Oleh : Najib Al-Idrus
Persoalan kenabian merupakan persoalan agama. Ketika kita mengkaji filsafat kenabian, maka perlu kita pahami bahwa kajian ini termasuk dalam ranah keagamaan. Benar, konsep kenabian hanya diakui oleh agama. Prinsipnya, nabi adalah manusia pembawa berita langit yang berbicara atas nama Tuhan.
Namun pertanyaannya, apakah setiap orang yang berbicara atas nama Tuhan itu adalah seorang nabi? Atau, apakah seorang nabi itu adalah saat berbicara, dia menyatakan bahwa Tuhan telah mengutus dan memerintahkannya untuk menyampaikan pesan kepada umat manusia?Dari sini, terdapat beberapa persoalan filosofis, yaitu: Pertama, konsep kenabian sekaitan dengan filsafat ketuhanan. Mestikah Tuhan mengutus para nabi? Dan, apakah kemestian ini terkait dengan keadilan Ilahi ataukah sifat kesempurnaan-Nya? Dalam tulisan singkat ini, kami akan menyinggungnya secara sekilas, kendati bukan merupakan masalah pokok. Sebab, filsafat ketuhanan berkait-erat dengan filsafat kenabian.
Kedua, filsafat kenabian. Yaitu sebuah konsep yang terkait dengan kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini yang patut ditinjau adalah apakah masyarakat manusia memerlukan nabi, sehingga meniscayakan Tuhan mengutus manusia-manusia pilihan ke tengah masyarakat? Sekaitan dengan pribadi nabi, adakah bukti bahwa dia benar-benar utusan Tuhan? Apasaja kriteria, fungsi, dan tugas seorang nabi?
Tujuan Penciptaan Manusia
Manusia merupakan makhluk paling sempurna di antara semua ciptaan Allah Swt. Saat manusia diciptakan, Allah memerintahkan kepada seluruh malaikat untuk bersujud kepadanya. Ini menandakan keagungan dan kemuliaan penciptaan manusia. Selain kemuliaan dalam proses penciptaannya, keistimewaan manusia dapat ditinjau dari tujuan penciptaannya. Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ayat di atas menyatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah beribadah kepada Allah Swt. Yang dimaksud beribadah di sini adalah menjadikan diri sebagai hamba sahaya-Nya. Pengertian ini biasa disebut dengan ‘ubudiyyah. Sedangkan ibadah merupakan ritual keagamaan dalam proses menghamba kepada-Nya. Ibadah bukanlah tujuan penciptaan manusia, melainkan sarana untuk mencapai peringkat ‘ubudiyyah.
Ya, makna ibadah dan ‘ubudiyyah itu berbeda. Kecenderungan ibadah terpatri kuat dalam fitrah manusia. Tanpa agama dan perintah Tuhan pun, kecenderungan ini tetap eksis dalam jiwa manusia. Ibadah manusia bergantung pada sehat dan sakitnya fitrah. Semakin sehat fitrah seseorang, kian kuat pula kecenderungannya untuk beribadah. Begitu pula sebaliknya.
‘Ubudiyyah bermakna menjadikan diri sebagai hamba sahaya Allah Swt dan benar-benar menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Oleh karena itu, ‘ubudiyyah sebagai tujuan penciptaan manusia selalu didasari oleh perintah-perintah Ilahi.
Dalam ‘ubudiyyah, sangat mungkin ibadah manusia dilatari oleh nafsu. Demikianlah ibadah Iblis. Manakala diperintah Tuhan untuk bersujud di hadapan Nabi Adam, Iblis membangkang, bahkan dengan sikap congkak. Tak cuma di situ, Iblis malah berdalih bahwa dirinyalah yang terbaik. Begitulah sikap beribadah yang ditopang hasrat dan nafsu pribadi, bukan untuk mereguk keridhaan Allah.
‘Ubudiyyah, Proses menuju Kesempurnaan
Allah Swt adalah Tuhan yang Maha Sempurna. Bukti kesempurnaan-Nya adalah keberadaan-Nya yang tanpa diciptakan. Dengan kesempurnaan-Nya, Dia Swt mencipta segala sesuatu. Dasar penciptaan Allah Swt bukan maslahat atau madarat. Sebab, Dia Swt tidak berkepentingan untuk meraih sesuatu atau berupaya menjauhkan diri dari bahaya. Allah Swt mencipta berdasarkan kesempurnaan. Dan segela sesuatu tercipta untuk meraih kesempurnaan.
