Indonesian
Monday 22nd of July 2024
0
نفر 0

Filsafat Penantian dan Refleksi Tragedi Karbala (bagian 2)

Tiga asas penantian Penantian memiliki tiga asas; pengetahuan, cinta, dan teladan. Ketiga asas ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam diri penanti sejati. Pengetahuan yang bersumber dari akal akan melahirkan cinta dalam hati, cinta pada gilirannya akan menggerakkan penanti untuk meneladani pribadi yang
Filsafat Penantian dan Refleksi Tragedi Karbala (bagian 2)

Tiga asas penantian

Penantian memiliki tiga asas; pengetahuan, cinta, dan teladan. Ketiga asas ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam diri penanti sejati. Pengetahuan yang bersumber dari akal akan melahirkan cinta dalam hati, cinta pada gilirannya akan menggerakkan penanti untuk meneladani pribadi yang dinanti. Dengan kata lain, tindakan meneladani merupakan perwujudan cinta, sedang cinta merupakan manifestasi pengetahuan. inilah yang dimaksud dengan harmonisasi akal, hati dan amal, atau keselarasan pikiran, perasaan dan tindakan. Filsafat sadra mengajarkan kita cara pandang tauhid dan gradatif, yaitu paradigma yang melihat pluralitas sebagai unitas (ketunggalan) yang bergradasi. Begitu juga dengan pengetahuan, cinta dan teladan (baca tindakan meneladani) yang pada hakikatnya merupakan entitas yang satu yang bergradasi. Wujud teladan dan wujud cinta pada hakikatnya merupakan wujud pengetahuan dalam gradasinya masing-masing. Oleh karena itu, kualitas pengetahuan memiliki efek terhadap kualitas cinta dan konsistensi keteladanan. Pengetahuan yang komprehensif dan argumentatif (burhani) akan melahirkan cinta permanen (kesetiaan cinta), dan kesetiaan cinta terwujud dalam konsistensi meneladani yang dinanti. Inilah yang dimaksud dengan taklid melek yang bersumber dari cinta melek yang lahir dari pengetahuan argumentatif. Yaitu taklid yang didasari oleh ketulusan cinta terhadap pribadi yang ditaklidi, dan ketulusan cinta yang diperoleh dari keparipurnaan pengetahuan atas pribadi yang dicintai. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang komprehensif dan argumentatif akan melahirkan ketundukan dan penyerahan akal, Puncak ketundukan akal akan turun dan memaksa jiwa untuk tunduk dan menyerah pula hingga terbentuklah cinta. Cinta yang didasari pengetahuan ini bagaikan bara api dalam hati yang memaksa diri untuk menyerah dan tunduk hingga lahirlah kepasrahan total untuk mengikuti (taqlid) dan membentuk diri serupa dengan yang dinanti dari setiap dimensi.

Setelah uraian pengantar di atas, tiba saatnya kita mengkaji satu persatu dari tiga asas penantian dalam kaitannya dengan imam Zaman dan tragedi karbala.

Asas Pengetahuan

Penanti sejati adalah mereka yang mengetahui dan mengenali siapa yang dinanti dan segala derivasinya yang dalam hal ini adalah Imam Zaman; Mahdi Al-muntadzar. Mengenal Imam Zaman tak lepas dari mengenal para nabi dan manusia-manusia suci sebelum beliau. Hal ini dikarenakan beliau adalah pewaris para nabi dan manusia-manusia suci. Beliau adalah pelanjut dan pengemban terakhir misi dan risalah kenabian. Inilah yang dimaksud dengan slogan “muhammadiyatul huduts husainiyyahtul baqo, husainiyyatul huduts, zainabiyyatul baqo. Zainabiyyatul huduts, mahdiyyatul baqo”. Namun, mahdiyyatul baqo mesti ditopang dan disirami oleh keteladanan dan tangisan para pengikutnya; keteladanan dan tangisan yang bersumber dari kecintaan dan pengetahuan. Oleh karena itu, sebelum mengenal Al-mahdi, kita akan kembali menengok kebelakang untuk mengenal manusia-manusia suci yang dalam kesempatan kali ini kita cukupkan dengan mengenal Al-husain dan tragedi karbalanya, dan lebih dispesifikkan lagi dalam dua topik utama yaitu mengenal pribadi Al-husain dan mengenal luka dan deritanya.

