Oleh : Akmal Kamil
Thomas Carlyle memandang sejarah sebagai biografi dari manusia-manusia besar. Dalam menegaskan ucapannya ini, ia berkata, “Sejarah universal merupakan sejarah apa yang telah dicapai oleh umat manusia di dunia dan pada dasarnya adalah sejarah manusia besar yang sudah bekerja di dunia.”
Ia, dalam Heroes and Hero Worshipers, berpandangan bahwa manusia besar laksana halilintar yang membelah langit, dan manusia lainnya hanya menunggu dia bak kayu bakar. Demikian teori great man dari Thomas Carlyle. Dalam pandangannya manusia besar laksana percikan api yang membakar kayu bakar kemudian meledak dan mengubah sejarah dalam waktu yang singkat. Lebih jauh, Carlyle mengatakan bahwa manusia besar adalah jiwa dari seluruh sejarah umat manusia.
Dengan melihat meski selintasan dan sepintas sejarah pada domain kehidupan sosial manusia dapat dikatakan bahwa setiap komunitas manusia senantiasa bergerak dinamis dan progressif. Pergerakan yang meniscayakan perubahan ini terjadi pada komunitas itu sendiri, pada tubuh, atmosfer dan kondisi naturalnya.
Ayatullah Misbah Yazdi menulis bahwa perubahan sosial itu adalah perubahan yang terjadi pada sebuah komunitas dan hasil perubahan itu adalah bercorak sosial, tidak terkhusus pada seseorang, kelompok atau strata tertentu dalam masyarakat. Perubahan sosial ini bersifat dawam dan lestari.”
Menurut Guy Rocher, perubahan yang terjadi pada komunitas manusia merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan sejarah. Tanpa adanyaperubahan menunjukkan statis dan pasifnya sebuah masyarakat bahkan lonceng kematian harus segera ditabuh bagi masyarakat tersebut. Oleh itu, para sosiolog tidak terlalu takjub pada setiap perubahan yang terjadi di masyarakat. Yang menarik perhatian mereka adalah apa yang berubah dan peristiwa apa yang terjadi dalam sebuah komunitas? Apakah perubahan ini terjadi pada struktur, budaya, teladan, nilai atau ideologinya? Secara umum para sosiolog berupaya menyingkap tirai pemahaman terkait dengan bagaimana sebuah perubahan terjadi sehingga faktor-faktor, pelaku, motivator dan bahkan provokator pelbagai perubahan itu dapat dikenal berikut orang-orang yang menentang perubahan tersebut.
Sejarah mencatat banyak perubahan, pergolakan dan peristiwa yang dialami umat manusia. Husain bin Ali As adalah termasuk dari orang besar yang lahir dari rahim sejarah ini. Dengan revolusi Asyura Imam Husain As berhasil mempersembahkan sebuah perubahan besar dalam sejarah umat manusia. Perubahan besar dengan mengorbankan segalanya untuk tetap menjaga Islam dari penyimpangan pasca wafatnya datuknya Rasulullah Saw. Lantaran kalau bukan Asyura dan peran sentral Imam Husain, niscaya umat manusia tidak akan mengenal Islam kecuali namanya saja. Mengingat laku-lacur penguasa Bani Umayyah di masa Imam Husain As.
Kalau Carlyle berkata bahwa great man laksana halilintar yang siap membakar kayu bakar, maka perjuangan al-Husain, dalam lisan riwayat, adalah “Panas yang membakar jiwa setiap orang beriman takkan pernah padam selamanya.”
Carlyle sendiri dalam mengomentari keprawiraan Imam Husain di pentas Karbala berkata, “Sebaik-baik pelajaran yang dapat kita petik dari tragedi Karbala adalah bahwa Husain dan para sahabatnya memiliki iman yang kokoh kepada Tuhan. Mereka dengan aksinya menjelaskan bahwa tatkala hak dan batil berhadap-hadapan minimnya jumlah bukan persoalan penting. Dan kemenangan Husain dengan kuantitas kecil itu telah membuatku terkesima.”
Mahatma Gandhi founding father dan arsitek pembebas bangsa India dari cengkeraman penjajahan Inggris, tentang Imam Husain As berujar, “Aku tidak membawa sesuatu yang baru untuk rakyat India, aku hanya membawa hasil dari perenungan, telaah dan penelitianku terhadap sejarah kehidupan para pahlawan Karbala untuk mengangkat harkat bangsa India. Jika kita ingin menyelamatkan bangsa ini, maka kita wajib melakukan apa yang telah dilakukan oleh Husain bin Ali bin Abi Thalib.”
Bukan tempatnya di sini untuk menukil kesan dan komentar para sejarawan, sosiolog dan cendekiawan dunia dari reformasi yang dibawa oleh Imam Husain As.