Secara alami, semua keberadaan di alam semesta ini bergerak menuju kesempurnaannya masing-masing. Benda-benda mati, tumbuh-tumbuhan, beragam binatang, dan manusia, secara alami dan sesuai dengan kapasitas keberadaannya, bergerak menuju kesempurnaan penciptaan.
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49)
Manusia tercipta untuk meraih kesempurnaan manusiawi. Yaitu kesempurnaan yang mempertegas statusnya sebagai manusia. Di antara kesempurnaan manusiawi itu adalah kecenderungan terhadap kebenaran dan kebencian terhadap kebatilan; mendamba tegaknya keadilan di muka bumi dan menentang setiap bentuk penindasan; membela kaum yang lemah dan menentang tirani yang sewenang-wenang; serta kesempurnaan manusiawi lainnya.
Karakteristik manusia berbeda dengan karakteristik binatang. Secara alami, binatang adalah makhluk yang mementingkan diri sendiri dan tidak peduli terhadap selainnya. Umpama, segerombolan srigala ketika hendak memangsa buruannya, menjalin kerja sama di antara mereka untuk memangsa hewan buruan itu. Namun ketika berhasil menangkap mangsanya, mereka saling berebut untuk mendapatkan bagian masing-masing. Secara alami, binatang memiliki sifat mementingkan diri sendiri. Sedangkan manusia, tercipta sebagai makhluk homogen yang terkait satu sama lain dan saling membutuhkan. Oleh karenanya, manusia yang hidupnya hanya memikirkan diri sendiri dan berbuat untuk kepentingan pribadinya, dia memiliki karakter yang sama dengan binatang dan keluar dari batas kesempurnaan manusiawinya.
‘Ubudiyyah (penghambaan kepada Allah Swt) merupakan jalan yang mengantarkan manusia kepada kesempurnaan manusiawi. Dalam proses ‘ubudiyyah, manusia dituntut untuk membakar sifat-sifat buruknya dengan api cinta Ilahi. Semakin besar api cinta Ilahi yang menyala di hati seorang hamba, kian besar pula keburukan yang terkikis dari hati dan jiwa manusia. Begitu pula sebaliknya, jika api cinta Ilahi meredup atau bahkan padam, maka sifat-sifat buruk akan menguasai dan menghancurkan jiwa manusia. Dengan demikian, manusia akan mengalami kegagalan dalam prosesnya menuju kesempurnaan.
Benar, penghambaan kepada Allah Swt merupakan proses penghancuran penyembahan diri sendiri menjadi penyembahan kepada Allah Swt; dan dari penyembahan berhala (syirik) menjadi penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid). Ini seperti kayu yang terbakar oleh api dan kemudian berubah menjadi hakikat yang baru, yaitu abu. Demikian pula dengan seorang hamba yang membakar sifat-sifat buruknya dengan api cinta Ilahi, maka jiwanya akan berubah dan menyandang sifat-sifat mulia kemanusiaan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ‘ubudiyyah merupakan perubahan dari batas-batas kebinatangan menuju batas-batas kemanusiaan. Dan perubahan ini terjadi secara substansial, bukan sekedar perubahan esensial. Artinya, manusia mengalami perubahan dari satu hakikat ke hakikat lain yang berbeda dengan sebelumnya. Ini bukan seperti perubahan air yang dingin menjadi panas. Memang, telah terjadi perubahan pada air tersebut, tetapi hanya perubahan permukaan saja tanpa merubah hakikat air itu. Adapun perubahan kayu yang terbakar oleh api menjadi abu merupakan proses perubahan substansial yang mengubah sebuah hakikat menjadi hakikat yang lain.
