Indonesian
Saturday 27th of April 2024
0
نفر 0

Tauhid Dzat dalam Tinjauan Riwayat

Tauhid Dzat dalam Tinjauan Riwayat

Tauhid Dzat dalam Riwayat  

Diantara riwayat-riwayat dari Rasulullah Saw, terungkap juga ucapan agung dan tinggi tentang masalah tauhid dzat. Sebagai contoh, Nabi mulia Saw dalam menjelaskan tentang makrifat Tuhan bersabda : “Hendaklah kamu mengetahui bahwa Dia tidak mempunyai mitsal dan serupa dan hendaklah kamu mengetahui Dia adalah Tuhan yang Esa, pencipta, kuasa, awal, akhir, zahir, dan batin, tidak ada yang sekufu denganNYa dan tidak ada yang semitsal denganNya; ini adalah makrifat Tuhan yang layak bagi-NYa”

Nabi Saw dalam hadits mulia ini, pertama menegaskan ketakserupaan (ketaksetaraan)  Tuhan dan setelah itu menyebutkan sebagian dari sifat-sifat afirmatifNya.  Lantas berikutnya beliau kembali kepada masalah tauhid dengan menjelaskan   Tuhan suci dan bersih  dari kesetaraan dan keserupaan.

Amirul mukminin Ali as juga ketika  dalam peperangan Jamal ditanya oleh seseorang tentang tauhid, beliau mengisyaratkan empat makna untuk tauhid dan  melihat hanya dua makna yang layak untuk maqam ketuhanan: “Adapun dua bagian dari tauhid yang (pemutlakannya) tidak boleh bagi Tuhan, salah satunya adalah bahwa seseorang berkata: Tuhan adalah satu dan maksudnya adalah satu angka. Jenis satu ini adalah tidak layak bagi Tuhan; sebab apa yang tidak mempunyai yang kedua, dia tidak masuk dalam angka (dan Tuhan tidak mempunyai yang kedua). Lainnya adalah bahwa seseorang berkata: Tuhan adalah satu dari (jenis) golongan masyarakat dan maksudnya adalah sejenis dari genus. Jenis satu ini juga tidak layak bagi Tuhan; sebab hal ini meniscayakan keserupaan. Adapun dua bagian yang tetap untuk Tuhan adalah seseorang berkata: Dia adalah satu dan diantara sesuatu Ia tidak mempunyai keserupaan. Ya, Tuhan adalah demikian. Dan yang kedua adalah seseorang berkata: Tuhan adalah “ahadiyyul makna” dan maksudnya adalah Dia tidak menerima pembagian dalam wujud, akal, dan imajinasi. Ya, Tuhan adalah juga demikian”.

Sebagimana yang kita lihat Amirul Mukminin tidak memandang dua bagian dari pembagian “ke-satu-an” layak untuk maqam ketuhanan dan tidak membenarkan perelasian dua macam kesatuan tersebut pada Dzat Tuhan :

Bagian pertama, kesatuan angka. Dan dalil penafiannya adalah bahwa satu angka memiliki angka dua, angka tiga dan seterusnya, dan atau paling minimal memungkinkan keberadaan kedua untuknya; sementara tidak ada kemungkinan dikonsepsi sesuatu yang kedua untuk Tuhan.

Bagian kedua, kesatuan yang mana sesuatu disifati dengannya dalam perbandingan dengan kebersamaannya   dalam specis atau genus. Dalam hal ini kita mempunyai pemahaman specis atau genus  tertentu yang dipredikasikan disamping atas obyek yang menjadi tinjauan, juga dipredikasikan atas obyek-obyek lain (seperti Joko yang dipandang sebagi seorang manusia atau  sebagai hewan). Jenis kesatuan ini juga ternegasikan dari Tuhan; sebab keniscayaannya adalah kita juga meninjau bagiNya keserupaan dengan obyek-obyek yang bersekutu denganNya dalam specis atau genus, dan perkara ini tidak lain kecuali adalah  penyerupaan Tuhan dengan selainNya.

