Indonesian
Sunday 22nd of December 2024
0
نفر 0

Imam Khomeini: Ibadah dan Kehadiran Hati, Bagian Pertama

 Imam Khomeini: Ibadah dan Kehadiran Hati, Bagian Pertama

Meluangkan Waktu dan Hati untuk Ibadah

 

Ketahuilah bahwa bila ada waktu senggang untuk ibadah, maka sesuai dengan kesenggangan itu luangkan waktu juga untuk hati. Ini masalah yang penting dalam masalah ibadah. Karena tanpa Kehadiran hati, ibadah tidak akan terealisasi dan tidak memiliki nilai. Sementara yang dapat mewujudkan kehadiran hati ada dua hal; adanya waktu dan hati yang luang dan memahamkan hati akan pentingnya ibadah.

 

Maksud dari waktu luang adalah manusia menentukan waktu khusus dalam sehari semalam untuk beribadah, dimana manusia mewajibkan dirinya untuk beribadah dan tidak menyibukkan dirinya dengan pekerjaan lain di waktu itu. Bila manusia mengerti bahwa ibadah merupakan urusan penting, maka ia akan memprioritaskannya dan tidak melakukan yang lain.

 

Bagaimanapun juga, seorang abid harus perhatian dengan waktu ibadahnya. Tentu saja waktu shalat yang menjadi ibadah paling penting harus dijaga dan melaksanakannya di waktu fadhilah. Pada waktu itu jangan menyibukkan diri dengan pekerjaan lain. Sebagaimana manusia menyisihkan waktu khusus untuk mencari rezeki, belajar dan meriset, hendaknya mereka juga meluangkan waktu khusus untuk beribadah, dimana di waktu itu mereka tidak disibukkan dengan pekerjaan lain, sehingga kehadiran hati yang menjadi inti ibadah dapat terwujudkan. Tapi bila seperti penulis (Imam Khomeini, -pent) yang melakukan shalat dengan terpaksa dan menilai bangkit melakukan penghambaan kepada Allah merupakan urusan tambahan, dimana mungkin saja melaksanakan shalat di akhir waktu, sementara ketika melaksanakannya juga terkadang memikirkannya sebagai pekerjaan yang mengganggu pekerjaan penting lainnya, maka shalat yang dilakukannya tidak sempurna.

 

Benar, ibadah yang seperti ini tidak memiliki cahaya. Ini menganggap ringan ibadah dan akan mendapat kemurkaan ilahi. Orang yang seperti ini menganggap ringan shalat. Saya  berlindung kepada Allah dari menganggap ringan shalat dan tidak serius dalam melaksanakannya. Halaman buku ini tidak cukup bila dituliskan pelbagai riwayat dalam masalah menganggap ringan shalat, tapi saya akan menyebutkan sebagian untuk diambil pelajaran.

 

Dari Muhammad bin Ya'qub dengan sanad dari Abu Jakfar as-Shadiq as berkata kepada Zurarah, "Jangan menganggap ringan shalat. Karena sesungguhnya Nabi Muhammad Saw berkata saat mendekati ajalnya, ‘Bukan dari umatku orang yang meringankan shalatnya. Barangsiapa yang minum minuman yang memabukkan, demi Allah, tidak akan masuk ke haudh mendekati saya."

 

Dengan sanad dari Abi Bashir berkata, Abu al-Hasan al-Awal (al-Kazhim as) berkata, "Ketika ayahku mendekati ajalnya, ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku! Tidak akan mendapatkan syafaat kita orang yang meringankan shalat."

 

Banyak sekali riwayat dalam masalah ini, tapi bagi mereka yang mau mengambil pelajaran, maka dua hadis ini sudah cukup. Hanya Allah yang mengetahui betapa besarnya musibah dengan terputusnya kita dari Rasulullah Saw dan keluarnya kita dari keberadaan beliau. Terampasnya syafaat Nabi Saw dan Ahlul Baitnya berarti musibah yang sangat besar. Jangan beranggapan bahwa tanpa dukungan dan syafaat beliau, seseorang akan mendapatkan rahmat Allah dan menyaksikan surga yang dijanjikan.