‘Ubudiyyah mampu menciptakan perubahan substansial dikarenakan manusia menghancurkan kehendak diri (an-nafs) dan hasrat hawa nafsu, kemudian menggantikannya dengan kehendak Ilahi. Dalam proses ‘ubudiyyah, seorang hamba bergerak menuju kesempurnaan dan tujuan penciptaannya berdasarkan kehendak dan perintah Ilahi. Dalam sebuah munajatnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Tuhanku, sungguh di hadapan-Mu aku tidak mempunyai kehendak apapun kecuali satu kehendak, yaitu memenuhi kehendak-Mu.”
Begitulah, manusia mampu mencapai kesempurnaan ketika dia mampu mendahulukan keinginan Tuhan Sang Pencipta melebihi keinginannya. Sebab, kehendak Ilahi adalah kesempurnaan. Sedangkan kehendak manusia bersumber dari kekurangan dan kepentingan.
Dalam pada itu, nilai ibadah bukan terletak pada pelaksanaannya. Bisa saja seorang manusia menjalankan ritual ibadah berdasarkan hasrat dan kepentingan nafsunya. Artinya, dia menjalankan ibadah ketika perintah Ilahi selaras dengan hasrat dan kepentingan pribadinya. Namun, saat dia merasa perintah Ilahi bertentangan dengan hasrat atau bahkan merugikan kepentingannya, maka dia enggan menjalankan perintah Ilahi.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Iblis telah beribadah selama 6.000 tahun. Namun tatkala Allah Swt memerintahkan kepadanya untuk bersujud di hadapan Nabi Adam as, dia menolak dan bersikap sombong. Kesombongan Iblis ini menandakan bahwa selama itu, dia beribadah kepada Allah Swt lantaran perintah Ilahi itu sesuai dengan hasrat dan nafsunya. Namun tatkala dia merasa bahwa perintah Allah Swt bertentangan dengan kepentingannya, maka dia pun mengabaikannya. Dia tidak beribadah berdasarkan keinginan untuk mematuhi perintah Ilahi.
Dalam ‘ubudiyyah, perbuatan seorang hamba harus berlandaskan pada upaya untuk mematuhi perintah Allah Swt. Jadi, nilai ibadah terletak pada kepatuhan terhadap perintah Ilahi, bukan pada pelaksanaan ritual ibadah tersebut.
Urgensi Kenabian
Berdasarkan ketetapan Ilahi, semua keberadaan mengalami perubahan dan perkembangan menuju kesempurnaan. Secara alami, benih yang ditanam berproses menjadi kecambah, tanaman kecil, pohon besar, dan pada akhirnya berbuah. Puncak kesempurnaan pohon adalah ketika dia memberikan buah-buahan segar.Sperma mengalami perubahan menjadi segumpal darah, segumpal daging, tulang-belulang, bentuk janin, hingga akhirnya terlahir menjadi bayi yang sempurna. Fenomena ini berlaku pada seluruh keberadaan di alam semesta ini.
Ya, semua keberadaan bergerak menuju kesempurnaan masing-masing secara alami. Tiap makhluk mengetahui jalan dan cara mencapai tujuan penciptaannya. Manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang tidak memiliki ikhtiar (pilihan) dalam menempuh proses perubahan menuju kesempurnaan. Manusia mampu memilih tujuan hidupnya yang dianggap sebagai kesempurnaan. Manusia bebas menentukan pilihannya dalam meraih tujuan. Dia menggali tanah demi mendapatkan air. Dia mengais rezeki demi mendapatkan makanan enak. Dia melakukan eksperimen untuk mengetahui hukum-hukum alam yang berlaku. Adapun keberadaan yang lain bergerak menuju kesempurnaan penciptaannya tanpa harus mengatur rencana dan strategi dalam meraihnya.
Atas dasar itu, agar manusia mampu meraih tujuan penciptaannya, dia harus menggunakan kebebasan pilihannya dengan tepat. Manusia mesti menyeimbangkan hubungan antara hukum alam dan tujuan. Prinsip inilah yang mengatur dan menyelaraskan ikhtiar manusia. Tujuan penciptaan manusia tidak mungkin tercapai dengan sendirinya. Setiap manusia menentukan tujuannya sesuai dengan tuntutan kepentingan dan kebutuhannya. Kebutuhan manusia diciptakan oleh situasi dan lingkungan yang dialaminya. Namun keduanya (situasi dan lingkungan) tidak mampu menggerakkan manusia secara langsung sebagaimana angin menggugurkan dedaunan. Jika demikian, hal ini akan memandulkan fungsi manusia sebagai keberadaan yang memiliki pilihan (ikhtiar).
