Seluruh masyarakat Aceh kala itu hidup dalam ketakutan. Konflik yang kemudian diperparah dengan diberlakukannya Darurat Militer, hingga Aceh kala itu pernah di labeli dengan Daerah Operasi Milter.
Hampir setiap hari masyarakat Aceh mendengar suara tembakan. Di mana-mana ada kontak senjata antara GAM dan TNI/Polri. Pada malam, masyarakat Aceh tidak berani berkeliaran. Apalagi saat jam sudah menunjuk 10.
Meski begitu, bangunan-bangunan di Aceh, khususnya di pusat-pusat perkotaan terus dibangun. Pembangunan Aceh tetap ada meski tergolong lambat. Hanya saja, pembangunannya masih terpusat di wilayah perkotaan.
Musibah Minggu pagi
Minggu 26 Desember 2004, hari diawali seperti biasa. Orang-orang pada bersantai. Ada juga yang berkerja. Sebagian ada yang menikmati liburan di rumah sambil tiduran, sebagiannya lagi berkebun atau bertani.
Banyak juga anak-anak muda dan remaja menikmati libur di pantai. Ada yang datang bersama keluarga, ada pula yang datang bersama teman-teman, sahabat, atau malah pacar.
Musibah datang sekitar pukul 8 pagi itu. Bumi Serambi Mekkah tiba-tiba diguncang gempa berkekuatan 9,3 SR. Orang-orang berlarian mencari tempat yang aman dari amukan gempa. Guncangan maha dahsyat yang dirasakan itu seolah mampu membelah tanah. Gempa yang bermuara di Samudera Hindia itu merobohkan sejumlah bangunan. Semua ketakutan.
Tapi bencana itu belum usai. Selang beberapa menit, sebuah musibah yang lebih besar muncul. Air laut dengan gelombang tinggi lebih lebih dari 30 meter menggulung, menerjang. Aceh luluh lantak.
Sepersekian detik, Aceh bagaikan lautan. Rumah-rumah tenggelam hilang ditelan tsunami. Ratusan ribu manusia, dan benda-benda lainnya termasuk tanaman pepohonan dan hewan dibawa bencana dahsyat itu.
Dalam sekejap saja, gelombang pasang itu meruntuhkan semua bangunan-bangunan besar. Rumah, rumah sakit, bangunan sekolah, lembaga permasyarakatan, pertokoan, pasar, semua hancur ditelan tsunami. Nyaris hanya bangunan masjid yang tetap berdiri kokoh.
Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Meulaboh, Aceh Utara, Lhokseumawe, sekitar 14 kabupaten di Aceh terkena musibah itu. Kondisi terparah terdapat di Banda Aceh, Aceh Besar, Meulaboh, Aceh Barat.
Aceh rata dengan tanah. Jika dulunya kita tidak bisa melihat laut dari kejauhan, saat itu laut terlihat jelas. Tidak ada satu bangunan pun yang menghalangi pandangang mata. Hanya masjid dan beberapa pohon kelapa yang tersisa.
Bagi korban yang selamat kala itu, mereka berupaya sekuat tenaga mencari sanak saudara. Anak-anak berjalan dengan tatapan kosong karena kehilangan orangtua dan rumah mereka. Orang-orang yang kebingungan tidak tahu harus ke mana mencari keluarga.
Meski Aceh berstatus daerah konflik, namun ribuan relawan dari berbagai negara masuk ke Aceh. Termasuk relawan lokal. Amerika bahkan sampai mengerahkan kapal induk mereka dan menerjunkan tentara untuk membantu korban tsunami di Aceh.
Lembaga Nonpemerintah (NGO) asing mulai masuk ke Indonesia. Bersama relawan lokal, mereka ikut membantu mengevakuasi mayat-mayat korban. Para relawan mendirikan tenda dan juga menyalurkan bantuan kepada korban-korban yang selamat.
Mereka mengumpulkan mayat-mayat yang bergelimpangan di mana-mana, kemudian disatukan di satu tempat. Keluarga korban dari luar daerah mulai berdatangan. Mereka mencari keluarganya, baik yang selamat maupun yang meninggal.
