Persatuan merupakan salah satu unsur utama supremasi sebuah bangsa. Akan tetapi, konsep itu bisa dimaknai lebih luas lagi jika diterapkan di tengah umat Islam yang majemuk dan terdiri dari berbagai suku bangsa. Tidak diragukan lagi bahwa persatuan dan pertalian hati merupakan sebuah kebutuhan mendesak di dunia Islam saat ini. Pada dasarnya, persatuan dibangun atas sebuah kaidah yang terdiri dari konsep dan unsur-unsur. Oleh karena itu, pembangunan persatuan memerlukan komponen struktural yang kuat seperti, keyakinan kolektif agama, kepentingan bersama, dan keamanan kolektif. Kajian sejarah politik Islam telah memperjelas urgensitas persatuan umat.
Meski demikian, persatuan hakiki sebagai bukti atas supremasi umat Islam tampaknya belum terwujud di dunia Islam dan untuk itu, mereka menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang tak kunjung terpecahkan. Padahal, keragaman etnis, bahasa, geografi, dan mazhab dapat menjadi sebuah kekuatan lunak dunia Islam dalam menghadapi konspirasi dan ancaman musuh. Kekuatan lunak itu tampak jelas dalam pelaksanaan ibadah haji dan ritual-ritual lainnya.
Dunia Islam secara potensial menyimpan unsur-unsur persatuan sebagai kebutuhan terpenting dalam kekuatan politik dan pemerintahan. Selain itu, mereka juga memiliki potensi besar untuk memproduksi nilai-nilai kolektif di tengah masyarakat Islam. Namun sayangnya, potensi besar itu belum teraktualisasikan secara maksimal. Sebenarnya, ada dua faktor yang menghambat kemajuan umat Islam. Pertama, peran musuh-musuh Islam dalam merusak persatuan di tengah kaum Muslim, sebab mereka mengetahui bahwa persatuan akan mengancam kepentingannya dan mengakhiri hegemoni mereka di negara-negara Muslim. Oleh karena itu, musuh-musuh Islam ingin memecah barisan persatuan kaum Muslim.
Barat mengadopsi berbagai kebijakan dan menggunakan bermacam cara demi mencapai tujuan-tujuannya. Kebijakan mereka telah merusak stabilitas dan keamanan di negara-negara Islam termasuk di Pakistan, Irak, Lebanon, dan Suriah. Barat juga mempromosikan ekstremisme dan kekerasan atas nama perbedaan mazhab antara Syiah dan Sunni. Tindakan itu telah menciptakan konflik antara pemerintah dan masyarakat di negara-negara Muslim dan merusak keharmonisan mereka.
Sementara faktor kedua adalah perilaku dan kebijakan beberapa negara Islam yang berpotensi merusak persatuan umat. Pemerintah Islam seharusnya menjamin hak-hak warga negara, mempromosikan kesetaraan sosial, dan mendukung simbol-simbol solidaritas nasional dan agama. Namun, mereka malah menjadi eksekutor atas kebijakan kekuatan-kekuatan dunia.
Beberapa negara Islam berperan dalam menciptakan konflik di tengah kaum Muslim seperti di Afghanistan, Irak, Lebanon, dan Suriah. Intervensi mereka telah merusak kerukunan dan keharmonisan bangsa-bangsa di negara tersebut. Selain itu, keterbelakangan politik, kelemahan dalam membaca transformasi global, ketergantungan pada kekuatan-kekuatan besar, dan kebobrokan birokrasi, merupakan faktor lain yang berperan dalam merusak persatuan umat Islam.
Jelas bahwa perpecahan merupakan ancaman terbesar terhadap dunia Islam dan konflik sektarian telah menyeret kaum Muslim dalam perang saudara di berbagai wilayah dunia. Perpecahan mazhab tentu saja akan memiliki dampak-dampak negatif di bidang politik dan juga menghambat kemajuan serta independensi ekonomi di negara-negara Muslim.
Kehadiran kelompok-kelompok ekstrim dan intoleran seperti Taliban dan Al Qaeda, telah merusak citra Islam di mata dunia. Mereka juga telah menjadi alat kepentingan Barat untuk menyerang dan menduduki negara-negara Islam. Proyek untuk merusak persatuan umat Islam bahkan menjalar ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Malaysia. Kelompok-kelompok intoleran berusaha memperkenalkan mazhab Syiah sebagai bahaya bagi masyarakat Islam.
