Indonesian
Tuesday 14th of May 2024
0
نفر 0

Haji adalah Kesempatan Berharga untuk Pembangunan Spritual

Ayatullah Jawadi Amuli--sebagaimana tradisi tiap tahunnya—menyampaikan pesan yang ditujukan kepada jamaah haji. Dalam pesannya ini, beliau menjelaskan pesan utama bagi jamaah haji dalam jamuan Ilahi. Dan pesan bagi jamaah haji yang mereka merupakan tam
Haji adalah Kesempatan Berharga untuk Pembangunan Spritual

Ayatullah Jawadi Amuli--sebagaimana tradisi tiap tahunnya—menyampaikan pesan yang ditujukan kepada jamaah haji. Dalam pesannya ini, beliau menjelaskan pesan utama bagi jamaah haji dalam jamuan Ilahi. Dan pesan bagi jamaah haji yang mereka merupakan tamu-tamu Allah adalah memperkuat hubungan antara dirinya dan Nabi Ibrahim al-Khalil yang dengan perintah Allah beliau membangun Ka’bah, sehingga beliau mengukuhkan keesaan dan kesatuan Allah Swt, dan melenyapkan syirik serta menyembah berhala dari masyarakat dunia.

Ayatullah Jawadi Amuli menjelaskan bahwa haji merupakan kesempatan yang berharga untuk melakukan pembangunan spiritual dan para jamaah haji dalam wisata spiritual ini harus memiliki hubungan timbal balik dengan Allah, dimana mereka adalah tamu Allah dan sekaligus tuan rumahnya. Dan hal ini tidak akan pernah terwujud kecuali bila semua jamaah haji dalam pelbagai strata sosial dan kapasitasnya, masing-masing memposisikan dirinya di hadapan Zat Allah sebagai orang yang lemah dan fakir. Dan merupakan tanggung jawab para pengurus masalah haji dan kaum rohaniawan/agamawan di lembaga yang menangani haji untuk menjelaskan kepada jamaah haji bentuk muamalah timbal balik ini antara hamba dan Allah Swt.

Ayatullah al ‘Uzhma Jawadi Amuli dalam permulaan pesannya kepada jamaah haji Baitullah al-Haram, beliau mengatakan, “Salam Ilahi kepada para pembangun Ka’bah yang mereka merupakan pelopor dan pendiri kiblat serta thawaf kaum Muslimin dunia. Salam Ilahi kepada penyeru tauhid yang dari sisi Ka’bah ini mereka menyeru masyarakat dunia kepada keesaan dan kesatuan Allah Swt. Salam Ilahi kepada seluruh orang-orang yang memenuhi panggilan Ibrahim dan seruan Nabawi, ‘Alawi, Hasani dan Husaini dan mereka bersegera untuk berziarah ke Bait al-‘Atiq dan mereka berupaya untuk menjadikannya sebagai kiblat resmi dan tempat thawaf kaum Muslimin di dunia.”

Dalam lanjutan pesannya kepada para jamaah haji dan orang-orang yang ber-umrah, beliau mengisyaratkan bahwa pesan pertama  yang berada di pundak para jamaah haji dan orang-orang yang ber-umrah yang insya Allah hajinya diterima, umrahnya diterima dan ziarahnya diterima serta doanya mustajab adalah memperkuat hubungan antara mereka dan kekasih Allah, yaitu Nabi Ibrahim; keberadaan yang berkah dari Nabi Ibrahim yang membangun dengan perintah Allah bangunan ini, sehingga beliau meneguhkan keesaan dan kesatuan Allah. Kedua,  Nabi Ibrahim adalah penyeru panggilan tauhid ini. Ketiga, beliau menyeru para tamu yang mereka merupakan tamu-tamu Allah untuk datang ke negeri ini sehingga dunia Islam terselamatkan dari syirik dan yang menyerupainya.

