Kebangkitan Imam Husein as dan Tujuannya[1]
Oleh: Allâmah Sayid Muhammad Husein ath-Thabâthabai
Dengan sedikit renungan sepintas terhadap kondisi umum masa itu, akan jelas bagi kita rahasia keputusan Imam Husein as (untuk menentang penguasa diktator pada waktu itu). Periode sejarah paling gelap yang telah menimpa keluarga Rasulullah SAWW dan para pengikut mereka adalah periode dua puluh tahun pemerintahan Mu’awiyah.
Setelah berhasil merebut khilafah Islam—dengan segala kelicikan—dan menjadi pemimpin dunia Islam yang terbentang luas kala itu, ia mengerahkan seluruh daya dan kekuatannya untuk mempekokoh tiang-tiang kepemimpinannya dan membasmi Ahlulbait as. Bukan hanya ingin membasmi mereka, bahkan ia menginginkan supaya nama dan kenangan mereka sirna dari ingatan umat manusia.
Dengan segala cara, ia berhasil merekrut sekelompok sahabat Rasulullah SAWW yang kala itu dipercaya dan dihormati oleh masyarakat. Ia memerintahkan agar hadis-hadis palsu yang memihak sahabat dan mengesampingkan Ahlulbait as diproduksi sebanyak mungkin. Atas instruksinya juga, Amirul Mukminin as dilaknat dan dicela di atas mimbar-mimbar masjid di seluruh penjuru negara Islam, bak sebuah kewajiban agama.
Dengan perantara para anteknya, seperti Ziyâd bin Abîh, Samurah bin Jundab, Busr bin Artât, dan lain-lainnya, ia membantai setiap pengikut Ahlulbait as dimana pun ia dijumpai. Dalam hal ini, ia telah menggunakan segala cara, seperti membeli dengan urang, kekerasan, iming-iming kekuasaan, dan ancaman.
Dalam kondisi seperti ini, secara otomatis, mayoritas masyarakat akan enggan untuk menyebut-nyebut nama Ali dan keluarga beliau, dan mereka yang memiliki hubungan kecintaan lama dengan mereka, karena khawatir terhadap jiwa, harta, dan harga dirinya, akan memutuskan hubungan mereka dengan Ahlulbait as.
Kita dapat memahami rahasia kebangkitan Imam Husein as dari realita bahwa seluruh masa imâmah beliau yang berlangsung sekitar sepuluh tahun, sezaman dengan pemerintahan Mu’awiyah kecuali beberapa bulan terakhir. Selama masa itu, tidak satu pun hadis dalam dunia fiqih Islam yang berasal dari beliau meskipun beliau bertugas sebagai imam pada masa itu dan penjelas hukum-hukum Islam. Yang kami maksud adalah hadis-hadis beliau yang dinukil oleh masyarakat sebagai bukti keloyalan hubungan mereka (dengan Ahlulbait as), bukan hadis-hadis yang dinukil dari para imam setelah beliau as.
Dari sini dapat dipahami bahwa pada masa itu pintu rumah Ahlulbait as ditutup dan hubungan masyarakat dengan mereka mencapai titik nol.
Tekanan-tekanan penguasa yang senatiasa memuncak dan mendominasi seluruh penjuru negara Islam tidak mengizinkan kepada Imam Husein as untuk meneruskan perlawanan atau peperangan beliau terhadap Mu’awiyah, dan perlawanan semacam ini pun tidak akan membuahkan hasil ang berarti. Karena:
Pertama, Mu’awiyah telah mengambil bai’at dari beliau, dan dengan adanya bai’at ini, tidak seorang pun siap untuk membantu beliau.
Kedua, Mu’awiyah telah memperkenalkan dirinya sebagai salah satu sahabat besar Rasulullah SAWW, penulis wahyu, dan tangan kanan ketiga khalifah Muslimin kepada khalayak ramai, dan menjuluki dirinya dengan Khâlul Mukminin (Paman Mukminin).
Ketiga, dengan kelicikannya, Mu’awiyah dengan mudah dapat membunuh Imam Husein as melalui tangan orang-orang kepercayaannya, dan setelah itu, ia akan bangkit menuntut balas atas kematian beliau dan (berpura-pura) mendirikan majlis bela-sungkawa atas kematian beliau. Mu’awiyah telah berhasil menciptakan kehidupan Imam Husein as sedemikian rupa sehingga beliau tidak merasa aman meskipun di dalam rumah peribadi beliau, dan pada akhirnya, ia akan dapat membunuh beliau dengan racun melalui tangan istri beliau sendiri.
