The Spring Arab yang menghantam dunia Arab di akhir tahun 2010 juga menyapu Suriah, bahkan sampai saat ini konflik berdarah masih terus terjadi di Suriah. Oposisi Suriah dengan mengatasnamakan perjuangan rakyat berusaha menggulingkan kekuasaan Bashar Asad. Dengan mendapat dukungan setidaknya dari Perancis, Turki, Jerman, Arab Saudi, Qatar, Amerika Serikat dan negara sekutu lainnya pihak oposisi dengan persenjataan berat berhasil merebut dan menguasai sejumlah wilayah Suriah, termasuk beberapa kota di Irak. Oposisi mendirikan negara baru yang disebutnya Islamic State Iraq and Syiria (Negara Islam Irak dan Suriah) lebih dikenal dengan singkatan ISIS. Tentara mereka tidak semua berasal dari Suriah, melainkan dari banyak negara tetangga, Turki, Yordania, Arab Saudi, Qatar, Pakistan, Afghanistan dan banyak dari negara Eropa, bahkan termasuk dari Indonesia.
Tujuan utama mereka untuk menggulingkan Bashar Asad dan menguasai Damaskus sepenuhnya setidaknya dalam 5 tahun terakhir tidak juga berhasil. Bahkan dalam sejumlah pertempuran terakhir, ISIS mengalami rangkaian kekalahan yang membuat mereka kehilangan banyak wilayah kekuasaan, terlebih lagi pasca keterlibatan Rusia.
Disinyalir, ketangguhan Bashar Asad dalam menghadapi ronrongan pemberontak adalah karena keterlibatan Iran yang mendukung militer Suriah, yang bukan hanya memberi dukungan secara moril tapi terjun langsung di medan konflik dengan mengirimkan bala tentara bantuan.
Benarkah Iran terlibat langsung dalam perang Suriah? benarkah militer Iran yang dikirim ke Suriah bertujuan untuk membantu menjaga eksistensi Bashar Asad agar tetap berada di tampuk kekuasaan di Suriah?. Terlebih isu yang menyebut Iran membantu rezim Suriah untuk membunuhi rakyat Suriah yang Sunni.
Tulisan ini, secara singkat hendak mencoba dua pertanyaan diatas.
Pada awal tahun 2013, Suriah berada pada titik paling nadir dalam sejarahnya. Sejumlah wilayahnya berhasil direbut oleh kelompok pemberontak yang justru lebih banyak pasukan militannya berasal dari pihak asing. Mereka bertempur dengan cara yang paling brutal. Mereka menyembelih tahanan dan rakyat sipil yang tidak mau bekerjasama dengan mereka. Aksi-aksi keji dan biadab itu, mereka publish melalui media sosial dan bermaksud meneror masyarakat dunia. Diantaranya video amatiran yang memperlihatkan seorang militan ISIS mengunyah jantung tentara Suriah yang terbunuh sambil meneriakkan takbir. Bagi para militan yang beraliran Salafi/Wahabi ekstrim tersebut, tentara Suriah ataupun rakyat Suriah yang Syiah adalah orang-orang kufur yang halal darahnya untuk ditumpahkan dengan cara paling keji sekalipun: kepala dipenggal, dibakar, ditenggelamkan dan seterusnya.
Diantara kejahatan perang lainnya adalah merusak situs-situs bersejarah yang terdapat di wilayah-wilayah Suriah dan Irak yang berada dalam kontrol mereka. Menghancurkan kuil-kuil yang telah berusia 2000 tahun dan terdaftar dalam warisan dunia versi UNESCO, kuburan-kuburan kuno, museum-museum bahkan masjid-masjid peninggalan peradaban emas Islam masa silam. Diantara target yang menjadi sasaran ISIS untuk dihancurkan adalah makam-makam yang dimuliakan kaum Syiah. Mereka telah berhasil merusak makam Hujr bin ‘Adi, salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw dan pembela setia Imam Ali As, bahkan melarikan jenazahnya. Ambisi lainnya adalah menghancurkan makam Sayidah Zainab Sa, cucu Rasulullah Saw di Zainabiyah, tidak jauh dari Damaskus, bahkan hendak mengganti nama kota tersebut menjadi Yazidiyah.
Dengan adanya ambisi yang dinyatakan secara terbuka tersebut, menimbulkan kekhawatiran bagi umat Islam Syiah sedunia, tidak terkecuali Iran. Iran pada awal konflik Suriah, bersikap netral dengan memberi dukungan pada siapapun yang menjadi pilihan mayoritas rakyat Suriah dan mendorong Bashar Asad untuk melakukan referendum. Karena hasil referendum menunjukkan Bashar Asad masih tetap mendapatkan kepercayaan mayoritas rakyat Suriah, maka Iranpun secara moril mendukung Bashar Asad sebagai penguasa Suriah yang sah untuk menjaga kedaulatannya dari pihak oposisi dan pemberontak yang hendak menggulingkannya.
