Indonesian
Thursday 28th of November 2024
0
نفر 0

Mencari Tasawuf Rasional

Mencari Tasawuf Rasional

Di antara salah satu kritik orang pada tasawuf adalah bahwa aliran ini cenderung bersikap antirasional. Salah satu manifestasinya adalah sikap sementara sufi yang terkesan antifilsafat atau aliran pemikiran apa saja yang mengandalkan rasio (reason). Jalaluddin Rumi, misal nya, diketahui luas dengan bait-bait puisinya yang (se olah-olah) menentang akal.

Kaki para rasionalis terbuat dari kayu: padahal kaki dari kayu amat lemah, dan tak dapat dipercaya.

Para filosof berbicara hanya menurut ilmu nalar belaka, tetapi karena rasio itu lemah, mereka tak dapat melintasi pintu gerbang.

Tapi, ilustrasi mengenai kesan antirasional tasawuf ini paling baik kita ambil dari uraian Imam Al-Ghazali. Pada suatu kesempatan dia menyatakan bahwa hu bungan antara hati dan rasio itu seperti telaga. Telaga mendapatkan air dari dua sumber. Sumber pertama adalah mata air, dan sumber kedua adalah sungai. Ba gaimana caranya supaya kita mendapatkan air yang jernih dan berlimpah? Caranya adalah dengan memo tong aliran sungai itu. Dengan membendung aliran sungai akan terjadi dua hal: (1) mata air ini akan me mancarkan air lebih banyak, karena tidak ada tekanan dari sungai; (2) airnya dijamin akan lebih jernih, ka rena—tak seperti air dari mata air yang sangat jernih—air yang datang dari sungai tercampur bermacam-ma cam kotoran. Kalau aliran sungai dibendung, akan di dapatkan air yang berlimpah dan lebih jernih. Kata Imam Al-Ghazali, mata air ini menyimbolkan hati dan sungai adalah saluran akal (rasio). Kalau kita ingin men dapatkan hati yang lebih bening, maka rasio harus kita tutup. Meski barangkali Al-Ghazali memaksudkan penutupan rasio ini dilakukan pada tahap lanjut proses berpikir—yang pada awalnya diyakini tetap membu tuh kan prosedur rasional—ungkapan-ungkapan seperti ini bisa menimbulkan kesalahpahaman yang meng ambil bentuk kesan antirasional tasawuf.

Da lam autobiografi-intelektualnya yang berjudul Al-Munqidz min Al-Dhalâl (Pembebas dari Kesesatan), dia juga menyatakan ketidakmungkinan pengung kapan peng a laman tasawuf (secara rasional). Katanya, ber usaha meng ungkapkan pengalaman tasawuf secara rasional adalah bagaikan berusaha mengungkapkan rasa apel kepada orang yang belum pernah memakan nya. Atau, masih dalam metafora yang diajukannya, seperti meng ungkapkan pengalaman (kenikmatan) hu bungan seks kepada bujang atau lelaki yang impoten. Dengan kata lain, tidak mungkin.

Sebelum membahas tentang filsafat Hikmah, ada gunanya untuk melihat sikap Al-Quran—yang diklaim sebagai sumberutama seluruh aliran pemikiran dan gerakan dalam Islam, tak terkecuali tasawuf—tentang masalah ini. Di dalam Al-Quran, menurut saya, tidak bisa diperoleh pemahaman yang menghadapkan akal dan hati secara berlawan-lawanan. Dalam Al-Quran, “kebetulan” istilah “akal” dalam bentuk kata benda verbal (mash dar) tidak bisa ditemukan. Yang ada adalah ben tukan kata-kerjanya, yakni ya‘qilûn (proses berpikir de ngan menggunakan akal). Ketika Al-Quran menye but alat yang dipakai untukya‘qilûn, maka yang di rujuk nya bukanlah akal (‘aql ) melainkan qalb (hati). Khususnya dalam bentuk fu‘âd, hati yang telah men capai tingkat kestabilan. Jadi, dalam Al-Quran, dalam konsep Islam, akal itu ada lah hati, dan hati itu adalah akal.

Nah, dalam Islam kita mengenal apa yang disebut sebagai ‘irfân (teosofi) atau gnostisisme Islam yang sedi kit-banyak bernuansa filosofis. Namun, dalam khaza nah spiritualisme Islam,  rasionalitas dan intelektua litas tak pernah mendapat kan apresiasi yang sedemikian besar seperti dalam alir an Hikmah. Tokoh utamanya adalah Shadr Al-Din Al-Syirazi atau Mulla Shadra, se orang filosof Persia yang hidup pada abad ke-11 H.