Kondisi mayat yang berlumuran lumpur dan kehitaman seperti hangus, menyulitkan keluarga korban mengenalinya. Saat itu, ratusan ribu mayat dikuburkan massal di beberapa lokasi terpisah.
Aceh Damai
Musibah tsunami seolah membawa titik terang bagi konflik Aceh. Satu tahun setelah tsunami menghancurkan Aceh, kedua pihak yang bertikai menemui kesepakatan damai. GAM dan Pemerintah Indonesia akhirnya bersepakat damai.
Penandatanganan perjanjian damai itu dilaksanakan di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Ada banyak butir-butir perjanjian damai yang disepakati. Sementara itu, Aceh terus dalam tahap reehabilitasi dan rekonstruksi.
Meski telah damai, Aceh mengalami krisis berat. Menurut laporan salah satu organisasi perburuhan internasional (ILO), Aceh kehilangan 600 ribu lapangan kerja. "Kebanyakan pekerjaan-pekerjaan itu disediakan oleh perusahaan kecil," tulis ILO.
Aktivitas ekonomi lumpuh. Nyaris, warga hanya mengharap bantuan dari para relawan dan negara-negara asing. Banyak warga yang yang tidak bisa melakukan apa-apa, karena semuanya luluh lantak dihantam gelombang.
Perlahan Aceh kembali menatap masa depannya. Perlahan, pemerintah kembali membangun Aceh. NGO-NGO asing yang masuk ke Aceh juga tak segan-segan menggelontorkan dana besar untuk membatu memulihkan kembali kondisi Aceh.
Perlahan infrastruktur Aceh, dengan dibantu pihak asing mulai dibangun. Salah satunya adalah pembangunan jalan yang menghubungkan Banda Aceh dengan Lamno. Jalan sepanjang 240 kilometer itu saat ini dalam kondisi mulus dan nyaris tidak ada satu pun lubang.
Kondisi di jalan ini sungguh berbeda dengan ruas jalan lain yang dibangun pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Ruas jalan Banda Aceh-Lamno ini adalah hasil pembangunan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat melalui USAID. Konon Amerika menghabiskan dana sebesar US$245 juta untuk membangun jalan itu.
Tak hanya Amerika yang mengucurkan dana besar untuk membantu pembangunan fisik pasca bencana gempa dan tsunami menerjang Aceh. Ada beberapa negara lain yang juga turut andil membangun Aceh, salah satunya Jepang.
Negeri Sakura melalui badan bantuannya JICS menggelontorkan dana 2.651 miliar yen untuk membangun jalan sepanjang 122 kilometer di ruas Jalan Calang hingga Meulaboh, Aceh Barat. Jalan itu juga dibangun dengan kondisi yang cukup bagus.
Berkat bantuan pembangunan fisik dari dunia internasional itulah Aceh kembali bangkit dan menatap kehidupan baru yang lebih baik usai dirundung duka bencana.
Aceh Kini
Kini Aceh sudah lebih baik. Suara tembakan yang dulu sering terdengar di Aceh, kini sudah tidak ada lagi. Bangunan rumah, pertokoan, sekolah dan lainnya yang dulu dihantam tsunami, kini telah dibangun kembali.
Dunia pun kini kembali memuji Aceh. Organisasi PBB khusus perlindungan anak, United Nations Emergency Children's Fund (Unicef) kagum atas kesabaran dan semangat rakyat Aceh bangkit dari kehancuran pasca bencana gempa dan tsunami 2004.
"Upaya rakyat Aceh yang luar biasa untuk membangun kembali dengan lebih baik apa yang telah dihancurkan gelombang tsunami," kata Kepala Perwakilan Unicef di Indonesia, Gunilla Olsson.
Kuasa Usaha Australia untuk Indonesia, David Engel, melalui siaran persnya mengatakan paska dilanda bencana tsunami, Aceh mengalami kemajuan yang begitu pesat. Pembangunan di sana berlangsung di semua aspek, termasuk ekonomi, pendidikan dan kesehatan. "Aceh telah maju secara pesat jika dibandingkan satu dasawarsa lalu," kata Engel. (/Vivanews)
source : www.abna.ir