Setelah Mu’awiyah dijemput ajal, Imam Husein as memberontak melawan Yazîd dan mengorbankan seluruh keluarga, sampai-sampai putra beliau yang masih menyusu di jalan (Islam). Pada masa imâmah beliau yang mayoritasnya sezaman dengan pemerintahan Mu’awiyah, beliau tidak mampu melakukan pengorbanan besar semacam itu. Karena, di hadapan kelicikan Mu’wiyah yang pada lahiriahnya benar dan bai’at yang telah beliau berikan kepadanya, kebangkitan dan syahâdah beliau sedikit pun tidak akan membuahkan hasil.
Inilah sekelumit kondisi mengenaskan yang telah diwujudkan oleh Mu’awiyah di seluruh penjuru negara Islam yang telah berhasil menutup pintu rumah Rasulullah SAWW dan mengesampingkan Ahlubait as dari fungsi dan keutamaan mereka.
Kematian Mu’awiyah dan Kekuasaan Yazîd
Pukulan terakhir Mu’awiyah terhadap tubuh Islam dan Muslimin adalah perubahan sistem khilâfah Islam menjadi sistem kerajaan diktator dan sistem warisan. Ia telah menentukan anaknya, Yazîd sebagai penggantinya padahal Yazîd bukanlah seseorang sosok figur Islam—meskipun dalam rangka ingin mengelabuhi (masyarakat seperti ayahnya)—dan ia selalu menghabiskan hari-harinya—secara terang-terangan—dalam kontes-kontes nyanyian dan tarian, foya-foya, dan bermain-main dengan kera, serta tidak sedikit pun memiliki rasa kepedulian terhadap agama. Lebih dari itu, ia tidak meyakini agama Islam sedikit pun. Ketika para tawanan Ahlulbait as dan kepala-kepala terpotong para syuhadâ Karbala digiring memasuki Damsyiq (Syiria sekarang) dan ia keluar (dari istananya) untuk menyaksikan tontonan itu, suara burung gagak sampai ke telinganya. Ia berkata, “Bagaimana pun aku telah melunasi utang-utangku dari Rasulullah SAWW”.[2]
Begitu juga, ketika para tawanan Ahlulbait as dan kepala Imam Husein as dibawa ke hadapannya, ia melantunkan sya’ir yang di antaranya berbunyi, “Hasyim telah bermain dengan kerajaan, tak pernah satu berita pun datang dan tak satu wahyu pun turun”.
Kepemimpinan Yazîd sebagai kepanjangan tangan politik Mu’awiyah telah mempertegas kondisi Islam dan Muslimin. Di antaranya adalah kondisi Ahlulbait as dalam hubungannya dengan Muslimin dan para pengikut mereka yang memang harus dikubur habis.
Dalam kondisi semacam ini, satu-satunya perantara dan faktor yang menentukan untuk membumi-hanguskan Ahlulbait as dan mengikis habis akar-akar kebenaran dan hakikat adalah bai’at Imam Husein as dengan Yazîd sebagai khalifah Rasulullah SAWW yang harus ditaati.
Imam Husein as dan Bai’at dengan Yazîd
Dengan mempertimbangkan kedudukan imâmah dan kepemimpinan yang dimilikinya, Imam Husein as enggan berbai’at dengan Yazîd dan mengambil keputusan yang dapat meluluh-lantakkan agama ini. (Dengan demikian), beliau tidak memiliki tugas kecuali menolak bai’at (terhadap Yazîd), dan Allah tidak menginginkan dari beliau hal itu.
Akibat Menolak Bai’at
Dari satu sisi, menolak bai’at tersebut akan memiliki efek yang sangat pahit dan menyakitkan. Karena, penguasa yang tak tertandingi kekuatannya kala itu dengan segala kekuatan yang dimilikinya menginginkan bai’at (dari Imam as) dan ia tidak akan puas dengan selain itu. Atas dasar ini, syahâdah Imam Husein as jika beliau menolak bai’at adalah satu hal yang pasti dan tak dapat dihindari.