Cukup bagi kita dua tokoh in untuk mengantar kita kepada tema pembahasan kali ini ihwal perubahan dan tipologi sosial kisah epik asyura, dan di atas semua itu, sabda Rasulullah Saw ihwal kedudukan Imam Husain As, “Husain dariku dan Aku dari Husain.” Konteks hadis Nabi Saw “Husain dariku” adalah perlambang bahwa sebagaimana Nabi Saw datang untuk mengangkat citra, harkat dan martabat manusia, maka demikian juga al-Husain.
Sosiologi Asyura
Sejatinya, kisah asyura dapat dikaji dan ditelaah dari pelbagai sudut pandang. Dari sudut pandang sosiologi, politik, budaya, irfan, filsafat, sejarah, pendidikan, akhlak dan bahkan sastra. Dan secara khusus dari sudut pandang agama artinya murni pemikiran agama. Kesemua ini dapat dijadikan sebagai tinjauan terhadap kisah asyura.
Dari sudut pandang sosiologi, tragedi ini dapat dipandang dari dua sisi, pertama tragedi asyura dan peristiwa yang terjadi di tempat itu, bagaimana berubah menjadi sebuah paragon unggul untuk kemanusiaan, kebebasan, pengorbanan, keprawiraan, kemuliaan, kematangan, bagi kaum muslimin dan bahkan untuk umat manusia sepanjang perjalanan sejarah. Khususnya pada domain aksiologi dan pemikiran Syiah. Tragedi karbala menyisakan kesan yang mendalam dan kokoh yang menginspirasi nyaris seluruh perjuangan melawan tirani, dominasi dan koloni atas pribadi, masyarakat dan bangsa.
Tragedi asyura merupakan teladan utama sejarah Syiah dalam membela nilai-nilai kebebasan dan pembebasan, sikap altruisme, meraup kemuliaan, kerelaan berkorban, keprawiraan, berjihad di jalan mempertahankan akidah dan berkorban untuk mencapai tujuan mulia ini.
Tragedi asyura dalam sejarah Syiah selama satu millenium dalam menanamkan pemahaman mendalam pada pemikiran Syiah sangat memainkan peran penting. Begitupun dalam membentuk sebuah komunitas mandiri Syiah; artinya sebuah pemerintahan secara gradual terbentuk dengan mengambil pelajaran utamanya dari kisah Asyura yang kini berbentuk sebuah pemerintahan Islam di Iran. Sebuah Revolusi Islam yang diusung pemimpinnya, Imam Khomeini, memproklamirkan bahwa segala yang diraihnya adalah bersumber dari pelajaran Asyura. Dengan kata lain, pengaruh revolusi al-Husain sangat menginspirasi revolusi Islam yang digelontorkan oleh Imam Khomeini. Dimana pengaruh Revolusi Islam Iran ini sangat tampak kasat mata pada konstelasi peta perpolitikan dunia, sehingga Theda Skocpol, dalam Social Revolutions in the Modern World, mengategorikan Revolusi Islam Iran sebagai salah satu revolusi sosial terbesar di samping Revolusi Prancis, Rusia dan Cina. Revolusi Islam Iran kemudian banyak “menghasut” gerakan-gerakan pembebasan di pelbagai belahan dunia, baik pada sisi pemikiran maupun tindakan. Agama yang tadinya termarginalkan perannya lantaran badai Sekularisme, setelah Revolusi Islam Iran menang, orang-orang tidak sungkan-sungkan lagi mengenakan atribut-atribut keagamaan dalam aksi-aksi kultural dan sosial mereka. Semuanya ini merupakan ilham dari pesan abadi Asyura.
Yang juga dominan dapat dilihat dari pengaruh revolusi al-Husain ini adalah pada gerakan resistensi Hizbullah di Libanon, geliat kemunculan pergerakan anti dominasi, tirani, dan koloni atas sebuah bangsa, masyarakat, tatanan dan agama. Atau resistensi intifadha di Palestina dan di belahan dunia Islam lainnya.
Slogan-slogan seperti “Pantang Hina!” semacam menjadi bahan bakar yang tak habis-habisnya dan siap menggerakkan orang untuk berkorban dan berjuang di jalan iman dan agama. Slogan “Sekiranya agama Muhamad tidak akan tegak kecuali dengan kematianku, maka wahai pedang-pedang…ambillah jiwaku.” Slogan-slogan membakar ini telah menjadi paradigma dalam kehidupan seorang bebas-merdeka yang ingin berjuang untuk nilai-nilai yang dianut dan diyakini, ingin meraih kehormatan insaniah sekaligus Ilahiah.
Akhir-akhir ini, Ismail Haniyyah, Perdana Menteri terpilih Palestina dari Hamas dalam petisinya terkait dengan serangan brutal Israel dan keikutsertaan para penguasa Arab dalam membantai rakyat teraniaya Palestina, “Sekiranya kalian membunuh ribuan dari anak-anak dan pejuang kami, niscaya kalian tidak akan mampu membunuh semangat kemuliaan dan kehormatan dalam diri kami.” Kita dapat berkata bahwa semangat izzah dan karamah ini merupakan inspirasi dari semangat Asyura al-Husain As.