 

Kini perhatikan. Apakah mendahulukan urusan parsial, bahkan hanya memiliki manfaat ilusi atas shalat yang menjadi hiasan mata Rasulullah Saw, perantara rahmat Allah yang besar, mengabaikan shalat dan menundanya di akhir waktu tanpa alasan dan menjaga batasannya bukan menganggap ringan shalat? Bila jawabannya positif, ketahuilah bahwa berdasarkan kesaksikan Nabi Saw dan Ahlul Baitnya engkau telah keluar dari wilayah mereka dan tidak akan mendapatkan syafaat mereka!

 

Perhatikan lagi. Bila engkau membutuhkan syafaat mereka dan ingin menjadi umat Nabi Muhammad Saw, sudah barang tentu engkau akan menganggap besar anugerah ilahi ini dan memandang penting shalat. Tapi bila yang engkau lakukan adalah sebaliknya, maka engkau tahu sendiri akibatnya. Allah Swt dan para wali-Nya tidak membutuhkan amal perbuatan saya dan kalian, tapi yang dikhawatirkan bila engkau tidak menganggapnya penting, maka itu bisa mengarahkanmu untuk meninggalkannya. Bila telah sampai pada meninggalkan shalat berarti ada penentangan dan segalanya akan hancur. Engkau akan mengalami kerusakan dan kehancuran abadi.

 

Ingat yang lebih penting dari waktu senggang adalah keluangan hati. Bahkan harus dikatakan bahwa waktu senggang merupakan pengantar untuk mencapai keluangan hati. Ketika manusia begitu tekun mengisi waktunya dengan ibadah, itu akan membuatnya tidak menyibukkan diri dengan urusan dunia dan perhatian hatinya tidak lagi pada urusan yang beragam. Dalam kondisi yang demikian, manusia mengosongkan dan memurnikan hatinya untuk memperhatikan urusan ibadah dan munajat kepada Allah. Selama kita belum dapat mengosongkan hati dari urusan yang semacam ini, maka kehadiran hati tidak dapat dihasilkan dalam ibadah.

 

Namun keburukan kita adalah mengumpulkan segala pemikiran dan ingatan tentang banyak hal dan memunculkannya di saat melaksanakan shalat!

 

Ketika kita mulai mengucapkan Takbiratul Ihram dan mulai melakukan shalat, seakan-akan kita tengah membuka toko, buku catatan atau buku pelajaran. Waktu itu juga kita mengirim hati kita untuk mulai menyibukkan dirinya dengan urusan lain dan pada saat itu juga kita melupakan shalat itu sendiri secara keseluruhan. Terkadang kita sadar seperti kebiasaan sehari-hari bahwa telah sampai pada waktu mengucapkan salam! Benar-benar shalat dan munajat kita sangat memalukan!

 

Anakku! Coba terapkan munajatmu dengan Allah seperti engkau berbicara dengan manusia lain yang tidak dapat dibandingkan dengan-Nya. Apa yang akan terjadi? Bila engkau berbicara dengan seorang dari temanmu dan menganggap enteng. Bila engkau berbicara dengan seorang asing, maka engkau akan melupakan hal-hal yang lain, selama engkau masih sibuk berbicara dengannya. Tapi ketika sibuk melakukan munajat dengan Allah Swt, Sang Pemberi Nikmat, engkau justru melupakan-Nya dan sibuk dengan urusan yang lain. Apakah ukuran penghambaan kita kepada Allah bisa bertambah dengan cara yang seperti ini? Ataukah berbicara dengan manusia biasa lebih bernilai ketimbang bermunajat dengan Sang Pemberi Hajat?

 

Benar. Saya dan kalian tidak mengetahui hakikat munajat dengan Allah. Kewajiban ilahi kita anggap sebagai tambahan kerja. Tentu saja urusan yang dipaksakan kepada manusia akan membuat kehidupan menjadi lebih sulit dan tidak dilihat sebagai sesuatu yang penting. Kita harus memperbaiki masalah ini dari sumbernya. Kita harus menemukan keimanan kepada Allah dan perintah para nabi agar dapat memperbaiki urusan kita.