Ayatullah Jawadi Amuli juga mengutip ayat-ayat yang mulia yang membahas kebesaran haji dan mengatakan, “Ketika Zat suci Allah memerintahkan Ibrahim al-Khalil untuk membangun tempat thawaf dan kiblat, Dia berfirman bahwa orang-orang yang datang ke tanah ini adalah tamu-tamu-Ku. Meskipun rahmat Ilahi itu begitu luas dan meliputi segala sesuatu, tetapi di negeri wahyu, rahmat ini begitu kuat dan besar bagaikan ombak. Sebab, فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ  Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim”, (QS. Ali ‘Imran: 96) dan ketika mereka menjadi tamu-tamu al-Rahman, dan Allah menjadi tuan rumahnya, mereka tidak boleh membawa sesuatu pun. Sebab, membawa bekal itu merupakan sesuatu yang paling tercela bila bertamu kepada Yang Maha Dermawan. Maka, mereka harus memanfaatkan bekal kasih sayang, yakni sifat rahmaniyyah dan rahimiyyah Ilahi, dan bekal itu merupakan rezeki yang mulia, yaitu ‘tauhid’.

Penulis kitab Tafsir Tasnim ini melanjutkan, “Tamu-tamu utama tempat thawaf dan tempat kiblat ini adalah rijal (orang-orang yang beralas kaki) dan dhamir (berkerdaraan onta yang kurus). Meskipun setiap orang yang datang akan terbuka baginya pintu ini. Tetapi, tamu-tamu utama tempat thawaf dan tempat kiblat ini adalah orang-orang yang berjalan kaki dan orang-orang yang memiliki kendaraan dan tunggangan yang lemah dan kurus. Tamu-tamu utama adalah orang-orang yang berjalan kaki menuju ke Mekkah, dan tamu-tamu utama adalah orang-orang yang bergerak dengan kendaraan/tunggangan yang kurus dan lemah yang mereka bergerak dari bukit-bukit yang tinggi. Meskipun setiap orang yang datang, baik orang yang mampu atau pun orang yang miskin akan dibukakan pintu pada masing-masing mereka, tetapi, tamu-tamu yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki dua syarat ini, yaitu orang-orang yang memiliki dua syarat ini atau orang-orang yang berpikir sesuai dengan dua syarat ini atau orang-orang yang datang dalam keadaan berjalan kaki atau menunggangi tunggangan yang lemah dan kurus. Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS.al-Hajj: 27)

Atau bila mereka termasuk orang yang mampu, mereka mendatangi orang-orang yang berjalan kaki dan memiliki kendaraan yang lemah. Adalah benar dalam ayat yang lain dikatakan, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali ‘Imran: 97)  Meskipun orang-orang kaya yang mencapai tingkatan ‘mampu’ wajib melaksanakan ibadah haji, tetapi seorang yang kondisinya susah memiliki hisab/hitungan yang lain; seorang yang lemah memiliki hisab yang lain. Orang yang dipanggil dan orang yang diseru juga memiliki hisab yang lain.”

Ayatullah al ‘Uzhma Jawadi Amuli juga menjelaskan bahwa di negeri wahyu terdapat hidangan nubuwwah/risalah dan wilayah (kecintaan kepada Ahlulbait) yang luas. Beliau melanjutkan, “Negeri ini adalah negeri wahyu, dan di negeri wahyu dibentangkan secara luas meja makan kenabian, wilayah dan imamah. Tamu-tamu di negeri ini menikmati makanan keesaan dan kesatuan Ilahi dari satu sisi, dan mereka memanfaatkan nubuwwah, risalah, khilafah dan imamah dari sisi yang lain. Bila mereka bukan termasuk rijal dan dhamir, maka mereka harus berusaha memakai atribut ini. Sebab, dalam hati yang luluh dan hancur, di situlah cahaya akan masuk. Rahasia bahwa Allah Swt mengajak kelompok ini adalah Allah ingin supaya ajakan terhadap tamu-tamu-Nya itu dijawab sehingga terjadi sebuah hubungan timbal balik antara ajakan dan undangan ini.”

