Indonesian
Thursday 28th of November 2024
0
نفر 0

Kepemimpinan Imam Sajjad as di Era Genting Sejarah Islam

Kepemimpinan Imam Sajjad as di Era Genting Sejarah Islam

Yang banyak dinukil tentang Imam Sajjad as adalah ibadah dan sujud panjang beliau dan oleh karena itu beliau dijuluki dengan as-Sajjad yang berarti orang yang banyak sujud. Beliau juga dijuluki dengan Zainul Abidin yang berarti perhiasan orang-orang yang beribadah. Atas dasar itu pula sebagian orang berpendapat bahwa Imam Sajjad as berada di luar lingkup politik dan sosial dan sebagian besar waktunya dihabiskan beliau untuk beribadah. Padahal gerakan dan sikap Imam Sajjad as sesuai dengan jalur gerakan para imam terdahulu dalam mewujdukan pemerintahan ilahi di buka bumi dan merealisasikan Islam sejati.

Cucu Rasulullah Saw ini sama seperti para nabi dan auliya Allah, menjaga politik, keberanian dan ketelitian dalam setiap masalah dan setelah 35 tahun berjuang tanpa lelah melaksanakan tugas luhurnya, beliau meneguk cawan syahadah.

Pada tahun 61 Hijriah, Imam Sajjad as ikut dalam kafilah Imam Husein as yang bergerak menuju Kufah. Sebelum sampai ke Karbala, Imam Sajjad as mendadak sakit keras dan kondisi beliau berlanjut hingga beberapa hari setelah tragedi di Karbala. Namun sakit Imam Sajjad as tersebut adalah kehendak Allah Swt yang akhirnya menyelamatkan beliau dari tragedi Karbala, sehingga beliau dapat melanjutkan risalah yang diemban sang ayah, Imam Husein as, untuk menghidupkan agama Islam.

Kondisi lahiriyah masyarakat Islam pada masa itu, termasuk salah satu masa tersulit dalam sejarah Islam. Meski jauh hari sebelumnya pemerintahan Islam telah berubah menjadi rezim despotik, akan tetapi perbedaannya adalah pada era kepemimpinan Imam Sajjad as, para penguasa Dinasti Umawiyah secara terang-terangan menistakan kehormatan Islam. Mereka tidak segan-segan lagi di hadapan masyarakat melanggar semua pedoman dalam Islam dan tidak ada seorang pun yang berani menyoal. Tragedi Asyura telah menguak fakta tersebut di mana para penguasa Umawiyah khususnya Yazid bin Muawiyah, tidak ragu untuk membunuh Husein bin Ali as, cucu Rasulullah Saw, manusia suci dan terhormat di dunia Islam.

Masalah penting lainnya adalah bahwa dunia Islam kala itu menghadapi keterbelakangan pemikiran. Ketidakpedulian terhadap ajaran agama, israf dalam memanfaatkan nikmat dunia serta memudarnya hubungan dengan Allah Swt dan spiritualitas, telah membuat masyarakat Islam tergelincir ke jurang kehancuran. Masyarakat hanya mengedepankan lahiriyah Islam dan mereka tidak lagi mementingkan esensi keimanan.

Puncak kehancuran spiritualitas umat Muslim dapat ditelaah dalam gemerlap dunia malam Mekkah dan Madinah kala itu. Cerita tentang tawaf Aisyah binti Talhah, seorang penyanyi yang mampu menguasai afeksi dan perhatian audien, berkaitan dengan era ini. Disebutkan bahwa perempuan itu sedang bertawaf ketika waktu azan tiba. Kepada Harits bin Khaled Makhzumi, penguasa Mekkah, Aisyah bin Talhah mengatakan agar azan ditangguhkan dahulu hingga tawafnya selesai. Haritsh pun menginstruksikan agar pengumandangan azan ditangguhkan. Dia diprotes mengapa harus menangguhkan azan hanya karena seorang sedang bertawaf dan menangguhkan shalat masyarakat. Harits menjawab, “Demi Tuhan jika tawafnya sampai besok pagi maka aku katakan jangan dikumandangkan azan.”

Contoh lain adalah kisah Umar bin Abi Rabiah. Dia adalah seorang penyair terkenal di masa itu. Pada musim haji dan di saat ia sedang mengenakan pakaian ihram, tanpa rasa malu dia duduk di satu sudut mengamati para gadis dan istri-istri para Muslim dan setiap kali dia melihat perempuan cantik, dia melantunkan puisi untuk menyifati kecantikan perempuan itu. Ketika dia meninggal, seluruh kota Madinah berduka dan semua orang menangisi kematiannya.

