Indonesian
Thursday 28th of November 2024
0
نفر 0

Apakah kisah tentang dicabutnya panah dari kaki Imam Ali As pada waktu salat itu benar adanya?

Apakah kisah tentang dicabutnya panah dari kaki Imam Ali As pada waktu salat itu benar adanya?

Teks berikut ini diadaptasi dari Tafsir Kasyf al-Asrâr Maibadi. Setelah membaca teks tersebut, terdapat beberapa pertanyaan yang mengemuka bagi saya. Disebutkan dalam peristiwa sejarah bahwa Imam Ali As pada sebagian peperangan terluka karena terkena anak panah. Anak panah itu menghujam hingga menyentuh tulangnya. Meski telah diusahakan untuk mencabut anak panah tersebut namun tidak kunjung berhasil. Orang-orang berkata, "Hanya tatkala daging dan kulitnya dicabut dan tulang dipatahkan, anak panah tersebut akan dapat dicabut." Para sahabat utama dan anak-anaknya berkata, "Apabila demikian adanya, kita harus bersabar hingga tiba waktu salat karena tatkala menunaikan salat sedemikian larut dalam salat sehingga beliau tidak tahu-menahu tentang kondisi di sekelilingnya." Mereka pun bersabar menantikan hingga beliau menunaikan salat. Setelah beliau menunaikan salat dan mengerjakan sunnah-sunnah salat, beliau mulai mengerjakan salat-salat sunnah. Tabib datang, menarik daging, mematahkan tulang dan mencabut anak panah tersebut dan Ali masih tetap khusyu mengerjakan salat. Tatkala beliau memberikan salam, beliau berkata, "Sekarang lukaku agak ringan." Orang-orang berkata, "Anda telah menjalani pengobatan sementara Anda tidak mengetahuinya." Imam Ali As berkata, "Pada waktu itu, aku tengah bermunajat kepada Allah Swt, sekiranya dunia terbalik atau orang-orang memukulkan paku dan tombak maka hal itu tidak akan mengusik munajatku kepada Allah Swt." Kemudian saya mencoba membandingkan kisah ini dengan kisah Yusuf dan terpotongnya jari-jari para wanita Mesir. Nah dengan memperhatikan kisah ini yang disebutkan pada pelajaran Sastra Persia, jurusan Sastra dan Humaniora, saya takut kisah ini akan menodai kedudukan dan derajat Amirul Mukminin Ali As. Apakah kisah ini benar-benar pernah terjadi dan dapat diterima sebagai sebuah fakta sejarah? Apakah kisah ini tidak menyisakan pertanyaan bahwa di bagian manakah anak panah itu menghujam pada kaki Imam Ali? Apakah Imam Ali As dalam kondisi ruku, sujud atau berdiri anak panah itu dicabut? Apakah keseimbangan beliau juga tidak terganggu tatkala anak panah itu dicabut? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Jawaban Global

Kisah ini banyak disebutkan dan dinukil pada literature hadis dengan nukilan dan kutipan yang beragam. Meski literatur-literatur dan buku-buku yang mengutip kisah ini tidak termasuk sebagai literatur dan buku derajat pertama, namun mengingat bahwa pertama, kisah ini disebutkan dalam beragam literature, baik literatur Syiah atau pun Sunni. Kedua, para penyusun buku dan periwayat kisah ini adalah ulama popular dan telah dikenal. Ketiga, kandungan kisah ini tidak bertentangan dengan akal dan riwayat, bahkan akal dan riwayat mendukung kemungkinan terjadinya peristiwa seperti ini; karena itu, tidak ada masalah menjelaskan inti peristiwa ini berdasarkan kriteria-kriteria dan standar-standar ilmiah riwayat.