Beliau melanjutkan, “Adalah benar bahwa setiap orang yang datang ke negeri Mekkah dan negeri wahyu, ia termasuk bagian dari para tamu Allah, tetapi ada dua model tamu: Pertama, tamu yang Allah Swt melakukan hubungan timbal balik dengannya, ia sendiri menerima undangan begitu juga Allah senang menjamunya. Tetapi, ada sebagian tamu yang tidak memiliki hubungan timbal balik dengan Allah. Allah mengatakan, baik kepada kekasih-Nya Nabi Ibrahim atau pun kepada kecintaan-Nya, Nabi Muhammad saw: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”

‘Mengapa mereka harus engkau undang/panggil?’ Sebab, mereka adalah tamu-tamu khusus-Ku.” Pertama, tuan rumah itu adalah kekhususan-Ku. Kedua, Saya juga adalah tamu-tamu mereka, dan ini adalah hubungan timbal balik. Bila dikatakan bahwa orang yang berhaji dan orang yang ber-umrah itu adalah tamu al-Rahman, maka Allah mengatakan, “Aku berada di sisi hati yang hancur.” Orang yang hatinya hancur, ia akan datang sebagai rijal (beralas kaki), “niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” Orang yang fakir/hatinya hancur adalah tuan rumah-Ku dan Aku akan menerima perjamuannya. Oleh karena itu, seorang yang berhaji dan melakukan umrah bila berada dalam kelompok rijal dan memiliki predikat wa ‘ala kulli dhamirin meskipun ia mampu,  maka ia datang dalam keadaan seperti ini, yaitu keadaan lemah dan fakir. Bila seorang hamba yang miskin yang menyadari kepapaannya dan selalu berharap akan pertolongan Allah, bila ia datang dalam keadaan seperti ini, maka ia dapat datang kepada Allah dengan memiliki hubungan timbal balik. Di satu sisi ia adalah tamu Allah, di sisi lain ia adalah tuan rumah Ilahi, meskipun dalam dua kondisi tersebut ia adalah tamu Allah, sebab perjamuan ini berasal dari Zat Allah. “Tiadalah kenikmatan yang kita terima kecuali dari-Mu.”

kemudian beliau mengisyaratkan tugas para pengurus jamaah haji dan para agamawan di bi’tsah (lembaga pengurus jamaah Haji Iran). Dan beliau menegaskan, “Tugas seluruh kita khususnya para ulama, dan kaum rohaniawan dan lebih khusus lagi para pejabat bi’tsah, semuanya harus berusaha supaya hubungan timbal balik antara hamba dan Maula (Allah) dalam masalah haji dan umrah itu dapat diterapkan dan diaktualisasikan. Kita harus bergerak ke arah ini; kita harus melakukan muamalah dengan Allah dan harus terjadi hubungan timbal balik antara yang lemah dan yang menjamu.”

Beliau menjelaskan bahwa sesuai dengan perintah Alquran, bahwa seluruh kaum Mukmin adalah putra-putra ideologis Nabi Ibrahim, dan beliau mengatakan, “Wujud yang penuh berkah dari Nabi Ibrahim al-Khalil yang dengan tegas mendeklarasikan bahwa ‘Barangsiapa yang mengikutiku, ia termasuk dariku.’ Ini merupakan bagian dari panggilan kenabian yang umum, seruan risalah yang umum, seruan khilafah ilmu, seruan imamah ilmu, dan ini tidak terkait secara khusus dengan satu bangsa dan satu  kaum. Penjelasan yang mencerahkan dari Allah Swt melalui lisan Nabi Ibrahim al-Khalil terdapat dalam surah Ibrahim yang mengatakan, ‘Siapa saja yang mengikuti jalanku, ia termasuk dariku.’ Semua dari kita adalah putra-putra al-Khalil yang di akhir surah al-Hajj Allah berfirman, “(Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu.” (QS.al-Hajj: 78) Beliau (Ibrahim) adalah ayah kita, dan beliau dengan tegas mengatakan bahwa ‘Barangsiapa mengikutiku, ia termasuk dariku’. Oleh karena itu, kita dapat menjadi Ibrahim dan berpikir ala Ibrahim.”