Pribadi Al-husain

Terdapat dua paradigma berbeda dalam mengenal pribadi Al-husain dan karbala; paradigma materialis, dan paradigma ilahi. Paradigma materialis mengenal Al-husain sebatas keturunan (nasabi) semata, tidak lebih. Imam Husain adalah putra Ali dan Fatimah serta cucu Rasulullah Saw yang tidak ada bedanya dengan putra dan cucu manusia-manusia lainnya. Sehingga, mengikuti atau mengkhianatinya adalah hal yang sama dan wajar dalam panggung kehidupan. Pengenalan nasabi ini hanya akan melahirkan inkonsistensi dan perselingkuhan. Syimir mungkin dapat dijadikan tokoh penganut paradigma ini, dimana ia mengenal Al-husain namun sebatas keturunan semata. Dengan ini ia berani menjual Al-husain dengan jabatan yang ditawarkan Yazid. Si penjagal kudisan itu sesaat sebelum memenggal kepasa suci Al-husain berkata:” engkau (al-husain) adalah salah satu Imam, anak Ali bin Abi Tholib dan Fatimah Zahro serta cucu Rasulullah Saw, tetapi jabatan dan harta lebih aku sukai ketimbang dirimu”. Segelintir orang di Saqifah juga memandang Ali bin Abi Thalib dengan pandangan materialis. Imam Ali bagi mereka tidak lebih dari manusia biasa, sehingga memilih Abu Bakar atau mengikuti Ali bin Abi thalib sebagai khalifah bukanlah hal yang berbeda. Keduanya merupakan sahabat nabi yang mulia.

Para orientalis, sebagaimana yang dilaporkan seorang cendekiawan Kristen; Antoine Bara, juga menggunakan paradigma materialis dalam melihat tragedi Karbala. Sehingga, dengan ini mereka hanya melihat pedang-pedang yang berlumuran darah, tombak-tombak yang memerah, kepala-kepala yang terputus dari badannya dan sisi-sisi afeksi dan materialistik lainnya. Bagi mereka, pemeran tragedi Karbala, baik tokoh protagonis maupun antagonis telah memerankan perannya dengan baik di pentas Karbala. Tragedi Karbala tidak lebih dari kisah sejarah belaka yang dibacakan kemudian terlupakan, tanpa menyisahkan visi-misi ideologis yang harus ditanamkan dalam diri usai mengenang tragedi tersebut.

Berbeda dengan paradigma materialis, paradigma Ilahi memandang Al-husain sebagai wujud kebenaran yang tidak dapat ditukar dengan apapun mesti nyawa sebagai taruhannya. Al-husain adalah ekstensi manusia sempurna yang keniscayaan eksistensinya di setiap zaman dapat dibuktikan dengan pendekatan rasional (seperti yang akan dijelaskan di bagian asas cinta). Sehingga, bagi mereka yang ingin menapaki jalan hijrah dari ketertawanan materi menuju kebebasan non-materi tidak akan mungkin rela menukar Al-husain dengan materi. Hal ini dikarenakan dalam paradigma ilahi, Al-husain adalah kopula yang menghubungkan manusia untuk mencapai kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial yang berada di level atas hirarki eksistensi. Paradigma ini yang membuat segelintir sanak saudara dan sahabat tetap setia mengikuti Al-husain di padang Karbala. Mereka konsisten dalam mengikuti Al-husain lantaran kecintaan mereka kepada Al-husain; cinta yang lahir dari pengetahuan yang benar dan komprehensif atas pribadi Al-husain.

