Semua manusia pasti pernah dan akan mendapatkan
musibah. Di dunia yang merupakan tempat ujian ini,
mestilah ada banyak permasalahan yang membuat manusia
merasa lemah dan putus asa. Meninggalnya orang yang
dicintai, hilangnya harta yang telah dikumpulkan
dengan susah payah dan berbagai musibah lain terkadang
membuat manusia hilang asa dan segera merasa bahwa
Tuhan tidak adil. Mengapa Tuhan yang Maha Segala-
galanya itu mau menguji hamba kecilNya? Bukankah lebih
baik jika Tuhan menciptakan kehidupan yang ‘enak-enak
saja’? Benarkah musibah dan kesulitan itu merupakan
sesuatu yang buruk? Bisakah manusia tumbuh dan
berkembang tanpa adanya usaha dan kesabaran dalam
menghadapi kerasnya hidup?
Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam salah satu
ceramahnya berkata, “Salah satu wanita Islam yang
menjadi kebanggaan dunia adalah Zainab al-Kubra as.
Sejarah memperlihatkan bahwa berbagai kejadian
berdarah dan musibah yang tidak ada bandingannya yang
terjadi pada peristiwa Karbala, telah menjadikan
Zainab tak ubahnya seperti sepotong baja yang telah
ditempa. Zainab yang keluar dari Madinah tidak sama
dengan Zainab yang kembali dari Syam ke Madinah.
Zainab yang kembali dari Syam adalah Zainab yang lebih
berkembang dan telah kokoh. Bahkan, sikap yang
ditunjukkan Zainab pada peristiwa ketika dia menjadi
tawanan berbeda dengan sikap yang diperlihatkannya
pada hari-hari Karbala, di mana pada saat itu
saudaranya (Imam Husain as.) masih hidup dan tanggung
jawab belum diletakkan di atas pundaknya.[i]”
Dalam pembicaraan di atas, Syahid Murtadha Muthahhari
ingin menjelaskan bahwa musibah dan kesulitan
merupakan pendongkrak kekuatan tersembunyi kita, serta
penyuci jiwa dan akhlak kita. Imam Ali as. berkata,
“Sesungguhnya, manakala Allah mencintai seorang hamba,
niscaya Allah akan menenggelamkan hamba tersebut ke
dalam berbagai musibah dan kesulitan.”[ii]
Ujian dan cobaan sebenarnya merupakan anugerah yang
harus dilewati dengan baik. Pertanyaannya, mengapa
Allah membuktikan cintaNya dengan cara menenggelamkan
seorang hamba ke dalam lautan musibah dan kesulitan?
Dengan kata lain, apa efek dan pengaruh dari musibah
dan kesulitan? Pertanyaan ini akan terjawab ketika
kita mengetahui filsafat musibah dan kesulitan.
Filsafat Musibah dan Kesulitan
Pengaruh dari musibah dan kesulitan bukan hanya
menjelaskan substansi jiwa manusia. Artinya, musibah
tidak hanya menampakkan dan menjelaskan hakikat jiwa
kita yang sebenarnya. Kesulitan bukanlah ‘timbangan’
yang hanya memberi tahu seberapa berat dan berisi jiwa
kita. Lebih dari itu, musibah dan kesulitan mempunyai
pengaruh menyempurnakan, mengganti, dan mengubah.
Musibah dan kesulitan mampu membuat jiwa kita lebih
peka, menciptakan kedewasaan serta menghilangkan
kelemahan. Musibah dan kesulitan mampu menghilangkan
karat dalam hati kita. Keduanya dapat membuat sesuatu
yang lemah menjadi kuat, yang rendah menjadi tinggi
dan yang mentah menjadi matang.
Ketika menggambarkan filsafat musibah dan kesulitan
yang bersifat konstruktif ini, Mawlawi Rumi memberi
contoh berikut:
“Ada seekor binatang yang bernama musang, yang justru
dengan luka pukulan kayu dia menjadi lebih gemuk
Hingga Anda memukulnya dengan kayu, maka dia menjadi
lebih gemuk dari luka pukulan kayu itu
Jiwa seorang mukmin pun tidak ubahnya seperti musang
dalam keyakinan, yang mana dengan berbagai kesulitan
justru menjadi lebih gemuk dan kuat.
Oleh karena itu, kesulitan yang menimpa para nabi jauh
lebih banyak daripada kesulitan yang menimpa seluruh
makhluk yang ada di alam ini
Supaya dengan begitu jiwa mereka lebih besar dan kuat
dibandingkan jiwa-jiwa yang lain.”
Alhasil, filsafat dari musibah dan kesulitan bukan
hanya mengukur berat dan derajat sesuatu, namun juga
menambah berat dan meninggikan derajat sesuatu. Oleh
karena itu, ketika Allah mencintai seorang hamba, Dia
akan menenggelamkan hamba tersebut dalam lautan
musibah dan kesulitan. Agar hamba itu menjadi lebih
kuat. Bahwa dirinya jauh lebih kuat dari yang dia
sendiri kira. Dengan musibah, manusia akan lebih
mengenal diri sendiri. Kemudian dia akan menemukan
kekuatan baru yang sebelumnya tersimpan di dalam
dirinya. Setelah ditempa musibah, kekuatan itu mewujud
menjadi nyata. Betapa indah Allah ciptakan hidup ini!
Inilah yang menyebabkan mengapa Sayyidah Zainab binti
Ali as yang keluar dari Madinah berbeda dengan
Sayyidah Zainab yang kembali dari Syam menuju Madinah.
Sayyidah Zainab ketika keluar dari Madinah belum
ditempa dengan kesulitan dan musibah seperti yang
dirasakannya di Karbala. Setelah Sayyidah Zainab
melihat dengan mata kepala sendiri perlakuan kejam
umat islam terhadap keluarganya, hati dan jiwa mulai
ditempa. Puncaknya, beliau diarak dalam keadaan
dirantai dan kehausan menuju Syam. Setelah fisik dan
jiwa Sayyidah Zainab ditenggelamkan oleh Allah dalam
musibah dan kesulitan, beliau telah berubah menjadi
wanita yang lebih kuat, lebih tegar, dan lebih mulia.
Sejarah membuktikan bahwa ceramah-ceramah Sayyidah
Zainab mampu membuat kalang kabut Yazid yang terkenal
masa bodoh itu, mampu membungkan lidah-lidah tajam
ulama bayaran bani Umayyah, serta mampu menyadarkan
umat islam atas apa yang sebenarnya terjadi di
Karbala.
CATATAN :
[i] Ceramah Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama
dan Kehidupan, hal. 210, Murtadha Muthahhari, penerbit
Lentera.)
[ii] Nahjul Balaghah, hikmah ke-9
source : alhassanain