boleh hukumnya.[3] [iQuest]
[1]. Silahkan lihat, Umar Farukh, Târikh al-Adab al-‘Arabi, jil. 1, hal. 60, Beirut, Dar al-‘Ilm al-Mullayin.
[2]. Silahkan lihat, Muhsin Amin, Naqdh al-Wasyi'ah, hal. 257-261, Beirut, Muassasah al-A'lami.
[3]. Silahkan lihat, Kebolehan Pernikahan Temporal, Pertanyaan 844; Pernikahan Temporal (Mut'ah) dan Syarat-syaratnya, Pertanyaan 574.
source : www.islamquest.net