Telah kita katakan sebelumnya bahwa sesungguhnya Syi’ah di masa Imam Ali Ar-Ridha as telah mencapai kekuasaan politik yang besar, yang hal ini mendorong Al-Ma’mun untuk mengundang Imam Ali Ar-Ridha dan memaksanya untuk menerima jabatan resmi dalam kekhalifahan.
Meskipun Imam Ali Ar-Ridha as akhirnya menyetujui pengangkatannya itu, tetapi persetujuan ini dibarengi dengan syarat untuk sama sekali tidak mencampuri urusan politik resmi, bahkan yang berkaitan dengan mengimami orang-orang dalam shalat Id. Dengan syarat ini, Imam Ali Ar-Ridha as telah menggagalkan rencana-rencana dan tujuan-tujuan jahat Al -Ma’mun. Sehingga, Imam Ali Ar-Ridha as tetap menjadi simbol dan harapan bagi umat.
Imam Muhammad Al-Jawwad as tetap meneruskan jalan yang ditempuh oleh ayahnya ini, sebagaimana Al-Ma’mun juga berupaya menjalankan rencana yang sama terhadapnya.
Di antaranya, Al-Ma’mun menikahkan putrinya, Ummul Fadhl, dengan Imam Muhammad Al-Jawwad as guna memisahkan hubungannya dengan umat. Dengan pernikahan ini, Al-Ma’mun telah menanamkan mata-mata keluarga dalam rumah Imam Muhammad Al-Jawwad as yang mengawasi segala gerak geriknya.
Sebelumnya Al-Ma’mun telah berupaya menjatuhkan martabat Imam Ali Ar-Ridha as dan mempermalukannya di hadapan tokoh-tokoh agama, aliran, dan filsafat. Akan tetapi, dalam perdebatan itu, temyata Imam Ali Ar-Ridha as berhasil mengungguli mereka semua dengan sangat mengagumkan sehingga namanya, dan Ahlul Bait pada umumnya, justru tambah terkenal dan terangkat.
Kemudian Al-Ma’mun kembali berupaya menjatuhkan Ahlul Bait dengan mempermalukan Imam Muhammad Al-Jawwad as karena umumya masih tergolong anak-anak, yang saat itu masih berusia sembilan tahun. Al-Ma’mun mengumpulkan antara Imam Muhammad Al-Jawwad as dengan ulama-ulama terkemuka pada zamannya, yang paling terdepan di antara mereka adalah Yahya bin Uktsum, Qodhil Qudhot (Hakim Agung),
Dalam perdebatan ini, Imam Muhammad Al-Jawwad as telah mengalahkan Yahya bin Uktsum dengan kekalahan yang telak sehingga hal itu telah mencemaskan Al-Ma’mun.
Kemudian kita mendapatkan bahwa delapan puluh faqih (ahli fiqih) dari Bagdad dan kota-kota yang lain berangkat pada musim haji ke Al-Madinah Al-Muwarah untuk sengaja menemui Imam Muhammad Al-Jawwad as.
Di antara sahabat dan murid Imam Muhammad Al-Jawwad as adalah: Ibn Abi ‘Umair Al-Baghdadi, Abu Ja’far bin Sinan Az-Zahidi, Ahmad bin Abi Nushair Al-Bizanthi Al-Kufi, Abu Tamam Habib bin Aus Ath-Tha’i, Abul Hasan Ali bin Mahziyar Al-Ahwazi, dan Al-Fadhl bin Syadzan An-Naisaburi. Mereka semua ini merasa tertekan dan menderita karena diawasi dan terus-menerus dikejar-kejar oleh penguasa.
Imam Muhammad Al-Jawwad as di samping memiliki karakter keilmuan yang kuat, dia juga melakukan perlawanan terhadap pemerintahan saat itu secara politis. Hal ini mendorong Al-Ma’mun untuk menawarkan kepada Imam Muhammad Al-Jawwad as sebuah rumah di Bagdad (agar lebih mudah mengawasinya). Akan tetapi, Imam Muhammad Al -Jawwad as telah menggagalkan rencana Al-Ma’mun ini dengan menolak penawaran yang diajukan oleh Al-Ma’mun itu. Imam Muhammad Al-Jawwad as lebih memilih untuk tetap tinggal di Madinah Al-Munawwarah dan melakukan konsolidasi dengan Syi’ahnya.
Kemudian ketika Al-Mu’tashim naik takhta, dia memanggil Imam Muhammad Al-Jawwad as ke Bagdad dan memaksanya untuk tinggal di sana. Akhimya, dia berhasil melaksanakan rencananya untuk membunuhnya dengan cara meracuninya.