Begitulh, manusia akan bergerak meraih sebuah tujuan apabila dia menyadari adanya kepentingan. Namun, tidak setiap kepentingan akan diwujudkan oleh manusia. Terdapat dua kepentingan manusia, yaitu: kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Pada umumnya, kepentingan jangka pendek mendatangkan manfaat secara individual. Sedangkan kepentingan jangka panjang, kebanyakan manfaatnya terkembali kepada masyarakat manusia.
Terkadang, dalam diri manusia terjadi pertentangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial. Manakah yang patut didahulukan? Patutkah seorang manusia mengorbankan kepentingan sebuah masyarakat demi kepentingan pribadi? Dalam situasi seperti ini, terkadang sulit bagi manusia untuk menentukan pilihannya secara tepat. Jika manusia lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan banyak orang, maka akan melahirkan kekacaun pada aturan sosial. Sebab, tujuan hidupnya adalah mengejar kepentingan pribadi.
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar Ruum: 41)
Kerusakan di muka bumi disebabkan oleh ulah manusia yang menjadikan kepentingan pribadi sebagai tujuan hidupnya dengan cara mengorbankan kepentingan sosial.
Oleh karenanya, masyarakat manusia membutuhkan aturan dan undang-undang, lantaran adanya benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial. Manusia merupakan makhluk sosial dan membutuhkan undang-undang untuk mengatur hubungan sosial serta beragam urusan hidupnya, agar tidak terjadi silang pendapat, pertikaian, benturan, dan kezaliman di antara anggota masyarakat, serta demi menjaga kepentingan individu dan sosial.
Dalam pada itu, undang-undang tidak mungkin dapat terlaksana dengan sendirinya. Hanya dengan adanya undang-undang, persoalan sosial atau individual apapun tak akan dapat terselesaikan. Oleh karena itu, setiap undang-undang niscaya memerlukan sosok pelaku yang mampu menjamin pelaksanaan, penegakan, dan penerapannya secara sempurna, serta tegaknya keadilan di atas basisnya.
Kebutuhan kepada sosok yang adil dan bijaksana yang mampu menerapkan undang-undang di tengah masyarakat, merupakan keniscayaan bagi umat manusia. Dari sinilah nampak nilai penting seorang nabi dan rasul. Yaitu pribadi-pribadi pilihan Allah Swt yang mempunyai misi untuk menerapkan dan menjalankan aturan di tengah masyarakat manusia. Para nabi dan rasul diutus untuk menjaga aturan dan menegakkan keadilan di tengah masyarakat.
Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksana-kan keadilan.” (al-Hadid: 25)
Fadhl bin Syadzan meriwayatkan bahwa Imam Ali bin Musa ar-Ridha—salam sejahtera bagi keduanya—menjelaskan tentang penyebab penetapan ulil amr (pemimpin manusia) dan adanya perintah untuk mematuhinya.
Beliau berkata, “Mungkin seseorang bertanya, ‘Mengapa Allah menetapkan pemimpin masyarakat dan memberikan perintah untuk mematuhi mereka?’ Jawabannya dikarenakan banyak sebab. Antara lain:
Ketika seseorang berdiri di hadapan sebuah garis-batas dan diperintahkan untuk tidak melanggar batas itu lantaran akan membahayakannya, maka perintah itu tidak akan dan tak dapat tegak, kecuali jika Allah Swt menetapkan baginya sosok terpercaya yang mampu mencegahnya melanggar batas dan memasuki kawasan berbahaya. Kalau tidak begitu, niscaya manusia tidak akan meninggalkan kesenangan dan kepentingannya dengan mengganggu orang lain. Oleh karenanya, Allah Swt menetapkan baginya sosok penegak hukum yang mampu mencegahnya berbuat kerusakan serta sanksi dan hukum di tengah manusia.