Namun ketika ISIS dan faksi-faksi militan di Suriah yang beraliran Salafi/Wahabi ekstrim berencana merusak situs-situs bersejarah Islam yang selama ini diagungkan komunitas muslim Syiah, khususnya hendak menghancurkan makam Sayidah Zainab Sa, dan makam imam-imam Syiah di Irak, maka Iran pun mulai menurunkan bala tentaranya untuk terjun langsung ke wilayah konflik dengan tujuan menjaga makam-makam bersejarah tersebut. Karena itu pula, tentara Iran yang gugur dalam tugasnya itu, oleh pemerintah Iran digelari Syuhada Madafi’ Haram (Syuhada Pembela Haram/makam suci).
Namun mengapa Suriah? mengapa membela Bashar Asad?
Bashar Asad adalah diantara sedikit dari pemimpin Arab yang tegas terhadap Zionis Israel. Bukan hanya tidak memiliki hubungan diplomatik dengan bangsa penjajah tersebut, namun juga mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka sepenuhnya. Di Yarmouk, Bashar Asad menyediakan fasilitas pengungsian bagi warga Palestina. Di Damaskus, Bashar Asad menyediakan gedung gratis bagi Hamas untuk menjadi kantor dan markas aktivitas mereka. Jika Suriah jatuh ke tangan ISIS, bukan hanya menghentikan perjuangan pembebasan Palestina, namun ISIS akan menghantam Hizbullah yang disebutnya Syiah yang harus dimusnahkan. Sebab sangat mengherankan, ISIS dengan kekuatan persenjataan yang dimiliki dan militan yang terlatih, tidak mengusik Israel sama sekali. Yang ada justru mengacau di negara-negara muslim, bahkan berkali-kali menyerang kamp pengungsian di Yarmouk yang merenggut nyawa tidak sedikit dari warga pengungsi Palestina.
Disamping Suriah, Lebanon melalui Hizbullah menjadi kerikil tajam dalam perjalanan Zionis membentuk Israel Raya. Kedua negara tersebut sering berbenturan dengan Israel di perbatasan. Karena itu mendukung Suriah agar tetap anti Zionis dibawah Bashar Asad menjadi kewajiban Iran, bahkan menjadi resolusi Iran pasca berubah menjadi Republik Islam, yaitu mendukung dan turut memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Meski demikian, militer Iran yang dikirim ke Suriah bukan untuk menjaga Damaskus atau menjaga kepentingan-kepentingan Bashar Asad, melainkan untuk menjaga situs-situs bersejarah Islam yang hendak dimusnahkan ISIS dan kelompok-kelompok Takfiri. Demikian pula sukarelawan sipil yang dibentuk oleh as Syahid Jenderal Haj Husain Hamadani. Yang paling berperan besar dalam kegagalan ISIS memenuhi ambisinya adalah Jenderal Qasem Sulaemani, yang mengomandani Divisi Al Quds. Tanpa berperang langsung, ia membuat pasukan pemberontak porak poranda karena saling bunuh sesama kelompok militan. Amerika Serikat menjulukinya, The Shadow Commander.
Tidak sedikit dari tentara Iran yang telah gugur syahid dalam perang mempertahankan kehormatan makam-makam suci Ahlul Bait As di Suriah dan Irak, termasuk perwira-perwira tingginya. Di Samara, bersama dengan rakyat Irak, militer dan sukarelawan Iran menjaga Haramain Askariyain As.
Jadi, isu yang disembur-semburkan kelompok Takfiri di Indonesia bahwa Iran membantu Bashar Asad untuk menghabisi rakyat Sunni di Suriah adalah fitnah keji yang tidak berdasar. Sebab kesatuan militer yang dikirim ke Suriah dan Irak hanya untuk kepentingan menjaga eksistensi Haram-haram suci Ahlul Bait As yang hendak dimusnahkan ISIS karena kebenciannya terhadap Ahlul Bait As dan Syiahnya.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamanei berkata, “Mereka yang syahid di Suriah dan Irak karena menjaga Haram Ahlul Bait As derajatnya sama dengan yang syahid bersama Imam Husain As. Karena jika tidak ada perjuangan dari para Syuhada tersebut, maka jejak peninggalan Ahlul Bait As (dikedua negara tersebut) tidak ada lagi yang tersisa.”
source : abna24