Selanjutnya beliau mengungkap dua jenis kesatuan yang boleh dipredikasikan untuk Tuhan. Dengan merenungi kalimat tersebut maka menjadi jelas bahwa dua jenis kesatuan ini, meninjau pada dua sisi yang telah kami sebutkan dalam tauhid dzat; yakni ketaksetaraan Dzat Tuhan dan ketakberangkapan Dzat Tuhan. Kalimat: “Tidak ada bagiNya keserupaan dalam sesuatu”, meninjau pada sisi pertama; yakni bahwasanya Tuhan tidak memiliki keserupaan dan kemitsalan; dan kalimat: “Sesungguhnya Tuhan adalah ahadiyyul makna”, menjelaskan sisi yang kedua, yakni simplisitas dan ketakberangkapan DzatNya. Yang mengagumkan adalah bahwasanya Amirul Mukminin dengan suatu metode mengisyaratkan pada bagian-bagian rangkapan: Secara lahir maksud dari pembagian dalam wujud adalah pembagian dalam rangkapan luar dan maksud dari pembagian dalam akal juga adalah rangkapan akal (seperti terangkapnya sesuatu dari wujud dan mahiyah). Pembagian imajinatif juga masuk pada proporsi dimana sesuatu tidak mempunyai bagian-bagian secara aktual. Dengan bantuan potensi imajinasi, kita dapat membagi sesuatu seperti pembagian zaman dengan bagian-bagian yang diasumsikan.

Apapun bentuk penafsiran, beliau memandang bahwa tauhid dzat bermakna menegasikan setiap bentuk sekutu dan serupa serta juga menafikan setiap bentuk rangkapan dari Dzat Tuhan, karena itu beliau memandang bahwa makna demikian ini layak bagi Tuhan.

Amirul mukminin di tempat lain secara jelas mengingkari kesatuan angka bagi Tuhan : “(Tuhan) adalah tunggal yang ketunggalanNya bukan angka dan Dia adalah abadi yang wujudNya tidak mempunyai akhir”

Diriwayatkan dari Jakfar Shadiq bahwa  seorang sahabat beliau bertanya tentang makna “Allahu akbar”. Orang itu berkata : “Tuhan lebih besar dari segala sesuatu”.  Beliau berkata :“Apakah disamping Tuhan ada sesuatu sehingga Tuhan lebih besar darinya?” Ketika itu beliau sendiri yang menjelaskan makna “Allahu akbar” seperti ini : “Tuhan lebih besar dari apa yang disifatkan (terhadapNya)”

Tidak diragukan, beliau dalam ungkapan ini mengisyaratkan salah satu dari  paling dalamnya tingkatan-tingkatan tauhid: yakni makna tauhid murni  dimana kesatuan hakiki, wujud mutlak, dan ketakterbatasan Tuhan secara mendasar tidak menyisakan tempat untuk membandingkan Dia dengan makhluk-makhlukNya; sebab setiap bentuk perbandingan mengandung penyerupaan Tuhan dengan selainNya. Karena itu, tauhid murni memestikan bahwa Tuhan suci dan bersih dari setiap bentuk penyifatan, sebab penyifatan itu sendiri  meniscayakan penyerupaan.

0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Berguru pada Seorang Budak
4 Tingkatan Kesucian dan Kebersihan
Riba
Akhlak dan Ilmu Akhlak
Antara Perempuan, Tangisan dan Jihad Hawa Nafsu
Dosa yang Mendatangkan Dosa Lain
Peran Perempuan dalam Kebangkitan al-Husain as (Bagian Kedua)
Isa Al-Masih akan Turun dan Shalat di Belakang Imam Mahdi (af)
MENGENAL NAFS (I)
Dengan siapakah Habil dan Qabil menikah?

 
user comment