Kita tidak mendapati suatu ajaran atau aliran mana pun yang tetap langgeng dan bertahan hidup, kecuali dengan adanya penegak hukum dan pemimpin yang dipercaya untuk mengatur urusan agama dan kehidupan dunia. Kebijakan Tuhan Yang Mahabijak tidak memperkenankan-Nya membiarkan para makhluk tidak mendapatkan apapun yang menjadi kemestian baginya dan kehadiran seorang penegak hukum di antara mereka. Sehingga dengannya, mereka mampu memerangi musuh bersama dan mendapat bagian rampasan perang darinya. Sang penegak hukum itu menyatukan barisan, mempersatukan mereka, dan mencegah penindas menganiaya kaum tertindas.
Apabila Allah Swt tidak menetapkan pemimpin yang berani menegakkan hukum, terpercaya, dan benar-benar menjaga amanat, niscaya umat manusia akan binasa, agama bakal lenyap, sunah-sunah (ajaran nabi) dan hukum-hukum Allah berubah, kaum pembuat bid’ah kian bertambah banyak, dan kaum ateis semakin berpeluang menganggap agama punya cacat sehingga merasa leluasa menghujat kaum muslimin.
Kita menjumpai kenyataan bahwa makhluk itu serba kekurangan, amat membutuhkan, dan tidak sempurna, disertai adanya perbedaan penciptaan dan hasrat serta ragam kondisinya. Seandainya Allah tidak menetapkan seorang penegak hukum yang menjaga amanat sebagaimana yang disampaikan Rasulullah saw, niscaya aturan agama, hukum, dan keyakinan akan berubah. Dalam kondisi septi itu, seluruh makhluk akan mengalami kerusakan.”
(‘Ilal al-Syarayi’, hal. 253; Bihar al-Anwar, jil. 6, hal. 60)
Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS. Al-Mulk: 3-4)
Ayat ini menegaskan bahwa dalam ciptaan Ilahi terdapat keseimbangan. Namun darimana keseimbangan perciptaan terjadi? Realitas menunjukkan ciptaan yang sangat beragam. Kita saksikan banyaknya perbedaan dalam ciptaan Ilahi. Dari sisi unsur, setiap ciptaan mengandung beragam unsur yang berbeda-beda. Dari sisi fisik, terdapat benda cair, benda padat, dan gas. Benda padat ada diam tak berkembang dan ada yang tumbuh berkembang. Ciptaan yang tumbuh berkembang ada yang bergerak dan ada pula yang diam di tempat. Di samping itu, setiap eksistensi atau jenis juga beragam. Benda cair memiliki keberagamannya yang khas. Demikian pula dengan benda padat, gas, dan lain sebagainya. Ciptaan yang tumbuh bergerak juga beragam. Keberagaman ini nyata. Lantas apa maksud Allah Swt bahwa manusia tidak akan menemukan adanya perbedaan dalam penciptaan?
Dalam konsep tauhid, terdapat sebuah kesimpulan bahwa Allah Swt dengan ahadiyah dan wahidiyah-Nya, menjadikan seluruh ciptaan tanpa terkecuali berasal dari-Nya dan bergantung mutlak pada-Nya. Tidak ada satupun makhluk yang mandiri di hadapan kekuasaan Allah Swt.
Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.” (QS. Al-Baqarah:26)
Tidak ada perbedaan ketergantungan pada Allah, sang Pencipta bagi keberadaan yang terkecil atau keberadaan yang terbesar sekalipun. Tak satupun makhluk yang lepas dari perhatian Dia. Dari sudut pandang inilah tidak ada perbedaan di antara ciptaan. Meskipun dari sisi yang lain, realitas keberadaan makhluk memiliki jutaan bahkan milyaran perbedaan. Manusia merupakan makhluk yang paling banyak memiliki perbedaan dibandingkan makhluk lainnya. Di antara manusia tidak hanya terjadi perbedaan secara fisik, warna kulit, bahasa, kulutur dan budaya, namun mereka juga berbeda dalam keinginaan, karakter, pandangan hidup, dan segala bentuk perbedaan lainnya. Meskipun demikian, pada dasarnya manusia memiliki kesamaan dalam fitrah. Tidak ada manusia yang ingin bodoh. Tidak ada manusia yang ingin hidup menderita. Tidak ada manusia yang ingin hidup dalam kekurangan dan kemiskinan. Semua manusia berharap untuk mencapai kesempurnaan, hidup dengan aman dan terneteram, mendapatkan kebahagiaan, dan berbekal ilmu pengetahuan. Pada dataran ini, semua manusia sama. Mereka beranggapan bahwa bahwa mereka akan beruntung jika mereka mencapai kesempurnaan dan terhindar dari segala kekuarangan.