Pengaruh Komunal dan Sosial Asyura
Kisah Asyura menjadi poros dan pusat gerakan sejarah Syiah. Dengan mengenang tragedi ini, spirit orang-orang Syiah menjadi bergelora dan boleh jadi tiada satu pun bangsa, komunitas, masyarakat yang terbentuk dari sebuah budaya semacam ini. Sayid Hasan Nasrallah yang menjadi lokomotif resistensi melawan para tirani dunia kiwari dalam sebuah ceramah “membakarnya” bahwa makna “Labbaik Yaa Husain..” (Kusambut seruanmu Yaa Husain) adalah berkorban anak, istri, ibu meski seorang diri, meski ditinggalkan oleh orang, meski dituding. Tatkala seruan untuk menegakkan kemuliaan agama, sendiri pun kusambut..
Yel-yel “Labbaik Yaa Husain” ini telah membuat keberadaan Hizbullah sebagai simbol terdepan perlawanan hegemoni, dominasi dan tirani Barat di dunia. Seruan “yang memberi kehidupan” ini merupakan seruan terhadap penentangan dan perlawanan kapan saja dan dimana saja tatkala agama yang menjadi taruhannya.
Kisah asyura di samping ia berdimensi religius, ia juga berdimensi sosial. Di antara masalah penting asyura adalah dimensi komunal dan sosialnya. Dan asasnya adalah jihad dan pembebasan yang berpijak di atas keyakinan, rasionalitas dan pemikiran.
Ayatullah Jawadi Amuli acap kali menandaskan bahwa yel-yel “Husain..Husain..slogan kami….Syahadah adalah kehormatan bagi kami,” telah menjadi budaya para pejuang dalam mempertahankan Revolusi Islam. Budaya inilah yang hingga saat ini yang mampu menjaga dan memelihara Revolusi ini. Pemeliharaan terhadap tradisi lawas Asyura adalah salah satu cara memelihara Revolusi Islam. Di samping budaya penantian (al-intizhâr), dan loyalitas terhadap wilâyat al-faqih.
Tradisi perayaan Asyura telah menjadi budaya tersendiri pada masyrakat Syiah di seantero dunia. Bahkan lebih dari itu Asyura berkedudukan sebagai sebuah institusi sosial di Iran khususnya di belahan bumi lainnya pada komunitas pecinta al-Husain secara umum.
Hal ini merupakan kenyataan yang dapat dilihat tatkala bulan Muharram tiba. Hampir seluruh strata masyarakat terlibat dalam perayaan Asyura ini. Menyumbang untuk kegiatan perayaan Asyura, sewa gedung, meramaikan masjid atau husainiyyah, parade, menggubah puisi, berkidung lagu sendu, donor darah, membantu fakir miskin, mengadakan festival Muharram, seminar dan banyak lagi aksi sosial lainnya dalam memperingati acara Asyura.
Terakhir, dengan semangat revolusi Imam Husain, Pemimpin Revolusi Islam Imam Ali Khameini mengumumkan hari 1 Muharram sebagai hari berkabung nasional atas tragedi Ghaza yang menimpa bangsa Palestina sebagai wujud simpati paling minimal dalam konteks sosial dan negara. Dimana pengumuman ini disambut elegan oleh Sayid Hasan Nasrallah untuk melakukan tabligh akbar di Beirut sebagai tanda kepedulian sosial terhadap bangsa Palestina yang kini dirundung duka. Kenyataan ini menandaskan bahwa sisi komunal dan sosial Asyura sedemikian berpengaruh pada komunitas Syiah tanpa memandang bahwa yang didera musibah ini Muslim atau tidak, Syiah atau tidak. Berbeda dengan para mufti Saudi yang lantaran Hizbullah bermazhab Syiah kemudian mengharamkan bantuan kemanusiaan kepada warga Libanon pada peperangan dengan Israel 2006. Bahkan puncaknya, Imam Ali Khamenei mengeluarkan hukum historis (melebihi fatwa) sebagai Wali Amr al-Muslimin(pemimpin kaum Muslimin) menegaskan bahwa “Barangsiapa yang berjuang membela rakyat Ghaza kemudian mati di jalan ini maka matinya adalah mati syahid.”
Selanjutnya saya ingin mengajak Anda untuk menemani para sosiolog mengkaji faktor-faktor dan nilai-nilai yang memotivasi pemimpin Revolusi Asyura untuk mengadakan perubahan, rekayasa sosial, dengan melihat tipologi-tipologi gerakan kebangkitan Imam Husain ini.