Paradigma Ilahi mencoba menguak sisi-sisi maknawi dan transenden dari tragedi karbala. Tragedi karbala adalah kelas yang mengajarkan nilai-nilai luhur yang universal, ideologi dan visi-misi yang tidak dibatasi oleh golongan dan madzhab tertentu. Dengan ini, setiap manusia yang memiliki paradigma ilahi akan mampu menangkap dimensi maknawi ini, lantaran dimensi transenden tragedi Karbala hanya bisa disingkap dengan penalaran dan perenungan-perenungan tanpa melibatkan perasaan dan afeksi psikologis. Mengenang tragedi Karbala adalah proses meneladani dan membentuk diri menjadi Al-husain dan para ksatria Karbala. Tokoh-tokoh kemanusiaan dunia seperti Soekarno, Che Guevara, Gandi, Imam Khumaini dan lain-lain adalah pribadi-pribadi yang mampu menangkap dimensi maknawi dan transenden dari tragedi Karbala yang menyejarah ini.

Derita Al-husain

Derita pada hakikatnya adalah kegelisahan diri yang menuntut hadirnya penawar; baik kegelisahan fisik (derita fisik), kegelisahan psikologis (derita jiwa) maupun kegelisahan filosofis (derita pengetahuan). Disatu sisi, visi-misi merupakan formula-formula yang disusun sebagai penawar derita dan kegelisahan diri. Artinya, realisasi visi-misi merupakan penawar yang mengobati derita dan kegelisahan diri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa visi-misi bersifat sekunder, sedang derita bersifat primer. Dengan kata lain, visi-misi merupakan turunan dari derita. Yakni, kita harus mengenal derita dan kegelisahan pada tahap pertama kemudian mengenal visi-misi pada tahap selanjutnya. Hal inilah yang menyebabkan kami dalam tulisan sederhana ini mencukupkan diri untuk menyingkap derita dan kegelisahan apa yang mampu mengguncang jiwa agung manusia-manusia suci khususnya Al-husain.

Kendatipun dalam kandungan riwayat disebutkan bahwa kita harus bahagia jika para mnausia suci bahagia, dan bersedih jika mereka bersedih. Namun yang menjadi problem adalah benarkah kita sudah mengetahui dengan benar kebahagiaan dan kesedihan mereka yang dengannya kita harus bahagia dan bersedih? Benarkah kita merasakan kebahagian dan kesedihan yang mereka rasakan? Ataukah kebahagiaan dan kesedihan kita justru berbeda dengan kebahagiaan dan kesedihan mereka? Pertanyaan-pertanyaan semisal ini semakin memperjelas urgensi telaah atas derita dan luka para manusia suci demi terhindarnya kita dari tangisan dan kesedihan yang sia-sia. Sia-sia dikarenakan kita menangisi derita dan luka yang tidak dirasakan oleh mereka. Kita menangisi luka yang lain. Hal ini semakin kronis lantaran hal ni berimplikasi pada kesalahan dalam memberikan obat penawar atas luka tersebut. Kesalahan obat penawar akibat dari kesalahan dalam mendiagnosa jenis derita.

