Indonesian
Thursday 28th of November 2024
0
نفر 0

Belajar dari Keadilan Imam 'Ali

Oleh: Ismail Amin

Di awal pemerintahan, sejumlah orang yang masih belum mengenal Islam secara benar dan memiliki gaya berpikir layaknya politikus dan diplomat Internasional, menemui Imam Ali. Mereka menyatakan, “Pemerintahan baru baru saja berdiri, dan Anda amat memerlukan kekuatan untuk memperkokoh sendi-sendi pemerintahan. Menurut hemat kami, usaha terbaik Anda adalah membagi-bagikan harta baitul mal kepada para pemimpin, pembesar dan sanak keluarga. Dengan begitu, niscaya mereka tidak akan menentang Anda.” Imam Ali As menjawab, “Apakah kalian berharap orang yang seperti aku ini akan memperkokoh sendi-sendi pemerintahan dengan kezaliman dan penindasan??? Apakah dengan kaki syirik, kita dapat melangkah menuju tauhid?. Aku menerima kepemimpinan ini justru kumaksudkan untuk menyapu bersih ketidak adilan !”. Kisah ini dinukil oleh Prof. Muhsin Qiraati dalam salah satu bukunya.


Kita mengamati masyarakat Indonesia telah dan sedang disibukkan oleh pemilihan kepala daerah untuk memegang tampuk kepemimpinan di daerah masing-masing beberapa tahun kedepan. Yang jelas, siapa pun yang terpilih, tugas dan tanggungjawab besar telah menanti. Harapan kita, pemimpin terpilih melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya demi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Dalam upaya mengangkat harkat, martabat, serta ekonomi masyarakat, tiada ada jalan lain kecuali memihak pada kepentingan rakyat. Masyarakat di daerah manapun, tuntutannya sederhana, bisa hidup layak. Mereka tak banyak menuntut yang berat-berat, bila kehidupan ekonominya memadai. Sebaliknya, jika kesenjangan ekonomi semakin lebar, bukan tidak mungkin tuntutan demi tuntutan bakal bermunculan. Jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin yang makin lebar merupakan masalah krusial yang sering menjadi pemicu berbagai persoalan lain. Artinya, fokus kerja pemerintah ke depan setidaknya memperkecil jurang itu.Ada baiknya, kita belajar dari orang-orang besar terdahulu, bagaimana mereka menjalankan amanah kepemimpinannya. Izinkan saya, menyodorkan sosok Imam Ali as, sebagai panutan. Manusia suci yang memiliki banyak keutamaan, sepupu sekaligus menantu Rasulullah, yang ayahnya banyak memberikan pembelaan dan mendukung sepenuhnya perjuangan Rasulullah di awal-awal penyebaran Islam. Yang menyerahkan diri sepenuhnya terhadap perjuangan dan penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan memulainya di usia yang teramat muda, usia yang seharusnya ia bermain-main sebagaimana anak-anak kebanyakan.