Menghidupkan nilai-nilai Islam dan Kemanusiaan
Mengingat manusia merupakan makhluk yang misterius dan manusia tidak memiliki pemahaman dan makrifat yang memadai tentang satu dengan yang lain, jika tidak mendapat pancaran cahaya berupa panduan samawi dan melulu bersandar semata pada metode bumi dengan menetapkan kaidah-kaidah keliru memilih seorang pemimpin umat. Maka manusia dengan cara demikian sekali-kali tidak akan pernah mendulang kesuksesan dalam menjalani hidupnya; lantaran pemerintahan akan jatuh di tangan orang yang tidak patut menempati posisi sebagai pemerintah. Dan nilai-nilai Ilahi dan nabawi akan mengalami distorsi. Dan sebagai gantinya adalah nilai-nilai jahiliyah yang menjadi sandaran utama. Ketika nilai-nilai jahiliyah yang menjadi poros, maka perilaku moral dan sosial jahiliyyah juga akan mengikuti poros ini.
Nilai dari sudut pandang sosiologi adalah keyakinan atau ideologi yang mengakar dimana sekelompok masyarakat merujuk tatkala berhadapan dengan masalah seperti segala kebaikan, keburukan, keutamaan dan kesempurnaan ideal. Namun yang dimaksud dengan nilai dengan pendekatan sosiologis adalah nilai-nilai (positif) yang diterima oleh kebanyakan masyarakat. Nilai-nilai ini dapat bercorak agama atau berwarna sosial. Perbedaan dari keduanya dapat ditelusuri pada sumbernya. Jelas bahwa nilai-nilai agama sumbernya adalah wahyu sementara nilai-niliai sosial adalah bersumber pada penerimaan masyarakat umum. Kendati nilai-nilai sosial yang memiliki akar wahyu dapat bewarna agama. Dengan memperhatikan definisi yang diberikan di atas nilai-nilai merupakan pemandu segala perilaku yang dipraktikan oleh sebuah masyarakat.
Salah satu pengaruh penting dan asasi kebangkitan Imam Husain As adalah menghidupkan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan yang merupakan kebutuhan kunci dan urgen seluruh komunitas manusia. Lantaran nilai-nilai merupakan salah satu unsur utama dan berpengaruh pada domain kebudaayaan masyarakat. Dimana kebudayaan laksana udara bagi masyarakat yang tanpanya masyarakat tidak akan dapat bernafas. Unsur-unsur kebudayaan terpengaruh langsung oleh nilai-nilai yang dianut pada masyarakat tersebut.
Nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat ini penting lantaran tiadanya akan menyebabkan chaos dalam ucapan, tindak sosial dan tindak moral. Menukil Durkheim, anomic akan muncul di tengah masyarakat. Karena nilai-nilai merupakan lentera dan pelita petunjuk bagi ucapan dan tindakan masyarakat dimana tanpanya komunitas tidak akan mampu membentuk dan menyelaraskan dirinya.
Salah satu nilai penting agamis dan insaniah yang dihidupkan oleh Imam Husain dan para pengikutnya adalah gairah pada syahada (martrydom) dan semangat altruisme (itsar). Menurut Syahid Muthahhari dalam Hamâse Husaini, berkata bahwa setiap kematian suci (syahadah) memendarkan cahaya kepada masyarakat.” Dengan pendaran cahaya syahadah ini masyarakat dapat melenggang menjalani kehidupannya jauh dari kegelapan. Tatkala ingin mencapai sebuah tujuan mulia, sekalipun harus ditebus dengan jiwa, maka tanpa tedeng aling-aling nyawa pun dipertaruhkan.
Sejarah kehidupan umat manusia secara tegas memberikan kesaksian bahwa manusia semenjak penciptaannya hingga detik ini dengan pelbagai cara berusaha supaya dirinya abadi dan lestari. Tuhan yang sangat mengetahui kecendrungan esoterik manusia ini menunjukkan jalan keabadian kepada manusia dan menganugerahkan syahadah kepadanya dan berfirman, “Kiranya manusia memilih kematian merah (syahadah) untuk menuju jalan keabadian hingga ia merengkuh “ahya”.”Jangan kalian mengira bahwa orang-orang yang dibunuh di jalan Allah adalah mati, melainkan mereka hidup di sisi Tuhannya dan dianugerahi.” (Qs. Ali Imran [2]:169)
Nabi Saw melebarkan ayat ini dengan bersabda: “Barangsiapa yang terbunuh dalam berjuang menghadapi kezaliman maka ia adalah syahid.”
Imam Husain As dalam mempersembahkan pengorbanan pada altar sejarah kemanusiaan adalah mengikut para nabi yang diabadikan dalam al-Qur’an seperti pada pengorbanan Ibrahim, Musa, Nuh, Luth, Hud, Shaleh, Syuaib dan Muhammad Saw yang berteriak lantang dan bangkit melawan para penguasa para tiran, penyembah berhala, kebodohan, puritanisme sempit, kerusakan sosial dan moral. Bahkan kondisi yang hadir di hadapan Imam Husain melebihi kondisi para nabi yang disebutkan di atas. Betapa tidak yang dihadapi oleh Imam Husain adalah umat Islam sendiri. Umat yang mengklaim diri mereka sebagai pengikut datuknya, Muhammad Saw.
