Dalam sebuah majelis pengajian, seusai berdiskusi, ada seseorang yang bertanya kepada salah satu orang alim di majelis itu:
“Kami sering mendengar bahwa dalam Islam ada anjuran agar mas kawin tidak terlampau banyak. Sebagaimana nabi pernah berkata, “Wanita yang buruk adalah wanita yang paling berat dan banyak mas kawinnya.”[1] Ia juga bersabda, “Wanita yang paling baik adalah wanita yang paling sedikit maharnya.”[2]
Namun mengapa apa yang kami baca di Al Qur’an bertentangan dengannya, dan Al Qur’an membolehkan perempuan untuk meminta mas kawin yang banyak.”
Orang Alim bertanya, “Di ayat manakah dijelaskan seperti itu?”
Pelajar: “Ada di surah An Nisa’, ayat 20. Allah swt berfirman:
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.”
Kata qinthar dalam ayat tersebut berarti harta yang banyak, yang kurang lebih sebanyak seribu Dinar. Allah swt menyinggung masalah qinthar dan tidak berkata apa-apa tentang bertentangan dengannya, justru memerintahkan kita agar tidak mengambil lagi “harta yang banyak” itu dari perempuan. Kalau memang mahar yang banyak tidak baik, pasti Al Qur’an juga mengingatkan kita akan hal itu.
Ada sebuah riwayat yang menceritakan bahwa pada suatu hari semua orang saling memahalkan mas kawin dalam pernikahan. Umar bin Khattab pun kesal mendengar hal itu dan berdiri di mimbar berceramah seraya memerintahkan semua orang agar tidak memahalkan mas kawin, dan barang siapa mas kawin dalam pernikahannya lebih dari empat ratus Dirham maka selebihnya itu akan ia ambil dan dimasukkan ke Baitul Mal.
Setelah itu seorang perempuan dengan tidak terima mendatangi Umar dan berkata, “Apakah kamu melarang kami meminta mas kawin lebih dari empat ratus Dirham dan merampas jika melebihinya?”
Ia menjawab, “Ya. Kenapa?”
Perempuan itu berkata, “Apakah kamu tidak pernah membaca ayat 20 surah An Nisa'(ayat di atas)?”
Umar lalu diam, dan akhirnya membenarkan perempuan itu. Lalu ia beristighfar dan berkata “Banyak orang yang lebih pandai dari Umar, meskipun perempuan yang berada di balik tirai.”[3]
Alim menjawab, “Ayat tersebut ada asbab nuzul nya. Di jaman Jahiliah, sudah biasa lelaki-lelaki Arab jika mencerai istrinya lalu menikah lagi, supaya mereka dapat mengambil lagi mas kawin yang pernah mereka berikan, mereka memojokkan perempuan dengan tuduhan-tuduhan tertentu agar bersedia mengembalikan mas kawin secara terpaksa. Lalu dengan mahar yang telah mereka ambil itulah mereka membayar mas kawin instri baru mereka. Dengan demikian ayat tersebut turun untuk mengecam mereka.
Islam hanya menyarankan agar mas kawin tidak dipatok terlalu banyak. Namun jika anjuran tersebut tidak dipedulikan, tidak masalah. Asalkan setelah suami istri sepakat dengan mahar yang banyak itu, lelaki tidak dapat seenaknya meminta kembali mas kawin yang telah ia bayarkan tanpa izin dari perempuan. Oleh karena itu ayat di atas tidak bertentangan dengan masalah ini.
Adapun kasus Umar dan perempuan di atas, memang perempuan itu benar. Karena Umar berencana untuk mengambil mas kawin yang telah disepakati oleh suami istri secara paksa tanpa kerelaan perempuan; dan hal itu bertentangan dengan ayat yang dibacakan oleh perempuan tersebut. Jadi tidak heran jika Umar mengaku salah.
Kesimpulannya, Islam menganjurkan mas kawin yang ringan. Namun jika mas kawin yang tinggi dan berat telah disepakati, maka lelaki tidak mempunyai hak untuk menyalahi kesepakatan itu.”
Pelajar: “Masih ada ayat lain yang dapat kusebutkan berkenaan dengan hal ini. Dalam Al Qur’an disebutkan kisah nabi Musa as dan Syu’aib as. Ketika nabi Musa as pergi meninggalkan Mesir karena ancaman Fir’aun lalu bertemu nabi Syu’aib as, beliau berkata kepada nabi Musa as: “Aku ingin kamu menikah dengan salah satu dari anak-anakku, namun dengan syarat engkau harus bekerja untukku selama 8 tahun. Namun jika kamu mau kerja sampai 10 tahun, maka kamu benar-benar baik padaku.”[4]
Lalu nabi Musa as menerima apa yang diminta oleh nabi Syuaib as.
Jika kita pikirkan, bekerja selam 8 tahun bukanlah hal yang ringan, dan nabi Musa as menerimanya. Yakni ia menerima mas kawin yang berat itu. Al Qur’an pun tidak menyinggung masalah mahar sedemikian rupa baik atau tidak. Al Qur’an hanya membawakan cerita tersebut dan berlalu begitu saja. Kalau begitu tidak masalah dengan mas kawin yang tinggi?”
Alim menjawab, “Perlu diketahui bahwa kisah pernikahan nabi Musa as dengan putri nabi Syu’aib as bukanlah pernikahan biasa. Nabi Musa as bersedia menikahi anak nabi Syu’aib karena beliau bertujuan agar bisa tetap tinggal dengan pembesar Madyan, yakni nabi Syu’aib as, selama bertahun-tahun untuk menjadi muridnya. Lagi pula nabi Syu’aib as sendiri dengan mempekerjakan nabi Musa as selama 8 tahun, itu pun ia yang menanggung hidup nabi Musa as dan istrinya, bertujuan agar nabi Musa as dapat tetap bersamanya. Kelihatannya bekerja selam 8 tahun adalah hal yang besar, namun nyatanya hidup 8 tahun bersama nabi Musa as adalah apa yang memang diinginkan nabi Musa as. Lagi pula di ayat itu nabi Syu’aib as sendiri juga berkata bahwa ia tidak ingin menyusahkan nabi Musa as.[5]
CATATAN :
[1] Wasailus Syiah, jilid 15, halaman 10.
[2] Ibid.
[3] Tafsir Ad Durr Al Mantsur, jilid 2, halaman 133; Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, halaman 468; Tafsir Qurthubi, Kasyaf, Gharaibul Qur’an… dalam tafsiran ayat di atas.
[4] QS Qashash: 27.
[5] Seratus Satu Dialog, Muhammad Muhammadi Isytihardi, halaman 388.