Apakah manusia dalam perbuatannya memiliki pilihan? Bila benar, sejauh manakah batas pilihannya tersebut?
Jawaban Global
Dalam hidup ini, seringkali kita temukan diri kita di jalanan seorang sendiri dan merasa asing. Perjalanan yang tidak ada pilihan bagi kita selain bergerak maju. Jalan urusan-urusan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam kehidupan kita; yakni persoalan-persoalan seperti suku, bangsa, keluarga, postur tubuh dan sebagainya. Tetapi sebaliknya, dalam kehidupan ini tidak jarang juga kita merasa bingung dalam menghadapi jalan-jalan yang cukup memusingkan. Pertanyaan awal yang muncul dalam pikiran kita adalah, apa yang harus kita kerjakan? Dan jalan mana yang harus kita pilih?
Benar, lafaz-lafaz seperti yang mana, mengapa, apa? Secara baik menunjukkan pilihan kita.
Adapun yang berhubungan dengan wilayah pilihan manusia, harus dikatakan bahwa, kita bukan sebagai kausa sempurna dalam merealisasikan perbuatan-perbuatan kita sendiri, dan tidak juga tanpa peran terpaksa sama sekali. Tetapi walau bagaimanapun, dari semua syarat, pendahuluan dan sebab bagi terwujudnya sebuah pekerjaan, kita adalah sebagai sebab yang tidak sempurna. Tetapi sekiranya sebab tidak sempurna tersebut -yakni; pilihan dan keinginan kita dalam suatu perbuatan- tidak ada, maka perbuatan kita itu tidak akan membuahkan hasil.
Jawaban Detil
Sebuah perbuatan yang dikerjakan oleh manusia, merupakan dinamika penciptaan alam, penomenanya sebagaimana yang terdapat pada setiap penomena alam, yakni sangat tergantung kepada sebab. Mengingat bahwa manusia merupakan bagian dari dunia ciptaan serta memiliki relasi dengan bagian-bagian lain yang terdapat dalam, maka perbuatannya itu bukan tanpa efek.[1] Misalnya sepotong roti yang disantap oleh seseorang, maka untuk melakukan pekerjaan ini diperlukan berbagai sarana seperti tangan, kaki, mulut, ilmu, kuasa dan keinginan. Di samping itu juga sepotong roti harus ada dalam jangkauannya dan tanpa penghalang. Begitu juga diperlukan kondisi-kondisi lain seperti waktu dan tempat demi terwujudnya pekerjaan tersebut. Apabila salah satu dari dari syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, maka pekerjaan itu tidak akan terlaksana. Dengan tersedianya semua syarat (terwujudnya kausa sempurna), maka pasti pekerjaan itu akan terlaksana.[2] (kausa sempurna ialah terpenuhinya seluruh sebab dan syarat untuk terlaksananya sebuah pekerjaan atau terciptanya sesuatu).