Menimbang maslahat dan kepentingan Islam dan Muslimin, Imam Husein as mengambil keputusan untuk menolak bai’at dan rela terbunuh. Tanpa sedikit keraguan, beliau lebih memilih mati daripada hidup, dan satu-satunya taktlîf syar’i beliau kala itu adalah menolak bai’at dan menerima kematian. Dan ini adalah arti sebagian hadis yang mengindikaskan bahwa Rasulullah SAWW bersabda kepada beliau di alam mimpi, “Allah ingin melihatmu dalam keadaan terbunuh”. Begitu pula ketika sebagian sahabat ingin mencegah beliau untuk berangkat ke medan laga, beliau berkata kepada mereka, “Allah ingin melihat aku dalam keadaan terbunuh”. Ala kulli hal, yang dimaksud (di sini) adalah kehendak tasyri’i, bukan kehendak takwini. Karena—sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya—kehendak takwini Allah sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadap kehendak dan pekerjaan (seseorang)[3].
Memilih Mati daripada Hidup
Ya! Imam Husein as mengambil keputusan untuk menolak bai’at dan sebagai efeknya, beliau akan terbunuh, serta lebih mementingkan “mati” daripada hidup. Dan kornologi peristiwa membuktikan kebenaran pilihan beliau. Karena, syahâdah beliau dengan kondisi yang menyayat hati itu telah berhasil membuktikan kemazluman (ketertindasan) dan kebenaran Ahlulbait as, dan pasca syahâdah beliau, kebangkitan dan perlawanan (terhadap penguasa) terus berlangsung hingga dua belas tahun lamanya. Setelah itu, rumah yang pada masa beliau hidup tidak dikenal orang itu, dengan sedikit kestabilan kondisi pada masa Imam al-Bâqir as, para pengikut Ahlulbait as bak banjir mendatangi rumah itu dari berbagai penjuru negeri. Semenjak saat itu, hari demi hari angka para pengikut Ahlulbait as semakin bertambah dan kebenaran mereka terus bercahaya gemilau di setiap penjuru pemerintahan Islam. Pondasi semua itu adalah kebenaran Ahlulbait as yang disertai dengan ketertindasan, dan pemrakarsa semua itu adalah Imam Husein as.
Membandingkan kondisi Ahlulbait as dan sambutan masyarakat terhadap mereka pada masa beliau hidup dengan kondisi mereka setelah beliau syahîd setelah empat belas abad berlalu dan tahun demi tahun terus bertambah dalam dan semakin baru akan membuktikan kebenaran pilihan beliau itu. Dan sya’ir yang beliau lantunkan (ini)—menurut sebagian hadis—mengindikaskan hal tersebut. “... Kami bukan pengecut, akan tetapi, ajal kamilah yang telah datang menjemput, dan (kami pergi) demi orang-orang mendatang”.
Dan karena mempertimbangkan hal tersebut Mu’awiyah berwasiat kepada Yazîd jika Husein bin Ali menolak untuk berbai’at, hendaknya jangan sampai mengusiknya. Mu’awiyah berwasiat demikian bukan atas dasar ketulusan hati dan kecintaan (kepada beliau), bahkan ia mengetahui bahwa Husein bin Ali bukan potongan orang yang gampang diambil bai’at, dan jika ia terbunuh oleh tangan Yazîd, Ahlulbait as akan mendapatkan stempel “tertindas”. Dan hal ini akan sangat berbahaya bagi dinasti Bani Umaiyah, sedangkan bagi Ahlulbait as merupakan jalan terideal untuk tabligh dan kemajuan (misi).
Imam Husein as dan Tugas Ilahi
Imam Husien as mengetahui tugas Ilahi (yang harus beliau emban), yaitu menolak bai’at. Beliau melebihi orang lain mengenal kekuatan Bani Umaiyah yang tak tertandingi dan jati diri Yazîd. Beliau menyadari bahwa efek yang tak dapat dihindari dari menolak bai’at adalah keterbunuhan dan melaksanakan tugas Ilahi ini akan meminta syahâdah. Tugas ini telah beliau ungkapkan dalam beberapa kesempatan dengan ungkapan yang berbeda-beda.
Ketika berada di istana penguasa Madinah yang meminta bei’at dari beliau, beliau menegaskan, “Orang seperti aku tidak akan pernah berbai’at kepada orang seperti Yazîd”.
Ketika keluar dari kota Madinah pada malam hari, beliau menukil sabda Rasulullah SAWW kepada beliau dalam mimpi, “Allah menginginkan engkau terbunuh”.
Dalam khotbah yang beliau lontarkan ketika hendak meninggalkan Makkah dan ketika menjawab sebagian sahabat yang ingin mencegah beliau berangkat menuju Irak, beliau mengulangi sabda Rasulullah SAWW tersebut.