Aliran Teosofi Transenden (al-hikmah al-muta‘âliyah atau biasa diringkas dengan Hikmah saja) adalah pemi kiran yang berusaha menggabungkan pendekatan ra sio nal (‘aqli) dan intuitif-eksperiensial (qalbi-dzauqi) untuk men da patkan kebenaran. Jelasnya, aliran ini percaya bah wa betapa pun juga pengetahuan kebenaran hanya bisa diperoleh secara eksperiensial (dialami, dirasakan). Ia mengambil bentuk semacam ilham, yang tentu saja hanya bisa diraih lewat hati yang bersih setelah melewati berbagai upaya mujâhadah dan riyâdhah sebagaimana dipujikan dalam tasawuf. Meski pun demikian, penge tahuan yang diperoleh lewat cara ini bukan hanya bisa, melainkan perlu, diungkap kan secara rasional. Hanya dengan cara ini pengetahuan bisa dikomunikasikan dan sekaligus diverifikasi (diuji) kebenarannya. Tanpa peng ungkapan dan pengujian se cara rasional seperti ini, orang akan kehilangan alat untuk me meriksa apakah penge tahu an itu merupakan se buah kebenaran yang berasal dari sumber yang benar atau kah sekadar penyesatan dan penyelewengan pikir an—halusinasi, sejenis “kegilaan”, atau bahkan pikiran sesat. Dengan jalan ini pulalah bisa dibedakan antara wali Allah atau sufi (mutashawwif ) dengan wali setan atau orang yang berpura-pura sok sufi (mustashwifîn ).

Dalam konteks ini, aliran Hikmah memperkenalkan sejenis ilmu yang disebut sebagai ilmu presensial atau al-‘ilm al-hudhûrî(ilmu yang hadir dengan sendirinya dalam pikiran, tidak dalam bentuk rasional-analitik), di samping ilmu capaian atau hushûlî(yang diupaya kan melalui prosedur berpikir rasional-logis). Pe nge tahuan seperti ini bersifat representasional—yakni, mem butuhkan representasi objek yang di ketahui di dalam pikiran subjek yang mengetahui. Contoh sederhana: jika kita melihat batu, maka kita memerlukan r ep resentasi (forma, shûrah) atau “gambar” batu itu dalam pikir an kita. Demikian pula halnya dengan konsep-konsep, se per ti kecantikan, atau se bagian besar konsep-konsep intelektual atau ima j inatif. Me nurut aliran ini, sebagian ilmu bersifat hushûlî, se ba gian lain bersifat hudhûrî, dan sebagiannya lagi merupakan kombinasi dari kedua nya—tepatnya hudhûrî yang di dahului dengan hushûlî. Atau sebaliknya, hushûlî yang didahului oleh yang hudhûrî . Pengetahuan mengenai kebe naran-kebenaran awal (primary truth) yang ber sifat aksiomatis merupakan bentuk ilmu hudhûrîmurni, se mentara umumnya pe mi kiran merupakan ilmu hudhûrî yang didahului de ngan hushûlî. Yang bersifat hudhûrî murni adalah pe nge tahuan-pengetahuan tentang diri (“aku”) sendiri, ten tang keadaan-keadaan kejiwaan kita sendiri, se perti ketakutan, cinta, dan sebagainya; ten tang daya-daya perseptif dan motor kita seperti ketika kita, misal nya, merasa kan nyeri di salah satu bagian tu buh kita, “Penge tahuan” (tepatnya, perasaan atau pengalaman) kita tentang rasa nyeri itu terjadi tanpa ada terlebih dulu repre sentasi mental (pikiran) ten tang rasa sakit itu; dan juga pengetahuan kita ten tang repre sentasi mental itu sendiri. Kesemua penge tahuan itu bersifat lang sung, tanpa ada represen tasinya dalam pi kir an subjek yang menge tahui. Karena, jika represen tasi itu butuh repre sentasi, maka yang akan terjadi adalah regresi (peng urutan ke belakang) tanpa ujung. Demikian juga halnya dengan ke be naran-kebenar an primer. Tanpa pengetahu an langsung tentang penge tahuan-pengetahuan seperti ini, lagi-lagi akan ter jadi regresi tanpa ujung. Suatu saat, kebenaran-kebe naran primer yang akan men jadi lan das an atau premis dalam prosedur berpikir logis pasti dibutuhkan. Demikian pula pengetahuan kita tentang diri kita (“aku”) sendiri. Ketika kita berpikir ten tang diri kita, maka pada saat itu penge tahuan tentang diri kita harus sudah ada dalam diri kita terlebih dulu. Tanpa itu lagi-lagi akan terjadi regresi tanpa ujung. Penge tahuan-penge tahuan jenis inilah yang disebut sebagai penge tahuan hudhûrî, yang bersifat langsung dan intuitif.

Dengan berbagai sifatnya ini, kiranya aliran Hikmah, bersama aliran ‘irfân yang mendahuluinya, bisa di pro mosi kan sebagai alternatif—atau perkembangan lebih jauh—dari tasawuf yang terkesan tidak begitu meng ap resiasi rasio, kalau tak malah antirasional.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Imam Hasan Askari, Benteng Pertahanan Islam
Pesan Imam Husain as
DIALOG ANTARA MUSLIM DAN KRISTIAN [10]
Waktu Kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. yang Benar
Sayidah Zainab dan Ketegaran Sejati
Sejarah Syiah: Sejak Zaman Rasulullah SAW sampai Abad 14 H
Asyura, Mengukir Semangat Juang dan Cinta
Apakah Imam Mahdi punya anak sehingga disebut aba shaleh
faktor-faktor kemunculan Imam Zaman Ajf (2)
Imam Jawad; Samudera Ilmu dan Takwa

 
user comment