Itsar dalam menyelamatkan manusia dari kekaraman kerusakan sosial dan membawa manusia dari kegelapan kepada cahaya adalah kiprah yang diperankan dengan sempurna oleh Imam Husain As. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya al-Husain adalah bahtera keselamatan dan pelita hidayah.”
Imam Husain merupakan putra binaan wahyu. Ia adalah hasil didikan Fatimah dan Ali yang berada pada garda terdepan dalam masalah pengorbanan. Allah Swt mengabadikan keluarga nubuwwah ini atas pengorbanan mereka dalam al-Qur’an, “dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu),” (Qs. Al-Hasyr [59]:9), “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.Mereka hanya berkata), “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih darimu.(Qs. Al-Insan [76]:8-9)
Dalam konteks kemasyarakatan selalu diperlukan pengorbanan tatakala kita dihadapkan dengan pilihan antara dunia dan akhirat, antara diri dan umat, antara jabatan dan bangsa dimana amat disayangkan dewasa ini kita lebih banyak memilih yang pertama ketimbang yang belakangan.
Reformasi Umat
Salah satu nilai dan tipologi penting lainnya revolusi al-Husain adalah masalah reformasi dan perbaikan yang dalam bahasa teknis agamanya amar makruf dan nahi mungkar. Tipologi ini diproklamasikan secara tegas oleh Imam Husain As dalam wasiatnya kepada Muhammad bin Hanafiyya, “Aku ingin menunaikan tugas amar makruf dan nahi mungkar.
Makruf telah menjadi mungkar dan mungkar telah menjadi makruf sebuah fenomena sosial yang kasat mata di masa Imam Husain As. Melihat kondisi genting yang dapat berpotensi melenyapkan Islam secara keseluruhan ini membuat Imam Husain terpanggil untuk melakukan reformasi pada umat datuknya ini.
Masalah reformasi (islah) dan perbaikan ini merupakan masalah asasi dan tipikal dari tragedi asyura. Apa yang dapat dianalisa dan diurai dari keinganan Imam Husain As ini adalah bahwa beliau sekali-kali tidak ingin menafikan kemungkaran lahir dan partikulir, melainkan berada pada tataran ingin mengeliminir akar kemungkaran. Dengan ungkapan lain, al-Husain menunaikan kewajiban amar makruf dan nahi munkar bukan untuk satu kaum pada satu ruang dan waktu tertentu. Tujuan utama Imam Husain As adalah menghidupkan segala yang makruf di seantero alam. Kebaikan (makruf) yang tertinggi di alam semesta ini adalah Imam Maksum itu sendiri. Sebagaimana Imam Shadiq As bersabda: “Kami adalah poros segala kebaikan dan dari kami bercabang segala kebaikan.” Dan kemungkaran yang paling unggul di dunia ini adalah pembawa panji kekufuran yang nampak secara kasat mata dan telanjang pada diri Yazid dan orang-orang sepertinya. Perlawanan Imam Husain sejatinya juga merupakan perlawanan atas kaum munafik yang berkedok. Orang-orang yang menempatkan Yazid yang menyebut diri mereka sebagai sahabat Nabi Saw yang menghadap-hadapkan Imam Husain dengan seorang yang bahkan satu keutamaan pun tidak dimilikinya.
Embrio penempatan orang yang tidak layak ini harus dilacak hingga Saqifah. Dimana dengan dalih kedekatan kepada Rasulullah Saw atau keutamaannya karena memiliki track-record sebagai orang yang pertama masuk Islam atau sebagai orang yang paling pertama hijrah, sebagaimana klaim khalifah pertama, mereka meninggalkan Ali bin Abi Thalib, ayah Husain yang memilki selangit keutamaan dan telah diproklamirkan secara resmi dan tegas sebagai khalifah umat di Ghadir Khum.
Yazid bahkan tidak menampakkan dirinya sebagai seorang muslim walau secara lahir dan terang-terangan dalam syair-syairnya berkata, “Bani Hasyim telah bermain dengan kerajaan….Tiada berita yang datang juga tiada wahyu yang turun.” Dalam kaca mata Yazid bahwa yang dikejar oleh Bani Hasyim kekuasaan dan kerajaan. Dan masalah wahyu dan al-Qur’an adalah masalahnon-sense. Oleh karena itu, Imam Husain menyimpulkan bahwa musuh-musuh Islam kini sedang berupaya mereposisi nilai-nilai dan segala yang mungkar dijelmakan sebagai sesuatu yang makruf. Yazid dengan pemerintahannya, yang merupakan warisan dari Muawiyah, berada pada tataran merubah nilai-nilai, budaya kemanusian dan masyarakat. Tindakan merubah segalanya yang telah dilakukan oleh para pendahulunnya meski dengan malu-malu kucing.
