Bagaimana hukum puasa 3 hari sebelum dan puasa 1 hari saat ritual istisqâ' atas intruksi pengasuh pondok?
Jawaban Global
Di antara salat yang dianjurkan (mustahab) untuk dikerjakan adalah salat istisqâ. Istisqâ bermakna memohon untuk dapat meminum air. Tatkala hujan jarang turun, sungai-sungai menjadi kering dan langit disebabkan oleh merajalelanya dosa-dosa, kufur nikmat, hak-hak tidak ditunaikan, mengurangi timbangan, kezaliman, meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar, dan seterusnya, bersikap bakhil, maka salat istisqâ - sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat - menjadi mustahab (dianjurkan) untuk dikerjakan.
Adapun tata cara pelaksanaannya; seperti pelaksanaaan salat Idul Fitri dan Idul Qurban, terdiri dari dua raka'at. Tidak ada masalah apabila dikerjakan secara berjamaah atau sendiri-sendiri dengan niat raja'. Pada setiap raka'atnya membaca surah al-Fatiha dan salah satu surah (yang pendek) dan pada raka'at pertama, setelah membaca surah, membaca takbir sebanyak lima kali dan usai setiap kali takbir, membaca qunut. Pada raka'at kedua membaca empat kali takbir dimana setiap usai takbir, membaca qunut dan pada qunut mencukup membaca doa apa saja dan lebih baik membaca doa qunut yang mencakup permohonan hujan, meminta rahmat dan perhatian Allah Swt untuk mengirim hujan dan membuka pintu-pintu langit dan sebelum membaca doa menyampaikan shalawat ke atas Muhammad dan Keluarga Muhammad Saw.
Hal-hal yang dianjurkan supaya dikerjakan dalam salat ini adalah sebagai berikut:
Membaca dengan keras sebagaimana membaca surah-surah pada salat id itu dianjurkan.
Dianjurkan orang-orang untuk berpuasa tiga hari dan keluar rumah pada hari ketiga. Dan mengatur sedemikian sehingga hari ketiga ini adalah hari Senin dan apabila tidak dapat dilakukan demikian, jatuhnya pada hari Jumat mengingat hari Jumat adalah hari yang memiliki kemuliaan dan keutamaan.
Imam beserta warga, dengan tenang dan tentram, khusyu dan dalam kondisi memohon pergi ke lapangan luas memilih tempat yang suci untuk mengerjakan salat dan lebih baik keluar dengan telanjang kaki sebagai bentuk permohonan untuk menarik rahmat Ilahi.
Membawa serta mimbar ke lapangan dan para muaddzin bergerak di hadapan imam.
Bapak-bapak tua dan ibu-ibu renta, anak-anak dan hewan berkaki empat keluar bersama mereka, anak-anak bayi dipisahkan dengan ibu-ibu mereka supaya mereka menangis sehingga menjadi sebab turunya rahmat Ilahi serta tidak mengajak orang-orang kafir dzimmi dan non dzimmi untuk ikut bersama warga masyarakat ke lapangan.[1]
Patut untuk diperhatikan bahwa mengerjakan salat ini dan pendahuluan-pendahuluannya sepenuhnya bebas dan tidak boleh ada pemaksaan dalam hal ini. Akan tetapi orang-orang yang memikul tanggung jawab di tengah masyarakat seperti para pengasuh pondok dan kepala sekolah dapat meminta santri-santri dan murid-muridnya apabila mereka ingin dapat ikut serta dalam rangkaian acara ini secara kolektif. [iQuest]
[1]. Sayid Ruhullah Musawi Khomeini, Tahrir al-Wasilah, terjemahan Persia oleh Ali Islami, jil. 1, hal. 445-447, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Ke-21, 1425 H.
source : www.islamquest.net