Imam Sajjad as memikul tanggung jawab membimbing umat yang telah terjerumus dalam jurang penyimpangan. Pasca tragedi Asyura, Imam Sajjad, bergerak menuju Kufah dan dengan mengenakan baju sebagai tawanan, beliau mengungkap kebobrokan para pelaku tragedi tersebut. Ubaidullah bin Ziyad, penguasa Kufah yang menginstruksikan pembunuhan semua laki-laki dari keluarga Imam Husein as, terkejut melihat Imam Sajjad as dan berkata, “Bukankah Ali bin Husein telah dibunuh oleh Tuhan?” Imam Sajjad menjawab, “Aku punya kakak yang bernama Ali dan masyarakat telah membunuhnya.” Ibn Ziyad dengan congkak berkata, “Masyarakat tidak membunuhnya melainkan Tuhan.” Imam Sajjad as menjawab ucapan itu dengan membacakan ayat 42 surat al-Zumar, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.”

Mendengar jawaban tersebut, Ibn Ziyad menginstruksikan pemenggalan kepala Imam Sajjad as. Beliau berkata, “Apakah kau mengancam membunuh kami? Sementara kemuliaan kami adalah syahadah. Kami menilai terbunuh di jalan Allah swt sebagai kehormatan dan kami tidak takut mati.” Jawaban tersebut membuat Ubaidullah mundur dan mengirim Imam Sajjad as berserta kafilahnya menuju Syam, pusat pemerintahan Yazid.

Di Syam, ketika khatib istana Yazid naik ke atas mimbar dan mulai mengecam dan menghina Imam Ali dan Husein as, serta memuji para khalifah Bani Umayyah, Imam Sajjad as tidak diam diri dan berseru, “Celakalah kau khatib! Kau telah menukar keridhoan makhluk dengan murka Allah Swt dan kau telah menetapkan tempatmu di neraka jahannam?”

Kemudian Imam Sajjad as naik ke atas mimbar atas ijin Yazid. Beliau kemudian menjelaskan filsafat imamah kepada masyarakat dan menceritakan kesyahidan Imam Husein serta mengungkap peran rezim Umawiyah dalam kejahatan tersebut. Itu semua dijelaskan Imam Sajjad as di jantung kekuasaan Yazid.

Sebagian besar era kepemimpinan Imam Sajjad as pada masa khilafah Abdul Malik bin Marwan, yang berlangsung selama 21 tahun. Abdul Malik sedemikian haus darah dan tidak beragama sehingga dalam khutbahnya dia mengancam akan memenggal kepala orang yang menyerunya pada ketakwaan. Dia menunjuk Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, seorang kriminal terkenal dan musuh Ahlul Bait, sebagai algojonya.

Dalam kondisi seperti ini, Imam Sajjad menggunakan cara sangat bijak dalam menghidupkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat. Untuk mengenalkan masyarakat dengan Islam yang benar, beliau menyisipkan pesannya dalam bentuk nasehat dan wejangan. Cara ini memperkecil sensitivitas dari pihak penguasa. Melalui cara ini, beliau mampu menyampaikan pesannya bahkan kepada seorang kriminal terkenal seperti Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi.

Selain itu, Imam Sajjad as juga menyampaikan pesannya melalui doa dan munajat. Kumpulan doa Imam Sajjad as tercantum dalam kitab Sahifah Sajjadiyah. Tangisan beliau untuk para syuhada Karbala merupakan salah satu upaya dalam menjaga kenangan tragedi Karbala tetap hidup. Pada suatu hari, seseorang mendatangi Ima mdan berkata, “Apakah kesedihanmu tidak ada akhirnya?” Imam Sajjad as berkata, “Celakalah kau, Nabi Ya’qub yang satu dari 13 putranya hilang, menangisi perpisahan dengan anaknya itu sampai dia buta, padahal Yusuf masih hidup! Akan tetapi aku menyaksikan terbunuhnya ayahku, saudara-saudaraku, paman-pamanku dan 17 orang keluargaku yang jenazah mereka tergeletak di tanah. Lalu bagaimana kesedihanku berakhir?”

Air mata dan tangisan Imam Sajjad as menjadi salah satu faktor efektif dalam melestarikan dan memperkokoh tujuan Imam Husein as serta mengguncang istana rezim despotik Bani Umawiyah.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Apa makna makar Tuhan yang disebutkan dalam al-Qur'an?
Pesan Imam Husain as
Masalah Air di Karbala
Aksi Simpatik Muslim Inggris Memperkenalkan Imam Husain as di London
Sejarah Syiah: Sejak Zaman Rasulullah SAW sampai Abad 14 H
Kisah Salman al Farisi Mencari Kebenaran
Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
Sayidah Fathimah dalam Ucapan Amirul Mukminin
Semua Di Hadapan Amirul Mukminin Sejajar
Makna “al-Qurba” pada ayat 23 surah Syura

 
user comment