Thomas Carlyle menggambarkan, “Ketika Nabi Islam itu pertama-tama menyampaikan risalahnya kepada kaum kerabatnya, maka semuanya menolaknya. Kecuali Ali, waktu itu masih berusia 10 tahun, yang bangkit memenuhi dakwah nabi dan berikrar setia kepadanya.” Ia menambahkan, “Tangan kecil itu bergabung dengan tangan yang besar, dan mengubah jalan sejarah”. Keluasan ilmu Imam Ali Ra tidak diragukan oleh siapapun, lewat sabdanya Rasul memuji, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya.” Sabda Nabi ini dibenarkan oleh para sahabat yang menyaksikan sendiri betapa Ali adalah satu-satunya orang sepeninggal Nabi yang menjadi rujukan dalam berbagai hal. Bahkan para khalifah, khususnya khalifah Umar bin Khattab sering meminta pendapat Ali dalam memghambil keputusan. Lebih jauh Umar mengatakan, “Jika tidak ada Ali maka celakalah Umar”. Tentang Imam Ali, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya posisi Ali disisiku sebagaimana posisi Harun di sisi Musa, hanya saja tidak nabi sesudahku”.Saya ingin mencoretkan kembali dalam kanvas sejarah tentang perjuangan, kepahlawanan dan keteguhan Imam Ali ra memegang prinsip keadilan yang diyakininya, yang karena rekayasa sosial menjadi banyak terlupakan. Lewat kolom yang terbatas ini, saya mengajak siapapun untuk melirik gaya kepemimpinan beliau. Sebagaimana kisah di atas, Imam Ali Ra menerima kepemimpinan dengan maksud untuk menyapu bersih ketidak adilan. Kebijakan pertama yang dilakukan diawal pemerintahannya adalah mencopot para pejabat yang tidak layak lalu mengganti mereka dengan orang-orang yang cakap dan adil. Imam Ali yang dikenal dengan keadilannya juga mencabut undang-undang yang diskriminatif. Beliau memutuskan untuk membatalkan segala konsesi yang sebelumnya diberikan kepada orang-orang Quraisy dan menyamaratakan hak umat atas kekayaan baitul mal. Sikap inilah yang mendapat penentangan sejumlah orang yang selama bertahun-tahun menikmati keistimewaan yang dibuat oleh khalifah sebelumnya. Ketidakpuasan itu kian meningkat sampai akhirnya mendorong sekelompok orang untuk menyusun kekuatan melawan beliau. Thalhah, Zubair dan Aisyah berhasil mengumpulkan pasukan yang cukup besar di Basrah untuk bertempur melawan khalifah Ali bin Abi Thalib. Perang tak terhindarkan. Ribuan nyawa melayang sia-sia, hanya karena ketidakpuasan sebagian orang terhadap keadilan yang ditegakkan oleh Imam Ali As. Pasukan Ali berhasil memukul mundur pasukan yang dikomandoi Aisyah, yang saat itu menunggang unta, karenanya perang ini dikenal dengan nama perang Jamal. Aisyah menyadari kekeliruannya, dan mengakhiri peperangan. Sebagai pemimpin yang bijak, Imam Ali As memaafkan mereka yang sebelum ini menghunus pedang untuk memeranginya. Aisyah juga dikirim kembali ke Madinah dengan penuh penghormatan. Fitnah pertama yang terjadi pada masa kekhalifahan Imam Ali As berhasil dipadamkan. Namun masih ada kelompok-kelompok lain yang menghunus pedang melawan Ali yang oleh Rasulullah Saw disebut sebagai poros kebenaran. Imam Ali As harus menghadapi pembangkangan Muawiyah dalam Perang Shiffin (Thabari : 5:27, Usduh al-Ghabah: 2:114). Sedangkan perang Nahrawan antara pasukan Imam Ali as dengan kaum Khawarij. Namun Imam Ali As mampu mengatasi semuanya dengan baik.
Menu makanan Imam Ali setiap harinya hanya sekerat roti kering dengan garam atau cuka. Beliau tidak pernah membiarkan perutnya dipenuhi makanan atau minuman. Pakaian yang beliau kenakan terbuat dari kain kasar. Meski duduk sebagai khalifah dan memegang seluruh kekayaan negara atau baitul mal beliau tidak pernah tergoda oleh gemerlap dinar yang ada di dalamnya. Diceritakan bahwa ketika menghitung uang baitul mal untuk dibagikan kepada rakyat, beliau bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur karena tidak tergoda oleh harta yang ada di hadapannya. Kepada para bawahannya beliau menulis pesan, “Engkau tidak boleh membeda-bedakan walau sekecil apapun antara Muslimin dan sanak keluargamu “(Najhul Balaghah).

Imam Ali sadar betul, penyebab kebinasaan umat-umat terdahulu karena orang-orang kaya dan yang terpandang memiliki keistimewaan dalam pandangan penguasa dibanding orang-orang miskin dan tidak populer. Suatu kali, Imam Ali sedang menjahit sepatunya. Setelah selesai, sambil menunjuk ke arah sepatu itu, beliau bertanya kepada Ibnu Abbas, berapa harga sepasang sepatu ini? Ibnu Abbas menjawab harga sepatu yang sudah kumal seperti ini tidak lebih dari setengah Dirham. Imam Ali As mengatakan, “Demi Allah, sepatu ini jauh lebih berharga bagiku dibanding jabatan khilafah, kecuali jika dengan khilafah ini aku dapat menegakkan keadilan dan menumpas kebatilan”. Imam Ali adalah seorang pemimpin yang dalam dirinya tidak terlihat sedikitpun tanda-tanda kepuasan atau kerakusan atas jabatannya itu. Imam Ali As adalah seorang imam yang tidak pernah bisa tidur dalam keadaan kekenyangan karena ia tahu, masih banyak ummatnya yang kelaparan. Sebagai seorang pemimpin, Imam Ali As juga tidak pernah terlihat memakai pakaian indah karena ia sangat faham, betapa banyak ummatnya yang tidak mampu memakai pakaian yang pantas. Seorang penulis Kristen berkebangsaan Libanon, George Jordac, dalam bukunya yang berjudul “Ali, Suara Keadilan”, menulis, “Pernahkah Anda temukan dalam sejarah seorang pemimpin besar yang saat memimpin ia juga bekerja kasar menggiling gandum untuk keperluan hidupnya? Adakah di dunia ini seorang pemimpin yang menjahit sendiri sepatunya? Pernahkah Anda temukan dalam sejarah seorang pemimpin yang sama sekali tidak memiliki sedikitpun simpanan uang buat dirinya?”