Akan tetapi, adanya perbedaan dalam pemikiran, karakter, genetika, dan kultutr, meniscayakan manusia berbeda pandangan dalam mengejar nilai kesempurnaan dan keberuntungan. Di dalam realitas kehidupan manusia , kita menyaksikan keberagaman dalam pandangan hidup. Manusia berbeda alam mengartikan hakikat kebahagiaan dan keberuntungan. Kaum materialis beranggapan bahwa manusia akan beruntung jika semua keinginannya terpenuhi tanpa peduli hal itu melanggar norma ataukah tidak. Lebih khusus lagi, Dr. Freud, psikolog Perancis, sekaitan dengan kebutuhuan biologis, berpendapat bahwa seseorang akan beruntung jika dia mampu memenuhi kebutuhan bilogisnya. Sehingga dia beranggapan pernikahan sebagai penghalang untuk memuaskan kebutuhan biologis. Dalam pandangannya, Dr. Freud menganjurkan gaya hidup seks bebas agar manusia meraih kebahagiaan dalam hidupnya.
Sekaitan dengan konsep kebahagiaan manusia, terdapat pandangan ekstrim lainnya yang dikemukakan oleh kelompok idealis, kaum brahmana, pendeta, dan sufi. Mereka beranggapan bahwa realitas fisik merupakan penghalang kesempurnaan dan pencapaian maqam spiritual. Perjalanan spiritual yang merupakan inti kemanusiaan akan terhambat oleh faktor-faktor fisik dan biologis. Atas dasar itu, faktor fisik dan bilogis harus dilemahkan dan ditekan. Pada dataran praktisnya, penganut pemikiran ini menggunakan cara penghentian kebutuhan biologis baik dari sisi makanan, pakaian, dan seksual. Mereka menghentikan semua hal tersebut demi meraih kebahagiaan dan kesempurnaan spiritua. Sebab, mereka yakin bahwa dengan cara demikian, ruh manusia akan mencapai kesempurnaan.
Bahkan ada kelompok yang lebih ekstrim. Yaitu, mereka menerapkan cara-cara penyiksaan diri sendiri, seperti berpuasa 40 hari hanya mengkonsumsi air, atau mengubur diri, bertapa dalam air yang sejuk, dan praktik penyiksaan diri lainnya. Mereka berkeyakinan bahwa penyiksaan pada fisik dan kemampuan menahan rasa sakit bakal meningkatkan spiritualitas manusia.
Inilah pandangan dua kelompok ekstrim yang berlawanan. Satu kelompok memandang keberuntungan manusia hanya terletak pada fisik. Sedangkan kelompok lainnya beranggapan bahwa kesempurnaan manusia hanya terletak pada spiritual.
Pandangan ketiga meyakini bahwa keberuntungan manusia terletak pada sisi fisik dan ruhani. Masing-masing dimensi manusia ini saling menopang dalam perjalanan menuju kesempurnaan manusiawi, bukan menjadi penghalang.
Perbedaan-perbedaan ini berjalan seiring dengan pertumbuhan manusia dengan segala masalah yang muncul di antara mereka. Mulai dari problem sosial, ekonomi, politik, budaya,keluarga, dan lain sebagainya. Bahkan ada pandangan yang sengaja diciptakan untuk tujuan tertentu, semisal tujuan politik demi terciptanya perpecahan di tengah masyarakat. Dalam dunia Islam terdapat kelompok yang dicipta oleh Inggris dan mereka memberikan fasilitas untuk berkembangnya kelompok tersebut di tengah masyarakat Islam; seperti kelompok Wahabi, Bahai, atau Ahmadiyah. Tentu saja, persoalan ini memerlukan kajian dan pembuktian secara tersendiri.