Jawaban Detil

Kisah ini banyak disebutkan dan dinukil pada literatur hadis dengan nukilan dan kutipan yang beragam. Meski literatur-literatur dan buku-buku yang mengutip kisah ini tidak termasuk sebagai literatur dan buku derajat pertama, namun perlu diingat bahwa pertama, kisah ini disebutkan dalam beragam literatur, baik literatur Syiah atau pun Sunni; seperti Irsyâd al-Qulûb Dailâmi, al-Anwâr al-Nu'mâniyah, al-Manâqib al-Murtadhawiyah, Hilyat al-Abrâr, Muntahâ al-Âmal, al-Mahajjat al-Baidhâ demikian juga pada buku-buku fikih seperti al-Urwat al-Wutsqâ.[1]

Kedua, para penyusun buku dan periwayat kisah ini adalah ulama popular dan telah dikenal. Ketiga, kandungan kisah ini tidak bertentangan dengan akal dan riwayat, bahkan akal dan riwayat justru mendukung kemungkinan terjadinya peristiwa seperti ini; karena itu, menurut hemat kami, tidak ada masalah menjelaskan inti peristiwa ini berdasarkan kriteria-kriteria dan standar-standar ilmiah riwayat.

Dalam menjelaskan pandangan rasional masalah ini terdapat dua dalil yang dapat disebutkan:

1. Di antara tipologi dan karakter penting Ali bin Abi Thalib As adalah gemar dan cinta pada ibadah sedemikian sehingga Ibnu Abi al-Hadid Mu'tazili dalam Syarh Nahj al-Balâghah menulis, "Baginda Ali adalah orang yang paling abid dalam urusan ibadah; salat dan puasanya lebih banyak dari kebanyakan orang. Orang-orang belajar darinya salat malam dan dzikir-dzikir serta amalan-amalan mustahab."[2]

Imam Ali As sedemikian khusyu dalam ibadah dan perhatiannya tercurah sepenuhnya pada Allah Swt sehingga untuk mengeluarkan anak panah yang menghujam di kakinya pada perang Shiffin dan tidak mampu dicabut dari kakinya dalam kondisi normal, maka pada waktu salat, dalam kondisi sujud anak panah itu dicabut dari kakinya. Tatkala Imam Ali As usai menunaikan salat, beliau sadar bahwa anak panah telah dicabut dari kakinya. Beliau bersumpah bahwa ia tidak merasakan bagaimana anak panah itu dicabut;[3] Mengingat bahwa salat adalah tiang agama, pilar mikraj dan munajat maka orang yang mengerjakan salat sejatinya berada dalam kondisi ‘uruj (melesak) menuju Allah Swt dan berbisik-bisik dengan-Nya. Karena itu, mata, telinga, tangan dan kaki seluruhnya dalam kekuasaan Allah Swt dan tidak berada dalam kekuasaan orang yang mengerjakan salat.

Di samping itu, iman Ali bin Abi Thalib adalah iman yang berdasarkan pada pengenalan hakiki dan memandang ibadah kepada Tuhan sebagai ziarahnya demikian juga salat sebagai bukti-bukti Ilahi dan ziarah kepada Tuhan. Imam Ali Abin Thalib memandang Tuhan sebagai kieindahan mutlak. Karena itu, tentu saja beliau tidak lagi melihat dirinya. Imam Ali As menyembah Tuhan dalam kondisi merdeka dan terlepas dari segala bentuk keterikatan dan ketergantungan pada selain-Nya.[4]

2. Pelbagai kondisi para nabi, para imam dan para wali Allah dalam salat tidak semuanya harus sama. Terkadang dengan menjaga kehadiran hati (hudhur al-qalb), mereka juga tetap menaruh perhatian terhadap alam majemuk (dunia) dan pelbagai manifestasi material. Mereka tidak melalaikan hal ini. Apabila terjadi sebuah masalah, mereka menunjukkan reaksi apabila diperlukan. Dan terkadang mereka tenggelam dalam samudera alam malakut dan tidak melihat segala sesuatu selain Zat Suci Allah Swt. Mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Bahkan mereka sama sekali melupakan badannya sendiri sehingga seolah-olah panca indra mereka tidak lagi berfungsi tatkala tersedot magnet cinta dan irfan Rabbani. Mereka tidak merasakan segala sesuatu yang berhubungan dengan badan. Ditariknya anak panah yang menancap di kaki Imam Ali As pada waktu salat dalam kondisi sujud juga demikian adanya.[5]

Karena itu, dengan memperhatikan nukilan dan riwayat yang beragam dalam masalah ini yang sebagian secara lahir terasa aroma ghuluw (kecendrungan mendudukan Imam Ali pada maqam rububiyah) namun hal itu tidak akan menciderai inti kejadian kisah ini. Dan nampaknya inti cerita adalah yang disebutkan pada buku Syarh Nahj al-Balâghah dan Hayât-e Ârifân-e Imam Ali As sebagaimana yang telah kami jelaskan pada penjelasan bagian pertama di atas.