Ketika menjawab sebagian tokoh Arab yang memaksa beliau untuk memngurungkan niatnya berangkat ke Kufah, karena beliau akan terbunuh, beliau menjawab, “Hal ini telah kuketahui. Akan tetapi, mereka tidak akan pernah membiarkanku. Ke mana pun aku pergi dan di mana pun aku berada, mereka pasti akan membunuhku”.
Sebagian hadis tersebut meskipun bertentangan dengan hadis yang lain atau lemah dari segi sanad, akan tetapi, menilik kondisi masa itu dan mencermati permasalahan yang terjadi akan menguatkan hadis-hadis di atas.
Metode Imam Husein as yang Berbeda-beda
Bukan yang kami maksud dengan statemen bahwa tujuan kebangkitan Imam Husein as adalah syahâdah dan Allah menginginkan kesyahidan beliau adalah Allah menginginkan supaya beliau menolak bai’at dan kemudian berdiam diri seraya meminta dari bala tentara Yazîd untuk datang membunuh beliau. Lalu, dengan cara yang menggelikan ini beliau telah dianggap melaksanakan tugasnya dan hal itu layak disebut kebangkitan! Bukan! Akan tetapi, yang kami maksud adalah bangkit melawan pemerintahan Yazîd, menolak berbai’at kepadanya, dan penolakannya yang akan menyebabkan beliau syahîd itu harus diaplikasikan melalui setiap cara yang mungkin.
Dari sini kita menyaksikan, selama masa kebangkitan metode Imam Husein as berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku.
Pada permulaan kebangkitan ketika berada di bawah penekanan penguasa Madinah, beliau meninggalkan Madinah menuju Makkah sebagai kota haram dan pusat agama pada malam hari dan selama beberapa bulan beliau hidup di sana dengan suaka politik.
Di Makkah, beliau berada di bawah pengawasan rahasia para intelijen pemerintah hingga diputuskan melalui perantara sekelompok orang-orang bayaran beliau harus dibunuh pada musim haji atau ditangkap dan dikirm ke Syam (Syiria). Dan dari satu sisi, banjir ribuan surat dari Irak telah tertuju kepada beliau yang menjanjikan bantuan dan mengundang beliau untuk datang ke sana. Surat terakhir yang secara terang-terangan dikirimkan sebagai penyempurna hujjah (demi kedatangan beliau ke Irak)—seperti dijelaskan oleh sebagian ahli sejarah—berasal dari penduduk Kufah. Setelah itu, beliau mengambil keputusan untuk berangkat dan mengadakan perlawanan berdarah. Pertama kali, sebagai penyempurna hujjah (atas ketulusan mereka para pengirim surat), beliau mengutus Muslim bin Aqil ke Kufah sebagai wakil beliau. Tidak lama kemudian, surat Muslim bin Aqil sampai ke tangan beliau yang memberitahukan bahwa kondisi untuk mengadakan perlawanan sangat membantu.
Dengan menilik kedua faktor di atas, yaitu (pertama,) menyusupnya orang-orang bayaran Syam (ke Makkah) untuk membunuh atau menangkap beliau dan (kedua,) menjaga kehormatan Baitullah dan kesiapan Irak untuk mengadakan perlawanan, beliau berangkat menujuh Kufah. Kemudian, di pertengahan jalan ketika mendengar pembantaian Muslim dan Hani yang mengenaskan, beliau merubah metode perlawanan dan mengganti perang aktif (tahâjumî) dengan perang pasif (difâ’î) serta menyeleksi anggota pasukan beliau. Dengan bersama para sahabat yang siap membantu beliau hingga titik darah penghabisan, beliau berangkat menuju medan laga.
[1] Makalah ini dicuplik dari buku Bist maqâleh, karya Ridhâ Ustadi, hal. 438-444.
[2] Tafsir Rûh al-Ma’ânî, karya al-Âlûsî, jilid 26, hal. 66, menukil dari Târîkh Ibnu al-Wardî dan buku al-Wâfî bi al-Wafayât.
[3] Karena kehendak takwini berhubungan langsung dengan alam nyata dan kehendak serta pilihan manusia tidak akan berpengaruh dalam hal ini. Setiap yang dikehedaki oleh Allah secara takwini, pasti akan terwujud tanpa harus bergantung kepada pilihan dan kehendak manusia. Berbeda dengan kehendak tasyri’i. (Pen.)
source : http://www.almujtaba.com