Sebagian orang memandang bahwa apa yang dituju oleh Imam Husain pada peristiwa tragis Karbala adalah kekuasaan dan dunia. Apakah hal ini memang demikian? Mari kita lihat ucapan Imam Husain yang dalam perjalanannya menuju Karbala ketika berkhutbah ihwal kondisi yang berlaku bahwa dunia mengalami perubahan. Dan kebaikan terabaikan dan hak tidak diamalkan. Dan kebatilan tidak dijauhi. Kondisi ini menggairahkannya untuk bersua dengan Tuhan. Kematian dengan kemuliaan dan hidup di samping para tiran merupakan penyebab kesengsaraan. Kondisi semacam ini merupakan medan persiapan bagi Imam Husain As untuk bangkit. Jadi pandangan salah-kaprah ini tentu saja tidak benar. Karena yang disasar oleh Imam Husain adalah menghidupkan kembali ajaran datuknya Nabi Saw yang telah dikubur oleh umat Islam sendiri dengan menunaikan kewajiban amar makruf dan nahi munkar.
Meminjam istilah para sosiolog, amar makruf dan nahi mungkar ini adalahsocial control. Dalam definisi kontrol sosial ini disebutkan sebagai media dan wahana untuk mengkondisikan anggota masyarakat untuk berbuat yang patut dan layak serta mencegah anggota masyarakat untuk meninggalkan perbuatan yang tidak senonoh..” Dalam kebudayaan Islam dan logika al-Qur’an, sebaik-baik umat dan komunitas adalah komunitas yang menganjurkan yang baik (makruf) dan menolak yang buruk (mungkar). “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar.” (Qs. Ali Imran [3]:110)
Penegak Keadilan
Nilai dan tipologi lainnya dari kebangkitan asyura adalah masalah pencari dan penyebar keadilan. Apa yang semarak dan menyebar pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah kezaliman dan tirani.
Dan dalam berhadapan dengan pemerintahan tiran dan despot tiada jalan lain kecuali harus bangkit dan mengusung perlawanan. Imam Husain dalam khutbah-khutbahnya menyebutkan bahwa sesuai dengan titah Rasulullah Saw dalam melawan pemerintahan dan penguasa zalim.
Dalam pandangan Imam Husain As orang yang memiliki hak untuk berkuasa adalah orang yang memerintah berdasarkan al-Qur’an dan menegakkan keadilan dan pemerintahan Bani Umayyah memiliki tipologi sebaliknya. Imam Husain As memandang bahwa tugasnya adalah melawan pemerintahan zalim ini. Esensi penegakan keadilan pada tragedi Asyura merupakan penegas dan penjelas kebangkitan dengan motivasi menafikan kezaliman dan kejahatan Bani Umayya. Jihad dan syahadah merupakan media yang mesti digunakan dalam perjuangan melawan penguasa zalim. Usaha untuk menegakkan pemerintahan berkeadilan sosial adalah gagasan-gagasan pemimpin revolusi Asyura; sebuah ide yang amat dibutuhkan oleh masyarakat dewasa ini.
Jihad dan syahadah dalam upaya menegakkan keadilan sekali-kali tidak bermakna bahwa kita melihat secara radikal kisah Asyura. Dan analisa sedemikian menegaskan bahwa Imam Husain dengan syahidnya, ia menunjukkan jalan kepada para pecinta keadilan dan demi mengejar cita dan asanya, harus siap menerima kekalahan secara lahir. Tidak demikian. Gerakan penegakan keadilan merupakan pelajaran besar bagi setiap manusia merdeka sepanjang perjalanan sejarah. Lantaran Imam Husain As tatkala mempersembahkan pengorbanan ini pada altar kemanusiaan tiada yang menandingi keagungan dan kebesarannya, sebagaimana dalam ketercelaan dan kehinaan tiada yang melebihi Yazid dan musuh-musuh al-Husain lainnya.
Penentang Tirani
Setiap orang pada setiap komunitas senantiasa ingin mencari pelbagai keteladanan sehingga dengannya ia dapat mendapatkan sebuah kehidupan ideal nan bahagia. Atas alasan ini, setiap orang berusaha mencari yang terbaik dari pelbagai keteladanan tersebut.
Mengingat komunitas manusia sepanjang sejarah selalu menjadi saksi atas berbagai pergolakan dan kejadian dalam hidupnya, oleh itu mereka memerlukan keteladan guna berperilaku yang sesuai dan patut dalam menghadapi pergolakan dan kejadian itu. Dan inilah peran-peran keteladanan yang disebut oleh Cohen yang menulis “Orang-orang yang meniru perilaku teladan dari orang yang patut ditiru atau para teladan yang perilakunya harus menjadi teladan.”
Apabila Imam Husain berkata bahwa padaku teladan bagi kalian (falakum fiiy uswah) menyiratkan pada realitas ini dimana Imam Husain As merupakan teladan dan terdepan dalam menentang kezaliman dan aniaya.