Teori Keadilan Imam Ali

Imam Ali as seringkali berbicara mengenai keadilan, dan lebih memilih keadilan dibanding kedermawanan. Kebanyakan dari kita memilih pemimpin karena kedermawanannya dibanding sejauh mana ia bisa menegakkan keadilan. Karena keadilan disini tidak lain adalah menghargai hak orang lain dan tidak melanggarnya, sementara kedermawanan adalah membagikan hak yang dimilikinya kepada orang lain. Namun Imam Ali as menjawab sebaliknya. Beliau lebih mengutamakan keadilan daripada kedermawanan dengan dua alasan: Pertama, karena definisi keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, sementara murah tangan tidak demikian. Dengan kata lain, keadilan adalah memperhatikan hak-hak yang ada secara kongkrit, baru kemudian memberikan hak sesuai kapasitas penerima. Dengan pendekatan ini, orang akan bisa mengetahui tempatnya dalam bermasyarakat, dan selanjutnya masyarakat akan menjadi mekanisme yang teratur. Adapun kedermawanan, walaupun ia berarti memberikan hak yang dimilikinya kepada orang lain, perbuatan ini menjadi cacat dalam kehidupan bermasyarakat. Karena perbuatan ini tidak akan terjadi kecuali, jika masyarakat pada saat itu menjadi ibarat sebuah tubuh yang bagian anggotanya terdapat cacat atau sakit yang akibatnya akan memerlukan bantuan seluruh anggota tubuh yang lain untuk melakukan sesuatu, padahal idealnya dalam sebuah masyarakat hendaknya tidak ada anggota yang cacat, sehingga yang lain harus turut membantu tugasnya. Alasan kedua, keadilan adalah sebuah kendali yang bersifat umum, sementara kedermawanan bersifat spesifik. Yakni keadilan bisa dijadikan undang-undang umum yang mengatur seluruh urusan masyarakat dimana seseorang harus komitmen kepadanya, sementara kedermawanan adalah kondisi yang bersifat eksklusif dan tidak bisa dijadikan undang-undang umum. Imam Ali ibn Abi Thalib menganggap keadilan sebagai kewajiban dari Allah Swt, karena itu beliau tidak membenarkan seorang Muslim berpangku tangan menyaksikan norma-norma keadilan ditinggalkan masyarakat, sehingga terbentuk pengkotakan dan kelas-kelas dalam masyarakat. “Wahai orang-orang beriman, jadilah kau penegak keadilan, menjadi saksi Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (Qs. An-Nisa [5] : 135). Bangsa ini telah cukup banyak memiliki stok pemimpin yang dermawan, namun sulit menemukan diantara mereka yang bisa berlaku adil. Dengan keadilan yang diterapkan Imam Ali As dalam menjalankan roda pemerintahan ia menjadi sosok yang dicintai rakyatnya, namun juga dibenci oleh musuh-musuhnya. Pada hari ke 21 Ramadhan sebagaimana pernah diisyaratkan oleh Rasulullah Saw, Imam Ali menemukan kesyahidannya di Masjid Kufah oleh konspirasi musuh-musuhnya yang tidak pernah senang keadilan tegak di muka bumi.

Selama masa singkat lima tahun pemerintahannya, Imam Ali As berhasil mempraktekkan sebuah konsep keadilan yang saat ini menjadi harapan dan dambaan ummat manusia. Para penulis kontemporer sampai mengatakan bahwa adalah keliru jika mengatakan bahwa Ali dan keadilan adalah dua kata yang berbeda, karena fakta sosial saat Imam Ali As memerintah menunjukkan bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mengenal dan mengagumi orang-orang besar semacam Imam Ali, bukan kultus individu, melainkan sebagai luapan kecintaan pada nilai-nilai yang beliau bawa dan peragakan. Wallahu 'alam bisshawwab

Ismail Amin (Pelajar Indonesia, masih tingkat akhir Sekolah Tinggi Bahasa Persia, Qom )

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Apa makna makar Tuhan yang disebutkan dalam al-Qur'an?
Pesan Imam Husain as
Masalah Air di Karbala
Aksi Simpatik Muslim Inggris Memperkenalkan Imam Husain as di London
Sejarah Syiah: Sejak Zaman Rasulullah SAW sampai Abad 14 H
Kisah Salman al Farisi Mencari Kebenaran
Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
Sayidah Fathimah dalam Ucapan Amirul Mukminin
Semua Di Hadapan Amirul Mukminin Sejajar
Makna “al-Qurba” pada ayat 23 surah Syura

 
user comment