Serangan kubu intoleran bahkan dilancarkan terhadap Ketua PB NU yang dituding melindungi Syiah di Indonesia. Pada 9 November 2013, situs Arrahmah secara keras menyerang Ketua PB NU dalam tulisan berjudul "Dr. Said Aqil Siradj Dulu dan Kini." Situs Islam garis keras itu menyerang Ketua PB NU gara-gara Kiai Said menyebut Syiah sebagai bagian dari Islam dalam sebuah pernyataannya. Eskalasi gelombang tekanan kelompok intoleran terhadap minoritas Muslim Syiah di Indonesia semakin meningkat belakangan ini. Menurut sejarawan Muslim, Muhammad Ilham Fadli, fenomena tersebut sebagai bentuk "Kriminalisasi Pemikiran" yang dilakukan oleh segelintir orang yang tidak mengakui kebhinekaan di Indonesia.
Di Malaysia, sejumlah berita dan laporan juga berbicara tentang meningkatnya kebijakan anti-Syiah di negara itu. Kebijakan itu sedang ditindaklanjuti dengan serius di berbagai lingkungan baik akademisi, ranah hukum maupun keamanan. Kebijakan anti-Syiah di Malaysia sedang mendapat tempat di tengah perselisihan Iran dengan Arab Saudi dan sekutunya mengenai isu Suriah, serta dukungan Malaysia kepada rezim Bahrain dalam melawan mayoritas Syiah di negara itu. Kebijakan tercela itu juga didukung dengan menggelar sejumlah konferensi dan seminar dengan tema, "Virus Syiah" untuk memperkenalkan masyarakat terhadap bahaya Syiah. Padahal, Malaysia dikenal memiliki reputasi baik dalam hal toleransi beragama, di mana warganya bebas memeluk agama Kristen, Buddha, ataupun penganut Hindu.
Agama Islam menilai penting untuk menghindari perpecahan dan pertikaian antar sesama. Agama ini memiliki potensi untuk mengumpulkan semua kaum Muslim di bawah panji yang satu. Dalam surat Ali Imran ayat 103, Allah Swt berfirman, "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya."
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Kitab suci al-Quran dapat menjadi media dan faktor bagi terwujudnya persatuan, kemuliaan, dan kekuatan umat Islam. Seluruh bangsa Muslim tunduk dan mengambil pelajaran dari hadiah Ilahi yang tak ada bandingannya itu. Realita ini membuka kesempatan yang baik bagi umat Islam untuk memupuk persatuan di antara mereka."
Para ulama harus bertindak untuk mewujudkan persatuan secara riil. Sehingga tidak ada lagi satu orang Muslim pun yang berani mengafirkan orang bertauhid yang berada di madzhab dan kelompok lain. Saudara-saudara Muslim di Iran, Irak, Pakistan, Lebanon, Palestina dan di negara manapun dan dari madzhab manapun pasti menyadari bahwa para ulama Islam yang hakiki meyakini bahwa mengotori tangan dengan darah seorang Muslim termasuk dosa yang tidak bisa dimaafkan.
Syiar Islam murni yang menjadi landasan pembentukan pemerintahan Islam adalah bahwa kaum Muslim harus bersatu meski di antara mereka ada perbedaan akidah dan madzhab. Mereka harus fokus pada persamaan dan menghindari melukai perasaan pihak lain. Republik Islam Iran mengajak umat Islam di seluruh dunia untuk menikmati persatuan di hari-hari antara tanggal 12-17 Rabiul Awal. Menurut satu riwayat yang diyakini oleh mayoritas Sunni, tanggal 12 Rabiul Awal adalah hari lahir Nabi Muhammad Saw. Sedangkan riwayat lain yang dipercayai oleh mayoritas Syiah, menyebutkan tanggal 17 Rabiul Awal. Rentang waktu itu sudah seharusnya menjadi pendorong dunia Islam untuk lebih memperhatikan masalah persatuan. (IRIB Indonesia)
source : irib