Tauhid adalah meyakini bahwa Tuhan adalah esa, tak ada sekutu baginya. Banyak pembahasan tauhid dalam ilmu kalam (teologi), filsafat dan tafsir, yang mungkin bagi sebagaian orang cukup rumit untuk dipahami.
Sebenarnya memahami keesaan Tuhan itu mudah. Coba ikuti pembahasan ringan yang akan diberikan di bawah ini.
Sebelumnya, saya ingin jelaskan bahwa keesaan Tuhan tidak bisa dimengerti sebagaimana kita memahami jumlah dan bilangan sesuatu. Mengapa tidak? Karena Tuhan tidak bisa dihitung dengan bilangan satu, dua, tiga dan seterusnya.
Jadi pemahaman bahwa “Tuhan adalah satu” sebagaimana kita memahami “anak saya cuma satu” tidaklah sama. Karena “satu” untuk Tuhan dan “satu” untuk selain Tuhan berbeda pengertiannya (sebenarnya tidak benarj jika kita menggunakan istilah “satu” untuk Tuhan, yang benar adalah esa).
Segala sanggahan yang timbul di pikiran kita terhadap Tauhid dikarenakan kita salah memahaminya, kita memahaminya sebagai “menghitung Tuhan dengan bilangan satu”. Padahal itu tidak benar. Oleh karena itu Tauhid bukan berarti “menghitung Tuhan.”
Mengapa? Karena apa yang dapat kita hitung adalah obyek-obyek tertentu saja, tidak semuanya, bahkan di alam materi inipun. Buktinya kita hanya bisa menghitung jumlah anak kita, pensil yang kita punya, buku di rak kita, dan hal-hal serupa dengan bilangan satu, dua, tiga, empat dan seterusnya; namun apakah kita bisa menghitung jumlah air, gas, pasir, beras, atau gula dan hal-hal serupa dengan bilangan satu, dua, tiga dan…? Jelas tidak, ya kita menghitungnya dengan cara lain, kita menghitungnya dengan satuan kilo, misalnya beras satu kilo, gula tiga kilo, dan seterusnya.
Adapun Tuhan? Tuhan tidak bisa disamakan dengan obyek-obyek lain di sekitar kita yang dapat kita hitung, oleh karena itu kita tidak bisa menghitungnya dengan berkata “saya punya satu Tuhan.”
Lalu bagaimana kita memahami ke-satu-an Tuhan dan keesaan-Nya? Jawabannya adalah: “pengakuan kita dalam tidak bisa menghitung-Nya adalah Tauhid yang sebenarnya.” Segala yang dapat kita hitung adalah selain Tuhan; itu kaidahnya.
Lalu apakah itu berarti kita tidak memahami Tuhan? Ya, ada benarnya kita tidak bisa memahami Tuhan adalah Tauhid itu sendiri, dan mungkin lebih baik daripada memahami “Tuhan berjumlah satu” dengan pemahaman yang salah.
Tuhan yang menciptakan segala benda yang dapat kita lihat, rasa dan raba yang dapat kita hitung di sekitar kita. Jika Tuhan termasuk hal yang bisa dihitung sebagaimana benda-benda itu, jelas hal itu lucu.
Anggap saja Tuhan adalah seorang pembuat sepatu. Ia menciptakan berpuluh-puluh pasang sepatu yang dapat dihitung pembelinya. Pembeli bisa dan benar jika berkata “saya ingin membelii sepasang sepatu.” Namun ia tidak bisa berkata “Saya juga mau beli satu pencipta sepatu”; karena apa yang ia ucapkan tidak dalam koridor perannya sebagai pembeli sepatu. Kita makhluk ini hanya bisa menghitung apa yang tercipta di alam ini dengan bilangan-bilangan, dan tidak bisa menghitung pencipta alam beserta isinya dengan bilangan yang sama, karena keluar dari koridor peran kita sebagai makhluk.
“Allahu Akbar” yang sering kita ucapkan, seperti dalam shalat, cukup membantu kita untuk memahami Tauhid. “Allahu Akbar” artinya kita mengagungkan Tuhan dan menganggap-Nya “lebih” dari segala apa yang bisa kita fahami. Jika kita mengaku memahamii Tuhan, seperti halnya memahami Tauhid dan keesaan-Nya, maka “Allahu Akbar” itu mengingatkan kita bahwa Tuhan lebih dari yang kita fahami itu, artinya kita tidak memahaminya. Oleh karena itu “tidak memahami Tuhan” dengan syarat usaha sepenuh tenaga untuk memahami-Nya adalah Tauhid itu sendiri.
source : hauzahmaya.com