Terjadinya perbedaan-perbedaan dan keberagaman semacam ini, menimbulkan kekhawatiran bagi sekelompok orang yang sadar dan cinta terhadap kebenaran. Sebab, setiap orang yang meyakini sebuah pandangan, dia akan berusaha menyebarkan dan mengembangkannya secara luas. Bagi kelompok lain, perkembangan sebuah pemikiran dianggap bisa berbahaya bagi masyarakat. Dan hal ini bisa menyebabkan perselisihan dan peperangan berkepanjangan, serta berlawanan dengan fitrah manusia yang merindukan kehidupan aman, damai, dan tenteram.
Dalam konsepsi ketuhanan, Allah Swt bukan hanya sang Pencipta. Tapi Dialah sang Pencipta Yang Maha adil lagi Maha Bijaksana. Berdasarkan keadilan-Nya, tidak mungkin Allah Swt membiarkan umat manusia terjebak dalam kegalaun dan kebingungan tanpa menjelaskan kepada mereka tentang apa pemikiran dan pandangan yang benar untuk mencapai tujuan penciptaan. Allah tidak akan membiarkan manusia hidup tanpa tuntunan dan ajaran dari-Nya. Sebab, tanpa bimbingan semua itu, berati Allah Swt hanya menyengsarakan umat dan hamba-Nya. Dalam situasi tidak adanya bimbingan Ilahi, mustahil bagi manusia untuk mencapai tujuan penciptaan dirinya. Tidak mungkin Allah Swt berbuat zalim terhadap makhluk-makhluk-Nya. Sebab, syarat-syarat untuk menjadi zalim tidak terpenuhi pada sifat Allah Swt. Dia Swt Maha Kaya sehingga tidak ada keperluan yang mendorongnya berbuat zalim kepada yang lain. Dia Maha Perkasa sehingga tidak ada yang memaksanya untuk bebrbuat kezaliman kepada yang lain. Dia Maha Mengathui dan Maha Bijaksana sehingga tidak mungkin salah dalam perencanaan.
Berdasarkan keadilan Ilahi, tidak mungkin manusia hidup dibiarkan tanpa bimbingan dan tuntunan. Oleh karena itu, Allah swt memastikan datang parautusan dari sisi-Nya yang menjelaskan tentang keberadaan-Nya, tujuan penciptaan, mengajarkan bagaimana cara dekat dengan-Nya, memberitahukan apa yang tidak Dia sukai, menjamin surga bagi siapa saja yang berbuat kebajikan, dan mengancam dengan api neraka bagi siapasaja yang melakukan kejahatan di muka bumi. Manusia utusan Tuhan itu disebut sebagai nabi, sang pembawa berita. Dia disebut sebagai nabi ketika secara tegas menyatakan bahwa dirinya diutus dari Tuhan dan datang membawa perintah dari-Nya.
Dikarenakan kegalauan terhadap perbedaan ini bermuara dari faktor pandangan hidup, maka nabi dan utusan Tuhan harus membawa bukti-bukti nyata. Yaitu suatu bukti yang tidak mampu didatangkan oleh manusia-manusia lainnya. Yang dimaksud dengan bukti nyata bukan sekedar pemikiran atau argumentasi baru, sehingga membuka peluang bagi masyarakat manusia untuk tetap berbeda pandangan. Bukti-bukti ini disebut dengan mukjizat yang orang lain tidak mungkin melakukannya atau mendatangkan hal yang serupa. Dengan demikian, umat manusia menjadi yakin dan percaya bahwa dia benar-benar utusan Tuhan. Di sisi lain, mukjizat bertujuan untuk menutup peluang bagi orang lain untuk mengaku sebagai utusan Tuhan jika dia mampu untuk melakukan hal yang sama yang dilakukan para nabi.
Jadi, seorang nabi akan datang di tengah umat dengan mengakui bahwa dia sebagai utusan Tuhan, membawa ajaran yang benar, serta menampakkan mukjizat yang dia buktikan dan dia menantang selainnya untuk bisa melakukan hal yang sama. Mukjizat berbeda dengan sihir dan tidak mampu dilawan dengan kekuatan sihir apapun. Mukjizat tidak dilakukan dengan cara menipu mata atau mempengaruhi pikiran. Tetapi dia adalah sesuatu yang nyata terjadi dan fakta yang sebenarnya. Seperti mengeluarkan air dari sela-sela jemari tangan sehingga mampu memuaskan dahaga ratusan orang, membelah lautan sehingga dapat diseberangi, dan berbagai mukjizat lainnya.