Penentang penindasan ini merupakan salah satu nilai tipikal kebangkitan Imam Husain. Penentangan terhadap kezaliman sepanjang perjalanan sejarah merupakan sebuah keutamaan yang dilakoni para nabi. Imam Husain As dalam awal-awal perjalanannya menuju ke Karbala menyebutkan tipologi gerakannya ini, “Ayyuhannas! Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang melihat hakim tiran yang menghalalkan segala yang diharamkan Tuhan, melanggar janji Ilahi, menentang sunnah Rasulullah, dan berlaku aniaya terhadap para hamba Allah [dengan semua ini] dan di hadapannya tiada satu pun tindakan yang diambil atau ucapan yang menentang semua itu, maka Allah Swt akan menggolongkan dia sederajat dengan hakim itu.” Ketahuilah bahwa Bani Umayyah lebih memilih mengikuti Setan dan membangkang Tuhan, kemungkaran mereka tebarkan. Hukum-hukum Ilahi mereka singkirkan, Baitulmal dijarah dan hanya dikhususkan untuk diri mereka, apa yang diharamkan Tuhan mereka halalkan dan apa yang dihalalkan Tuhan mereka haramkan, dan aku [melihat diriku] lebih patut untuk menentang semua ini.
Imam Husain dengan pidatonya ini mengajak masyarakat untuk bangkit melawan Yazid bin Mua’wiyah yang merupakan jelmaan utama penguasa zalim. Dari pidato ini Imam Husain As juga menegaskan keharusan pemerintahan hak dan kebenarannya yang berporos pada seorang Imam Maksum dan keharusan pelucutan pemerintahan Bani Umayyah serta mengembalikan khilafah dan pemerintahan ke rel aslinya.
“Demi Tuhan! Tiada yang lebih patut menjadi seorang pemimpin kecuali ia mengamalkan al-Qur’an, menegakkan keadilan dan menunaikan segala ketentuan agama hak serta berkorban jiwa untuk mengamalkan semua ini.”
Pemenuhan hak-hak masyarakat dalam kehidupan duniawinya dapat terlaksana apabila pemimpinnya adalah orang yang adil dan menentang kezaliman. Bahkan lebih dari itu, Imam Husain memiliki selangit kriteria untuk dapat membawa umat kepada terealisirnya pemenuhan hak-hak masyarakat. Di samping nilai dan tipologi yang disebutkan di atas sebagai kriteria seorang pemimpin, masih banyak nilai dan tipologi yang dapat kita jumpai pada pribadi Imam Husain As.
Asyura dan Rekayasa Sosial
Kita ketahui bersama bahwa fondasi setiap revolusi besar dan peradaban baru, bertaut dengan seluruh kejadian-kejadian sosial yang terjadi pada sebuah komunitas. Sebagaima setelah revolusi pertanian dan industri, setiap peradaban memiliki bentuk baru dari sisi keluarga, kecintaan, model kerja, sistem perekonomian, dan politik. Mengikut Toffler, peradaban baru pada seribu poin berhadapan dengan nilai-nilai, pemahaman, legenda dan maknawiyat masyarakat lama. Seiring dengan itu pemahaman tentang Tuhan, cinta, keadilan, kekuasaan, keindahan juga mengalami redefinisi dan rekonstruksi ulang.
Sebagai sebuah peristiwa sosial dan sejarah maka Asyura juga mengalami redesain terhadap nilai-nilainya dan pesannya. Setiap tahun nilai-nilai seperti kecintaan, sikap kerelaan berkorban (altruisme), ghairah terhadap syahadah, amar makruf dan nahi mungkar, penentangan terhadap tirani perlu mendapatkan penegasan ulang dan peninjauan kembali yang dengannya kita dapat mencanangkan sebuah proyek rekayasa sosial di masyarakat kita dimanapun kita berada. Nilai-nilai ini amat dibutuhkan oleh masyarakat kita dewasa ini. Sebagai ganti dari nilai-nilai kebencian, egoisme, mengorbankan segalanya untuk kepentingan diri, keluarga dan partai, amar mungkar dan nahi makruf, sokongan terhadap tirani yang merupakan patologi sosial yang harus enyah dari kehidupan masyarakat kita hari ini.
Asyura sebagai sebuah peristiwa sejarah, terkait dengan social engineering, dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama pada bentuk dan konstruksinya. Dan kedua pada historinya sebagaimana ia. Kita harus menerima bahwa dalam budaya asyura pelan-pelan tampak geliat masyarakat umum yang menjadikan kisah Asyura seolah-seolah sebuah legenda. Dan secara perlahan menjauh dari kehidupan keseharian masyarakat. Seakan-akan kisah asyura ini adalah sebuah mitos.