 

Semua keburukan muncul dari kelemahan iman dan rendahnya keyakinan. Imam Sayid Ibnu Thawus berhasil mengantarkannya sehingga beliau menjadikan hari pertama balignya sebagai hari raya. Karena ia tahu itu merupakan hari pertama Allah mengizinkannya melakukan munajat kepada-Nya dan menyandangkan jubah kewajiban padanya.

 

Coba bayangkan hatinya seperti apa, sehingga memiliki cahaya yang semacam ini? Bila amal perbuatan Sayid Ibnu Thawus bukan hujjah bagimu, tapi bukankah perbuatan Sayid al-Muwahhidin dan keturunan Maksumnya menjadi hujjah bagimu? Coba perhatikan kondisi, kualitas ibadah dan munajat mereka!

 

Sebagian dari mereka ketika memasuki waktu shalat, wajah mereka berubah warna dan badannya bergetar karena takut kepada Allah, jangan sampai mereka tergelincir dalam melaksanakan perintah Allah, padahal mereka maksum dan terjaga dari dosa. Kisah yang sudah terkenal tentang Imam Ali as ketika kakinya terkena anak panah dan beliau tidak kuat mengeluarkannya. Hal itu hanya bisa dilakukan ketika beliau tengah melakukan shalat dan anak panah dikeluarkan, sementara beliau tidak menyadari sedikitpun.

 

Anakku! Ini bukan hal yang mustahil. Hal seperti itu banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Ketika manusia dikuasai oleh rasa marah atau cinta terlalu mendominasinya, maka terkadang ia melupakan segala sesuatu. Seorang teman kami yang dapat dipercaya mengatakan, "Ketika saya bertengkar dengan para preman di Isfahan, di tengah-tengah keributan dan saling pukul, sebagian dari mereka memukul saya, tapi saya tidak menyadarinya. Namun sesaat setelah baku pukul itu selesai dan saya mulai pulih kesadaran, baru saya tahu ada beberapa luka di badanku dan akibatnya saya harus menginap di rumah sakit untuk beberapa saat."

 

Poin penting yang ingin saya sampaikan dengan mudah dapat diketahui, bahwa jiwa tengah serius memperhatikan sesuatu, maka ia akan melupakan badannya dan inderanya juga tidak bekerja, sementara konsentrasinya ditujukan hanya untuk satu hal. Kita sendiri saat berdiskusi, Na'udzubillah, dapat kita saksikan bagaimana kita tidak memperhatikan apapun yang terjadi saat itu. Patut disayangkan bahwa kita bisa memiliki konsentrasi sempurna akan satu hal, tapi tidak bisa melakukannya ketika beribadah kepada Allah dan dalam hal ini kita masih jauh.[1] (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

 

Sumber: Ebadat, Doa va Monajat dar Rahnemoudha-ye Hazrat-e Emam Khomeini, Moasseseh Farhanggi Honari Qadr-e Velayat, Tehran, 1388 Hs.

 

[1]. Sharh-e Chehl Hadis Hazrat-e Emam Khomeini ra, hal 426-429.


source : Irib Indonesia
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Tafsir Al-Quran, Surat Al-Isra Ayat 1-2
Keutamaan Hari dan Bulan (Bagian-20)
Diantara Karomah Imam Ali bin Musa Ar-ridha as
10 Pesan Rahbar Tentang Adab Shalat
Bagaimana pandangan Ahlusunnah ihwal Bilal Habsyi?
Muharram: Bulan Kebangkitan Imam Husein as
Imam Khomeini: Ibadah dan Kehadiran Hati, Bagian Pertama
Menapaki Peradaban Islami
Tawadhu (2)
Bagaimana Ibnu Ziyad Provokasi Umar bin Saad Perangi Imam Husein as?

 
user comment