Sekarang, Tuhan sebagai pemiliki kita semua, menginginkan bahwa manusia dalam pekerjaan-pekerjaan yang ia pilih, dengan keinginannya sendiri menjadi sumber efek; yakni, apbila untuk terwujudnya suatu kejadian diperlukan lima syarat dan sebab, maka salah satu sebab tersebut adalah pilihan dan keinginan manusia. Misalnya untuk menyalakan sebuah lampu harus terpenuhi seluruh fasilitasnya serta dalam kondisi baik dan normal. Di antaranya adalah adanya stop kontak, kabel, lampu, tersambungnya kabel ke pusat listrik serta adanya aliran listrik di dalam kabel. Salah satu sebab menyalanya listrik adalah dengan menekan stop kontaknya. Di dalam perumpamaan ini dalam setiap pekerjaan yang kita pilih, ketika seluruh syarat telah tersedia, menekan kunci adalah merupakan pilihan dan kehendak kita. Dan Tuhan menginginkan apabila seseorang tidak mau menekan stop kontak listrik tersebut, lampu itu tidak akan menyala (hal ini dalam aktifitas ikhtiyari). Kemestian terwujudnya suatu perbuatan sehubungan dengan keseluruhan sebab sempurna, tidak bertentangan dengan seseorang yang merupakan bagian dari sebab sempurna. Pada contoh di atas telah jelas bahwa apabila seluruh syarat dan sebab itu telah terpenuhi, maka lampu itu akan menyala dan dapat menerangi. Akan tetapi apakah menekan stop kontak yang dilakukan oleh seseorang itu merupakan keharusan ataukah tidak (yakni hanya sekedar potensi)? Jawabannya jelas dan terang, apabila seseorang menginginkan menekan stop kontak, maka seluruh sebab dan syarat itu menjadi terpenuhi dan lampu pun akan menyala. Demikian halnya apabila ia tidak menginginkannya, maka ia hanya sekedar potensi saja. Jelaslah bahwa ada dan tidak adanya keinginan seseorang dalam perbuatannya itu bersifat imkan (mungkin) dan bukan merupakan ijbari (paksaan). Dengan demikian, adanya seseorang, imkan (potensi); yakni adanya pilihan dalam berbuat dan terealisasinya suatu perbuatan ketika sebab sempurna telah terpenuhi, tidaklah menyebabkan kelaziman suatu perbuatan, karena manusia merupakan salah satu dari sebab-sebab tersebut.
Orang-orang yang berpikiran sederhan pun akan menerima pandangan ini. Karena kita menyaksikan bahwa manusia dengan potensi yang diberikan oleh Tuhannya mampu membedakan antara makan dan minum, pergi dan datang, serta di antara sehat atau sakit, besar dan kecil. Bagian pertama memiliki hubungan langsung dengan keinginan dan pilihan manusia. Dengan adanya ikhtiar tersebut, ia bisa diperintah, dilarang, dipuji dan dikecam. Berbeda dengan bagian kedua yang memang tidak berhubungan dengan kewajibannya sama sekali.
Dalam mazhab Ahlusunnah sehubungan dengan perbuatan manusia, terdapat dua mazhab yang terkenal. Sebuah kelompok meyakini bahwa perbuatan manusia itu tidak akan keluar dari keinginan Tuhan. Menurut mereka, manusia determinis dalam perbuatannya dan sama sekali tidak memiliki keinginan dan ikhtiar. Kelompok lainnya meyakini bahwa manusia mandiri dalam perbuatannya dan tidak berhubungan sedikitpun dengan kehendak Tuhan dan keluar dari batasan ketentuan Tuhan. Namun, berdasarkan ajaran Ahlulbait Rasulullah Saw, sedemikian selaras dengan teks al-Qur’an. Yaitu bahwa manusia dalam perbuatannya memiliki pilihan, tetapi tidak mandiri melainkan Allah Swt menginginkan itu terjadi pada manusia dengan pilihan keinginan mereka sendiri. Dengan kata lain, Allah Swt -dengan melalui keseluruhan sebab sempurna yang salah satunya adalah keinginan dan pilihan manusia- menghendaki terealisasinya suatu perbuatan sebagai sebuah kelaziman. Yakni, bahwa suatu perbuatan dengan keseluruhan bagian sebabnya adalah merupakan sebuah keniscayaan. Sedangkan manusia dengan ikhtiar dan kehendaknya adalah merupakan sebuah potensi dan bersifat imkan.[3]
Buku-buku penting yang membahas masalah ini di antaranya:
Insân Syenâsi, Mahmud Rajabi bagian 5 dan 6
Amuzesy-e Falsafeh, Taqi Misbah Yazdi, jil, 2 pelajaran 69
Adl Ilahi, Murtadha Mutahari.
[1] . Sebab, sebagai syarat terwujudnya akibat, mencukupi wujudnya sendiri. Sedangkan wujud akibat tidak bisa mencukupi dirinya sendiri. Dengan kata lain, dengan mengasumsi realitasnya sebagai wujud akibat yang esensial
[2] . Syi’ah dar Islam, Allah Thabathabai, hal.79
[3] . Ibid, hal.79
source : islamquest