Dari sudut pandang konstruksi peristiwa asyura yang utama adalah pada makna dan kedalaman konstruksi ini yang harus ditelusuri pada tujuan dan cita tragedi asyura. Oleh karena itu, ia memerlukan sebuah upaya rekonstruksi pemikiran terhadap kisah revolusioner ini untuk sebuah rekayasa sosial. Ia membutuhkan sebuah pemikiran bebas dan kritis sehingga kita bisa melesak lebih tinggi melebihi sekedar melulu kisah sejarah dan menggali hingga kedalaman sumbernya. Kepada mata-airnya yang berasal dari sebuah sumber maknawi, Ilahi dan insani. Rekonstruksi ini menurut saya perlu, karena ia memiliki dimensi global dan universal. Lantaran ia akan berubah menjadi sebuah teori bernama teori syahada bahwa bagaimana bisa seorang manusia berjuang tidak saja melalui jalan membunuh tapi juga terbunuh, melalui jalan resistensi. Ia akan menjelma sebagai sebuah teori amar makruf dan nahi mungkar (baca: social control) yang apabila tugas ini diabaikan bahkan dilenyapkan maka kerusakan dan penyakit sosial segera akan menggejala dan menjadi sebuah tradisi. Dan seterusnya.
Rekonstruksi pemikiran ini meniscayakan sebuah analisa dan telaah ulang. Banyak orang yang tidak beriman dan tidak memiliki landasan akidah namun memandang penting tragedi ini. Dan dari sudut pandang sosial, politik, sejarah kisah asyura ini patut mendapatkan perenungan dan perhatian. Dari sisi orang yang beriman, ia harus ditelaah dari perspektif sosial, politik, sejarah, filfasat, irfan, tarbiyah, manajemen di bawah krisis. Mengikut Syariati bahwa kita harus beranjak lebih jauh dari syahadah itu sendiri dan menyusuri sebab mengapa Imam Husain sangat bergairah menjemput syahadah, mengapa Imam Husain sangat cinta menginginkan hidupnya kembali nilai-nilai kemanusiaan dan Ilahiah, mengapa tugas amar makruf dan nahi mungkar ini perlu, mengapa menentang tirani itu harus dan sebagainya. Artinya selama ini kita hanya memandang kesemua ini sebagai sekedar sesuatu yang kudus dan suci. Dan berhenti di poin ini. Menyambut ajakan Syariat, yang harus kita jelajahi dari kisah asyura ini adalah tujuan mengapa Imam Husain syahid? Hal ini dapat kita kaji dari sisi bahwa Imam Husain adalah penentang tirani, pecinta kedamaian, penegak sebuah masyarakat madani, insan yang berupaya mewujudkan nilai-nilai moral, sosial, kultural, dimana tipologi karakter perjuangan Imam Husain ini dapat diringkas pada tujuan mengapa Islam datang dan lantaran demi Islam Imam Husain mengorbankan jiwa dan raganya, serta keluarganya. Imam Husain karena tujuan yang lebih menjulang ini mengorbankan segalanya. Tujuan inilah yang ingin dicapai oleh Imam sehingga rela berkorban jiwa dan raga, menyerahkan segalanya, anak, keluarga, sahabat dan para pengikut setianya. Dengan semua ini, Imam Husain tetap memanjatkan puji syukur kepada Allah Swt dan bermohon keridhaan Allah Swt. Hal ini tentu saja merupakan kebanggaan dan kehormatan bagi Syiah karena memiliki imam pejuang dan pengusung kebebasan seperti ini.
Oleh karena itu, dari tema syahadah, menghidupkan nilai-nilai insani dan Ilahi, amar makruf dan nahi mungkar, penentang tirani dan penegak keadilan (ansich) kita menanjak lebih tinggi lagi dan tujuan yang melalui media ini lebih dalam ditelusuri dan dijelajahi. Dimana kebanyakan orang hanya bertumpu pada subjek ini dan berhenti di halte ini. Dengan demikian, konstruksi pemikiran sejatinya kembali kepada konstruksi pemikiran tauhid yang menjadi dalih Imam Husain siap menjemput maut.
Apabila kita mampu menerima rekonstruksi pemikiran asyura seperti ini dan beralih dari tingkatan acara seremonial, pada tradisi, pensucian, pembacaan narasi maqtal, deklamasi puisi, senandung sendu dalam kidung sedih dan menyayat hati kepada tataran pemikiran untuk apa Imam Husain berkorban dan memilih untuk syahid, maka kita mampu menangkap pesan Asyura tahun ini dan merekonstruksi nilai-nilai perenial dan universal yang tertimbun di dalamnya. Dengan bercermin pada nilai-nilai Asyura ini, saya kira proyek rekayasa sosial (reformasi bukan revolusi) dapat kita canangkan dalam kehidupan keseharian kita. Sebuah proyek yang kini tetap aktual dan sering menjadi komoditas politik dan sosial masyarakat hari ini. Saya pikir tidak berlebihan jika kita menggali nilai-nilai sosial dan moral Asyura untuk mengantarkan bangsa ini kepada kehidupan yang berwarna Ilahiah yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan.
Wallahu ‘Alim.