Fungsi nabi di tengah umat selain sebagai pembawa berita Tuhan, membawa ajaran, dia menjadi rujukan bagi umat manusia, sekaitan dengan urusan keyakinan, keagamaan, dan ibadah mereka; nabi juga memenuhi kebutuhan sosial masyarakat terhadap kepemimpinan. Sebab, faktor perbedaan yang beragam pada manusia, hal itu melazimkan perselisihan dan memungkinkan sebagian kelompok orang merampas hak sebagian lainnya. Untuk menyelesaikan pertikai itu, masyarakan membutuhkan seorang hakim. Maka, selain nabi sebagai rujukan agama, dia juga merupakan hakim (pemberi keputusan) bagi umat manusia.
Tentu saja sebagai hakim dan pembawa berita serta ajaran Tuhan, selain daripada adanya bekal mukjizat dari Allah Swt yang mengutusnya, seorang nabi harus memiliki sifat-sifat sempurna, baik secara fisik ataupun ruh, atau sempurna jasmani dan ruhani. Seorang nabi tidak akan cacat secara fisik sehingga menjadi cela baginya dan menghalangi fungsi dan kerja dia. Demikian pula, nabi tidak mungkin cacat secara ruhani yang menghalangi fungsi dia sebagai rujukan agama dan hakim bagi umat manusia. Dalam hal ini, tidak perlu ditanyakan, bagaimana orang yang membawa mukjizat tapi cacat secara fisik. Tapi realitas sejarah agama menjelaskan, belum pernah ada orang yang mengakusebagai utusan Tuhan dan mengeluarkan mukjizat, tapi cacat secara fisik. Belum pernah ada.
Orang- orang Yahudi berusaha melakukan tahrif dan penyelewengan sejarah, yang dalam istilah muslimin disebut dengan Israeliyat, selalu berusaha memberikan cacat kepada para nabi.
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (Q.S As-Shaff: 8)
Mereka mengarang cerita yang memburukkan para nabi dan berusaha meyakinkan masyarakat bahwa cerita itu benar. Dikarenakan manusia untuk hidupnya mereka selalu perlu pada tuntunan Ilahi, dan perlu kepada hakim dan pemimpin yang menyelesaikan urusan mereka, maka Allah Swt memastikan adanya figur para nabi di tengah masyarakat. Muncul sebuah permasalahan baru di tengah masyarakat Islam, bahwa kebutuhan akan ajaran Tuhan dan kepemimpinan serta hakim yang menyelesaikan urusan masyarakat terpenuhi dengan diutusnya Rasulullah saw. Tentang fungsi beliau sebagi rujukan agama tetap terpelihara dengan adanya jaminan Allah untyuk menjaga al-Quran al-Karim.
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah yang memelihara dan menjaganya.” (Q.S Al-Hijir: 9)
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Q.S Al-Maidah: 3)
Yang tersisa adalah problem sosial. Di mana keperluan masyarakat terhadap hakim dan imam tidak menjadi hilang dengan wafatnya Rasulullah saw. Fungsi sebagai imam bagi umat, fungsi sebagai hakim bagi umat, dengan kriteria tanpa cacat jasmani dan ruhani yang dimiliki para nabi itu menjadi hilang. Permasalahan ini, adalah bagian dari filsafat kepemimpinan yang merupakan sebuah kemestian untuk utuhnya kesempurnaan sebuah masyarakat. Sudah sejak awal kaum muslimin berdebat dan mendiskusikan problem kepemimpinan ini. Lebih jelasnya mereka mencari jawaban untuk menggantikan fungsi hakim dan pemimpin yang tadinya disandang oleh nabi. Sehingga ajaran yang sempurna tetap dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Mungkin dalam kesempatan yang lain, di luar pembahasan kenabian, bisa dibahas dan didiskusikan secara jauh seputar masalah kepemimpinan.
source : http://www.ikmalonline.com