REPUBLIKA.CO.ID, Komunitas Muslim ingin dilibatkan dalam proses pembangunan kembali Nepal yang koyak oleh perang saudara.
Nepal dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Hindu. Namun ternyata, Islam punya sejarah yang panjang di negara ini.
Diperkirakan, Islam masuk ke Nepal pada abad ke-5 Hijriah atau 11 Masehi. Islam dibawa oleh para saudagar Arab yang datang untuk berdagang di lembah Kathmandu.
Sedangkan, Muslim untuk pertama kalinya menetap (berdomisili) di Nepal terjadi pada masa pemerintahan Raja Ratna Malla (1482-1520). Mereka adalah Muslim Kashmir yang merupakan para saudagar.
Mereka sebenarnya menjual karpet, aneka produk dari kulit binatang dan wol kepada masyarakat Tibet, namun menjadikan Nepal sebagai lintasan mereka. Orang-orang Kashmir ini dikenal sebagai kalangan Muslim terpelajar dan pebisnis sukses.
Beberapa dari mereka bahkan masuk ke dalam jajaran birokrasi dan politik. Di Shayambhu, Nepal, kaum Muslim Kashmir memiliki lahan pemakaman khusus.
Pada masa-masa berikutnya, Muslim terus berdatangan ke Nepal. Pada abad ke-19, tepatnya 1857, gelombang kedua Muslim India masuk ke negara itu. Mereka tinggal di wilayah Terai yang merupakan perbatasan India dan Nepal.
Wilayah ini diakuisisi oleh Nepal di bawah Perdana Menteri Jung Bahadur bersama Kerajaan Inggris. Hal ini sebenarnya upaya Inggris agar Muslim tidak terkonsentrasi di India yang semakin membahayakan penjajahan Inggris atas India.
Di bawah tekanan penjajah Inggris, Muslim di daerah perbatasan mengungsi ke wilayah Terai. Sejak saat itu, Muslim tunduk pada Undang-Undang Kerajaan Nepal Tahun 1853 sebagai warga negara dengan kasta terendah.
Selain Muslim India, banyak pula Muslim dari Tibet yang mendatangi negara tersebut. Mereka awalnya juga masuk dengan tujuan berdagang dan lama kelamaan menetap di Nepal. Jumlah mereka semakin banyak pada 1960-an sebagai akibat gejolak politik di Tibet.
Kini, Muslim Tibet yang ada di Nepal sudah berbaur dengan warga setempat, baik bahasa, budaya, maupun cara berpakaian mereka sudah seperti orang Nepal. Umumnya, Muslim keturunan Tibet cukup sukses di Nepal.
Hingga saat ini, mereka masih menjalin hubungan bisnis dengan negeri leluhur, Tibet, dan tentunya dengan Cina yang kini menguasai Tibet.
Membaik
Meski terbilang sukses secara ekonomi, status sebagai kasta terendah dalam sistem sosial masyarakat Nepal membuat Muslim di negara tersebut hidup dalam ketertindasan penguasa.
Mereka tak memiliki akses ke dunia pendidikan hingga politik. Syukurlah, kondisi tersebut bisa diperbaiki ketika Raja Mahendra memimpin Nepal pada 1960.
Saat itu, dia menghapus Undang-Undang Tahun 1853 dengan menerbitkan undang-undang baru yang mengangkat status kewarganegaraan kalangan Muslim sehingga mereka setara dengan warga negara lainnya.
Raja Mahendra juga mengangkat satu orang wakil dari Muslim untuk duduk di Dewan Perwakilan Nasional (Panchayat). Tak ada pula larangan atau hambatan untuk mendirikan madrasah.
Meski UU tersebut memberikan kebebasan beragama, namun tetap melarang perpindahan agama, terutama dari Hindu ke Islam. Aturan tersebut juga melarang perceraian. Bila melanggar maka terdakwa dapat dihukum tiga tahun penjara.
Kondisi Muslim di Nepal semakin baik pada 1990, ketika terjadi transformasi politik di negeri ini dari sistem monarki Hindu ke sistem demokrasi multipartai. Pada masa itu, dikeluarkan undang-undang yang menjamin adanya kesetaraan tanpa diskriminasi agama, ras, jenis kelamin, kasta, suku, ataupun ideologi.
Dengan undang-undang ini, terhapuslah superioritas Hindu selama berabad-abad di negeri itu. Hasilnya, 31 pemimpin Muslim untuk pertama kalinya dapat ikut serta dalam kancah politik Nepal.
Pada pemilu 1991, sebanyak lima pemimpin Muslim berhasil terpilih. Mereka masuk dalam jajaran anggota Kongres Nepal dan kabinet. Muslim Nepal juga berjuang mendapatkan hak atas 10 persen jatah kursi di parlemen dan meminta pengesahan hari besar Islam sebagai hari libur nasional.