Al-husain adalah pribadi agung yang jiwanya tidak lagi tertawan oleh raganya. Dengan ini, beliau mampu mengoperasionalkan jiwanya tanpa butuh pada instrumen raga. Dengan kata lain, raga tidak lagi memberikan efek pada jiwanya. Berbeda dengan jiwa-jiwa mayoritas dari kita yang masih tertawan oleh raga, sehingga jiwa-jiwa kita masih butuh pada raga dalam melakukan aktifitasnya. Terkadang jiwa kita juga terbebas dari kerangkeng raga dalam melakukan aktifitasnya. Namun, kebesan tersebut tidak kita lakukan secara sadar, melainkan dalam kondisi tidak sadar dimana kita sedang tertidur. Lain halnya dengan jiwa Al-husain yang senantiasa terbebas dari pengaruh raga; tertidur maupun terjaga. Dari uraian ini, jelaslah bahwa derita Al-husain bukan derita fisik seperti sayatan pedang atau hujaman tombak. Jiwa Al-husain begitu agung untuk merasakan derita-derita fisik. Derita dan luka yang mampu mengalirkan air mata Al-husain adalah derita psikologis. Jiwa agung Al-husain menangis menyaksikan kesesatan umat. Kesesatan yang lahir dari kebodohan. Al-husain menderita melihat akal umat yang menjadi tawanan hati hingga mereka tak mampu lagi mengenali Al-husain secara paripurna. Kegelisahan Al-husain adalah rasa cemas atas kesesatan umat. Inilah derita dan kegelisahan Al-husain, derita dan kegelisahan sosial. Derita dan kegelisahan yang harus kita rasakan dan temukan solusi dan penawarnya. Bukan derita fisik yang kita sendiri tidak tahu bagaimana cara mengobati luka tersebut. Bisa dikatakan perilaku qamezani (melukai diri) adalah akibat dari kesalahan diagnosa atas derita Al-husain. Mereka menyangka derita Al-husain adalah derita fisik sehingga mereka juga melukai fisik sembari berharap bersama Al-husain dalam derita. Namun, persangkaan hanyalah persangkaan, harapan tinggal harapan. Derita yang mereka rasakan bukan derita yang dirasakan Al-husain. Derita yang mereka tidak rasakan adalah derita yang dirasakan Al-husain

Derita dan kegelisahan Al-husain adalah derita dan kegelisahan manusia-manusia suci lainnya. Derita mereka satu, kegelisahan mereka sama. Derita kanjeng Nabi Saw bukan derita kematiannya, melainkan adanya visi-misi penyesatan umat yang dirancang sebagian oknum. Kegelisahan kanjeng nabi bukan kegelisahan harta warisan yang akan ditinggalkannya, beliau gelisah jika umat kembali kezaman kejahilan pasca kepergiannya. Karena itu beliau berkata menjelang kematiannya umatku, umatku, umatku. Derita dan kegelisahan Ali bukan derita luka akibat sabetan pedang yang tepat di kepalanya, derita dan kegelisahannya lantaran kebodohan umat yang lebih mengutamakan pemimpin yang dipilih manusia dan mengasingkan pemimpin yang dipilih Tuhan. Derita Ali adalah derita kesendirian dan alienasi. Pada akhirnya, derita dan kegelisahan pribadi yang dinantikan; Al-mahdi Al-muntadzar bukan karena ia diincar untuk dibunuh para musuh-musuh Tuhan. Jiwa agung Al-mahdi menderita dan cemas jika umat lantaran kebodohan, mereka tak mampu mengenali kebenaran dan kebathilan. Pemilik Zaman ini gelisah jika umat tak mampu mengenali beliau setelah kemunculannya. Sungguh manusia-manusia suci sangat mencemaskan umatnya. Inilah derita manusia-manusia suci yang harus kita berikan penawarnya sebagai bentuk ekspresi cinta dan tanggung jawab kita sebagai pecinta dan penanti.

Bersambung ke bagian tiga: asas cinta dalam penantian

[Alfit Proletar, Sarjana Filsafat Islam Universitas Internasional al Moustfa Qom Republik Islam Iran]

 

 


source : abna24
0
0% (نفر 0)
 
نظر شما در مورد این مطلب ؟
 
امتیاز شما به این مطلب ؟
اشتراک گذاری در شبکه های اجتماعی:

latest article

Keharusan Adanya Imam
Memahami Makna Ma Raitu Illa Jamila
Paham Asy’ari dan Maturidi Dianut Oleh para Ulama Islam
Tempat Kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
Mengapa muncul aliran-aliran filsafat? Apa saja aliran filsafat Islam itu?
Sikap Ali bin Abi Thalib terhadap Khalifah dan Kekhalifahan yang ada
Al Quran dan Ahlul Bayt as
Injil Barnabas Asli Ditemukan, Vatikan Terancam Bubar
Apa Tanda Diterimanya Salat Kita?
Gejala-gejala Ruh Bukan Kualitas Materi

 
user comment