Kisah ini, tidak hanya tidak akan mendegradasi kedudukan dan derajat Imam Ali As bahkan akan menyebabkan pemuliaan dan pengagungan terhadap Imam Ali As; karena sebagaimana para wanita Mesir yang terpesona dan fana ketika menyaksikan paras rupawan Nabi Yusuf As sehingga tanpa sadar mereka memotong jari-jari mereka sendiri, kisah Imam Ali As juga demikian adanya. Karena Imam Ali As hanya melihat keindahan mutlak, sedemikian apa adanya sehingga seluruh anggota badannya tidak dirasakan dan sepenuhnya berada dalam wewenang Ilahi. Dalam kondisi seperti ini, Imam Ali tidak lagi melihat dirinya dan menaruh perhatian terhadap kemilau dunia. Dengan demikian, wajar ketika anak panah itu dicabut dari kaki Imam Ali dalam kondisi sujud, Imam Ali As tidak merasakan apa pun. [iQuest]

 


[1]. Dailami, Irsyâd al-Qulûb, jil. 2, hal. 25 & 26, Intisyarat-e Nashir, Qum, Cetakan Pertama, 1376 S. Sayid Ni'matullah Jazairi, al-Anwâr al-Nu'maniyah, jil. 2, hal. 371, Syerkat Cap Tabriz; Muhammad Saleh Kasyfi Hanafi, al-Manâqib al-Murtadhawiyah, hal. 364. Sayid Hasyim Bahrani, Hilyat al-Abrâr, jil. 2, hal. 180; Syaikh Abbas Qummi, Muntahâ al-Âmal, hal. 181, Capkhane Ahmadi, Cetakan Kesembilan, 1377; Faidh Kasyani, al-Mahajjat al-Baidhâ, jil. 1, hal. 397 & 398, Beirut; Anwâr al-Nu'mâniyah, hal. 342. Demikian juga buku-buku fikih seperti al-Urwat al-Wutsqâ, Muhammad Kazhim Yazdi, Ibadat, Bab al-Shalat.

[2]. Abdul Hamid ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 1, hal. 27, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah.

[3]. Habibullah Khui, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 8, hal. 152; Abdullah Jawadi Amuli, Hayât-e ‘Ârifân-e Imâm ‘Ali As, hal. 63 & 64. Markaz Intisyarat-e Isra, Cetakan Keempat, 1385; referensi-referensi yang disebutkan pada catatan kaki No. 1.

[4]. Abdullah Jawadi Amuli, Hayât-e ‘Ârifân-e Imâm ‘Ali As, hal. 62 & 64, dengan sedikit perubahan dan ringkasan.

[5]. Disadur dari Hayât-e ‘Ârifân-e Imâm ‘Ali As, hal. 62 & 64; Murtadha Muthahhari, Imâmat wa Rahbari, Qum, Sadra, Cetakan Keempat, 1365 S, hal. 180-181.

 


source : www.islamquest.net
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Dapatkah Anda jelaskan tentang kepribadian Ubay bin Ka’ab?
Mengapa Imam Hasan As tidak melakukan perlawanan seperti saudaranya?
Apakah wahyu itu, dan bagaimanakah wahyu itu diturunkan kepada para nabi?
Apa warna sorban Nabi Saw dan para Imam Maksum As?
Kapan ayat “Wa Yuth’imûna al-tha’âma ‘ala hubbihi miskinan wa yatiman wa ...
Mengapa dalam al-Qur’an menjelaskan kisah secara detil dan kisah Nabi Musa As lebih ...
Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan ...
Siapakah nama ibu kandung Nabi Ibrahim As?
Apakah Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam? Apakah hal ini tidak bertentangan ...
Untuk memasuki rumah baru doa-doa apa saja yang harus dibaca dan amalan-amalan apa saja ...

 
user comment