Ketika perlawanan bersenjata bukan sebuah pilihan, Imam Sajjad as menggunakan cara lain untuk berjuang dan melawan penguasa. Berikut ini adalah sejumlah metode yang digunakan beliau dalam rangka ini.
Menjaga Tragedi Asyura Tetap Diingat
Dalam beberapa riwayat disebutkan, Imam Sajjad as selalu menangis saat melihat hal-hal yang mengingatkannya akan tragedi Karbala.
Salah satunya, saat Imam as melewati seorang penjual ternak, beliau bertanya,”Apakah kau memberi minum kambingmu sebelum disembelih?” Ketika orang itu mengiyakan, beliau menangis dan berkata,”Ayahku dibunuh kehausan tanpa ada yang memberinya air.”
Atau, ketika seorang pembantu bertanya,”Tidakkah duka Anda akan berakhir?” Imam menjawab,”Ya’qub menangisi Yusuf hingga matanya buta, padahal putranya masih hidup. Sedangkan aku menyaksikan ayah dan kerabatku dibantai di hadapanku. Bagaimana mungkin dukaku akan berakhir?”[1]
Walau benar tangisan-tangisan ini adalah luapan emosi, namun di baliknya terdapat tujuan-tujuan strategis. Dengan cara ini, Imam as ingin agar muslimin tidak melupakan kekejaman dan kezaliman Yazid. Secara tidak langsung, beliau telah mempersiapkan lahan terkikisnya kekuasaan Bani Umayah.
Seperti diketahui, tiap pemberontakan terhadap Bani Umayah selalu bermotifkan pembalasan terhadap kezaliman atas Ahlulbait as (minimal itulah yang coba dikesankan kepada umat). Isu ini pula yang diangkat Bani Abbas saat mereka berhasil menggulingkan Bani Umayah.
Mencerahkan Umat Melalui Wejangan Moral
Sebelum ini telah disampaikan, kebobrokan moral menjadi salah satu sebab tumpulnya kepekaan sosial-politik umat Islam, hingga mustahil bagi Imam Sajjad as untuk menghimpun pengikut guna melakukan perlawanan bersenjata.
Sebab itu, Imam as kerap mengadakan majlis-majlis akhlak di Madinah. Dalam majlis-majlis ini, beliau menyampaikan wejangan-wejangan akhlak guna memperbaiki moralitas masyarakat.
Di sela-sela wejangan ini, beliau juga menyisipkan poin-poin akidah, khususnya yang berkaitan dengan imamah. Secara tidak langsung, beliau menunjukkan ketidaklayakan Bani Umayah memegang tampuk kekhalifahan dan bahwa yang berhak adalah Ahlulbait as.
Misalnya, dalam wejangan yang selalu diulang-ulang Imam Sajjad as tiap hari Jumat di Masjid Madinah, ketika menasihati orang-orang untuk bersiap menyambut kematian, beliau berkata,”Salah satu hal yang akan ditanyakan dalam kubur adalah ‘siapa imam yang kau taati di dunia.’”[2]
Jihad Melalui Doa-doa
Shahifah Sajjadiyah adalah kitab yang menghimpun doa-doa Imam Ali bin Husain as. Himpunan doa ini juga dijuluki Zabur Al Muhammad (Zabur keluarga Muhammad). Untaian-untaian doa indah nan menyentuh dalam kitab ini menunjukkan tingginya makrifat Imam Sajjad as terhadap Sang Khalik.
Namun, kitab doa ini bukan hanya berisikan ungkapan cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Jika dicermati, di dalamnya juga terkandung pesan-pesan politis dan perlawanan terhadap penguasa zalim.
Misalnya, dalam doa Makarim al-Akhlaq (doa no 20 Shahifah Sajjadiyah), Imam Sajjad as mengatakan:
“Ya Allah, sampaikan shalawat atas Muhammad dan keluarganya. Beri aku kekuatan menghadapi orang yang menzalimi dan memerangiku; beri aku kemenangan atas orang yang memusuhiku; ajari aku siasat menghadapi orang yang berniat jahat dan mengelabuiku; anugerahi aku daya untuk melawan orang yang menyakitiku; jadikan aku mampu menyanggah orang yang memfitnah dan mencari-cari aibku, dan lindungi aku dari ancaman musuh-musuhku.”
Siapa lagi yang dimaksud Imam as dalam doa ini, kalau bukan para penguasa Bani Umayah dan antek mereka?
Dalam doa yang dibaca di hari Jumat dan Idul Adha, Imam as menyampaikan, yang berhak menjadi imam salat di dua hari mulia ini adalah pemimpin pilihan Allah. Namun, kedudukan ini telah dirampas oleh para penguasa tiran.
Melalui doa ini, Imam Sajjad as mengajarkan kepada muslimin salah satu tugas seorang imam pilihan Allah, sekaligus menafikan legalitas para khalifah Bani Umayah.[3]
Ya, dengan cara-cara inilah Imam Sajjad as melakukan jihad melawan penguasa, bukan dengan mengangkat senjata. Jika dianalogikan, wejangan-wejangan akhlak beliau adalah ‘tameng’ guna melindungi umat, dan tangis serta doa beliau adalah ‘pedang’ yang menikam jantung kekuasaan Bani Umayah tanpa mereka sadari.
CATATAN :
[1] Sireye Pishvayan 260.
[2] Sireye Pishvayan 262.
[3] Ibid, 276.