Komunitas Muslim juga mengharap dilibatkan dalam proses pembangunan kembali negara yang hancur lebur karena perang saudara itu. Harapan tersebut diutarakan menjelang sidang Majelis Konstituen Nepal untuk menyusun konstitusi baru selepas negara itu menghapuskan sistem monarki pada 2008 lalu.
Syekh Islam, pemimpin komunitas Muslim di Mantikar, mengatakan, Muslim adalah bagian dari Nepal. Muslim adalah salah satu elemen yang tumbuh dalam masyarakat Nepal.
Karena itu, ia berharap, Pemerintah Nepal memberikan kesempatan kepada kaum Muslim untuk ikut membangun kembali Nepal. “Kami Muslim, namun kami juga bagian dari Nepal,” katanya.
Dua Masjid Besar di Kathmandu
Kini, terdapat setidaknya 2,5 juta penganut Islam di Nepal atau sekitar 10 persen dari populasi penduduk negeri itu.
Secara garis besar, Muslim Nepal dibagi ke dalam empat etnik besar, yaitu Muslim asal India, Khasmir, Tibet, dan Muslim asli Nepal yang sebelumnya pindah agama dari Hindu ke Islam.
Ada pula Muslim Nepal gunung. Sehari-hari mereka memang tinggal di kawasan pegunungan.
Di ibu kota Nepal, Kathmandu, kini berdiri dua masjid besar yang berlokasi di kawasan bergengsi di pusat kota, tak jauh dari bekas Istana Raja Nepal. Dua masjid besar tersebut adalah Masjid Kashmiri Taqiya dan Masjid Jami’ Kathmandu.
Masjid Khasmiri atau Masjid Khasmiri Pancha Taqiya dibangun pertama kali oleh seorang ulama Khasmir pada 1524 M pada masa pemerintahan Raja Rama Malla (1484-1520). Masjid ini merupakan masjid pertama dan terbesar di Nepal.
Masjid yang sudah berumur lebih dari 480 tahun ini sempat mengalami kerusakan parah akibat serangan sekitar 4.000 massa pada 1 September 2004. Serangan tersebut terjadi menyusul insiden terbunuhnya 12 pekerja Nepal yang diculik oleh milisi bersenjata di Irak.
Warga Nepal kemudian melampiaskan kemarahan atas insiden tersebut dengan menyerang Masjid Khasmiri Takiya. Mereka merusak dan menyeret keluar perabotan masjid serta membakar ruangan utama Masjid Khasmiri.
Beruntung aksi tersebut berhasil dibubarkan oleh pasukan polisi antihuru-hara Nepal hingga tindak anarkistis tersebut tak meluas.
Meski dibangun dan dikelola oleh Muslim Khasmir, masjid ini terbuka untuk semua kalangan. Khotbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab. Jabatan imam saat ini dipegang oleh Ali Manzar.
Di saat penyelenggaraan shalat Jumat dan dua shalat hari raya, masjid ini penuh sesak oleh jamaah pria sampai ke atap dan areal sekitar masjid.
Masjid Jami’ Nepal dibangun oleh Muslim dari India pada 1641-1674, kemudian direnovasi total oleh Putri Begum Hazrat Mahal pada 1857.
Masjid Jami’ Nepal berada di sebelah selatan Masjid Kashmiri Taqiya, hanya terpisah beberapa blok bangunan.
Secara tradisi, masjid ini merupakan masjid Sunni, namun tetap terbuka untuk umum. Dalam penyelenggaraan ibadah, masjid ini juga menggunakan bahasa Arab. Imam masjid saat ini dijabat oleh Hammad Fareed.
Kedua masjid tersebut, seperti halnya masjid-masjid lainnya di Nepal, memiliki peran sentral bagi umat Islam. Ia menjadi semacam pusat komunitas umat Islam. Di Nepal, masjid biasanya dilengkapi dengan madrasah dan kawasan niaga.
Di sekitar masjid biasanya dengan mudah ditemukan toko-toko yang menjual berbagai kebutuhan umat Islam, termasuk rumah makan halal. Selama Bulan Suci Ramadhan, pengurus masjid menyediakan makanan untuk berbuka puasa bagi jamaah masjid
Kini, semakin banyak pula organisasi Islam yang tumbuh di Nepal. Salah satu organisasi yang berupaya meningkatkan pendidikan umat Islam di Nepal adalah Persatuan Islam (Islami Sangh).
Atas jasa organisasi-organisasi Islam ini pula kini Muslim Nepal bisa memiliki kitab suci Alquran terjemahan bahasa Nepal sebagai upaya penyebaran dakwah di kalangan umat Islam di sana.
Alquran terjemahan berbahasa Nepal terdiri dari 1.168 halaman. Untuk tahap pertama, Alquran terjemahan ini dicetak lebih dari 5.000 eksemplar, 2.500 di antaranya dikirim ke New Delhi (India), Buthan, dan Myanmar.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Fitria Andayani
source : http://www.republika.co.id