Ayatullah al ‘Uzhma Jawadi Amuli menganggap bahwa haji merupakan kesempatan untuk melakukan pembangunan spiritual. Dan beliau mengakui bahwa bila seseorang telah menjadi Ibrahim, maka dalam lingkungannya ia harus membangun Ka’bah, ia harus membangun masjid dan tempat penyembahan dan thawaf, ia sendiri harus menjadi kiblat dan tempat thawaf serta tempat sembahan. Sehingga dengan melihatnya, melalui perilaku, sunnah, dan pola sikapnya, maka banyak orang-orang yang mengambil manfaat ibadah darinya sehingga ia menjadi pengikut al-Khalil dan dalam seluruh tindakannya hendaklah ia berpikir berdasarkan keesaan dan kesatuan Allah dan tidak berpikir selain hal ini. Sebagaimana firman-Nya:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami.” (QS.al-Baqarah: 127) Dan doa "Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami”merupakan seruan dari lisan insinyur dan arsitek seluruh batu-batu yang telah dipindahnya. Ia berulang kali mengatakan, “Tuhan kami, terimalah amal dari kami”. Maka, dalam kehidupan sehari-hari, kita yang membangun masjid dan tempat ibadah sehingga dapat menjadi tempat thawaf dan kiblat serta tempat ibadah seluruh kaum Muslimin, kita harus melakukan hal itu dengan slogan “rabbana taqabbal minna”. Sebab ayah kita telah melakukan hal ini, dan kita pun harus meniru pesan Ibrahim. Sehingga kita pun dapat menjadi penghuni rumah al-Khalil. Maka bila seseorang telah menjadi penghuni rumah al-Khalil, maka ia pun akan menjadi penghuni rumah Rasulullah saw.

Dalam lanjutannya, Ayatullah Jawadi Amuli menyatakan bahwa keberadaan yang berkah dari Nabi Ibrahim yang berdasarkan ayat “agama nenek moyangmu Ibrahim”, merupakan ayah kita dan telah beliau mengundang kita untuk memenuhi perjamuan. Beliau telah menghancurkan pelbagai berhala dan segala bentuk kesyirikan zahir dan batin. Maka para jamaah haji dan para mu’tamirin baik dari timur dan barat harus mengikuti Ibrahim al-Khalil dan mereka harus berkomitmen untuk memerangi pelbagai bentuk kesyirikan.

Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, haji yang sekarang dilakukan oleh peziarah dan para mu’tamirin yang insya Allah dengan kasih sayang Allah merupakan haji yang mabrur. Namun perlu diingat bahwa Allah Swt Yang Mahasuci berfirman kepada seseorang yang membangun tempat tawaf dan kiblat ini serta tempat ibadah ini dan memerintahkannya untuk mengumumkan bahwa “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.” (QS. Al-Hajj: 37) Amal zahir berupa kurban (menyembelih binatang), daging, darah dan batu serta yang sepertinya yang terdapat dalam amalan melempar jumrah. Ini semua merupakan kewajiban yang mesti kita lakukan dan kita pun taat seratus persen untuk melaksanakannya. Tetapi prinsip dari perbuatan ini yang ditegaskan dalam ayat tersebut adalah bahwa ruh ibadah ini harus sampai kepada Allah. Ruh ibadah adalah kerinduan kepada ketauhidan monoteisme dan kemanunggalan dengan-Nya. Dan hal ini terwujud dengan: Pertama, menghidupkan kenabian dan wahyu serta risalah dan imamah serta khilafah Ahlulbaitku. Kedua, “menghancurkan berhala-berhala itu berkeping-keping, kecuali yang terbesar bagi mereka.” (QS.al-Anbiya’: 58) Ketiga, supaya dunia menjadi tempat yang aman.“

Di akhir pesannya bagi para jama’ah haji, beliau berdoa dan berharap semoga Zat Suci Allah menerima haji dan umrah serta ziarah seluruh para peziarah Baitul ‘Atiq dan seluruh doa para jamaah haji dan para mu’tamirin, dan para peziarah dikabulkan-Nya.


source : abna24
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Korupsi Waktu dalam Pandangan Islam
Ujian dan Pertolongan dari Allah bagi Para Kekasih-Nya (2)
Anak-anak Suriah Peringati Hari Asyura
Adzan untuk Orang Mati dan Bayi
Imbalan Menggunakan Karunia di Jalan Tuhan
SAYYIDINA HUSAIN BIN ALI, PEMIMPIN PARA SYUHADA
Apakah yang dimaksud dengan manusia diuji dengan kekurangan harta (kekurangan hasil ...
Sejarah Imam Ali AS (Bagian 2)
Kedudukan Imam dalam Masyarakat
Takfiri dan Penghancuran Pemakaman Baqi

 
user comment