Aku telah tiba di kota Mashad yang terletak di Timur Laut Iran. Pagi yang segar penuh dengan inspirasi. Sang mentari sedikit demi sedikit menampakkan wujudnya di celah-celah pegunungan terjal dengan memberikan sinar hangatnya. Begitu adilnya matahari sehingga ia membagikan kehangatan cahayanya ke semua tempat.
Hari ini kota Mashad berada dalam kondisi dan situasi yang lain. Mashad memancarkan cahaya malakutinya menyambut peringatan kelahiran keturunan Ahlul Bait dan cucu Nabi Muhammad Saw bagaikan permata yang memancarkan sinarnya. Hari ini adalah hari kelahiran Imam Ridha as dan makam sucinya terletak di jantung kota Mashad.
Kerinduanku untuk berziarah ke makam Imam Ahlul Bait ini, memaksaku untuk berdesak-desakan bersama puluhan ribu para peziarah lainnya. Tanpa takut dan ragu akupun terus menuju ke tempat yang penuh cahaya malakuti ini.
Aku menyusuri jalan-jalan yang menjadi ujung makam suci ini bersama ratusan orang peziarah Imam Ali Ridha as. Sedikit demi sedikit mulai tampak kubah emas yang bercahaya itu. Seakan bau semerbak surgawi terpancar dari Haram atau makam suci Imam Ridha, Ali bin Musa as.
Semua tempat dan lorong-lorong Khorasan menampakkan kebahagiaan dan keceriaan. Dengan menyaksikan pemandangan yang penuh kemuliaan dan malakuti itu, tak terasa air mataku membasahi pipi. Dan dengan serentak kalimat-kalimat indahpun terlontar dalam suasana ini.
Assalamu Alaika Yaa Ali Ibn Musa ar-Ridha...
Shalawat dan salam pada Muhammad dan Ahlul Bait-nya menggema dari segala penjuru kota Khurasan.
Yaa! Memang di tanah inilah tempat makam suci Imam Ali ar-Ridha as. Dan hari ini meski telah berlalu lebih 10 Abad dari syahadahnya, namun para pencintanya dari seluruh pelosok dan penjuru dunia. Mereka mengunjungi kota Mashad, baik dekat dari kota ini atau jauh dan tinggal selama beberapa hari di kota suci ini.
Banjir manusia yang rindu untuk berziarah kepada Imam Ridha as, senantiasa lebih dahsyat dari kehidupan beliau as yang menyeru hati sanubari manusia. Sewaktu Imam bergerak dari Madinah al-Munawwarah menuju Marv, rombongan beliau terpaksa berhenti di kota Neyshabur dikarenakan sambutan masyarakat. Mereka berbondong-bondong berkumpul demi menyongsong kedatangan Imam as. Hari itu air mata kerinduan mengalir pada setiap pencinta Ahlul Bait Nabi Saw, bahkan setiap orang telah mengungkapkan segala bentuk perasaannya.
Kota Neyshabur serempak memancarkan cahaya kemuliaan. Setiap orang rindu mendengarkan suara hangatnya Imam Ridha as. Sewaktu beliau melihat kondisinya tepat dan kondusif untuk menyampaikan pidato, maka beliaupun siap-siap untuk berbicara. Di saat orang-orang pada diam, beliau as menukil sebuah hadis qudsi yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw dengan mengatakan, "Kalimat Tauhid yakni Laailaha illa Allah (tidak ada Tuhan kecuali Allah) adalah bentengku. Barangsiapa memasuki benteng ini, maka ia aman dari azab-Ku."
Setelah itu, Imam Ridha as bergerak, tapi tidak lama kemudian beliau kembali menghadap masyarakat dan mengatakan, "Tetapi ketahuilah hal tersebut harus memenuhi syaratnya, dan aku termasuk di antara syarat tersebut."
Hadis singkat itu dengan sendirinya telah menjelaskan dengan gamblang peran kunci Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw di tengah-tengah masyarakat Islam. Imam Ridha as sendiri adalah satu dari Ahlul Bait Nabi dan Imam kaum Muslimin. Beliau menerangkan hakikat ini dan menjelaskan bahwa setiap orang yang ingin berjalan di jalan yang lurus dan di jalan tauhid, maka ia harus menjadikan Ahlul Bait Nabi sebagai teladannya. Bila hal itu dilakukannya, maka ia akan terbebaskan dari belenggu para penguasa dan kekuatan-kekuatan bohong lainnya.
Selanjutnya, kami bergabung bersama-sama dengan para penziarah Haram Imam Ridha as di hari kelahiran beliau. Kami memohon kepada Allah Swt agar kita dan semua umat manusia yang hidup di bumi ini mendapat anugerah kebahagiaan dan kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat. Dalam rangka kelahiran Imam Ali bin Musa Ridha as tak lupa kami menyampaikan, selamat berbahagia kepada para pencinta Ahlul Bait Nabi, Muslimin dan Muslimat di mana saja berada.
Imam Ridha as lahir pada 148 Hijriah atau 765 Masehi kota Madinah Munawwarah. Beliau diasuh dan dibimbing oleh ayahnya, Imam Musa al-Kazhim as. Bimbingan ini dengan sendirinya telah menyiapkan beliau untuk menerima tanggung jawab besar menuntun masyarakat Islam.
Imam Ridha merupakan mata air jernih yang mengalirkan ilmu dan akhlak. Sementara pernyataan-pernyataan beliau as merefleksikan sebuah jiwa yang penuh dengan keridhaan Allah Swt. Itulah mengapa beliau disebut Ridha yang berarti orang yang telah mencapai tingkat tinggi dan kesempurnaan dalam akhlak. Apa saja yang beliau peroleh dari sisi Allah senantiasa diterima dengan penuh keridhaan dan kegembiraan.
Syeikh Shaduq, ulama Syiah menukil dari Jabir bin Abi Dhahhak, seorang pelayan Makmun, khalifah Abbasi mengatakan, "Demi Allah aku bersumpah! Aku tidak pernah melihat seorang yang seperti beliau dalam ketakwaan dan mengenal Allah. Beliau melewatkan malam-malamnya dengan ibadah, sedang waktu siangnya dengan berpuasa. Beliau tidak segan-segan makan satu meja bersama budak dan pembantu-pembantunya. Pada kegelapan malam beliau keluar membawa roti, dirham dan dinar untuk diberikan kepada orang-orang miskin. Tak seorangpun bersuara tinggi di hadapan beliau. Sementara dalam kesabaran, kedermawanan, lapang dada, ilmu dan kecermatan, beliau tidak ada tandingannya. Beliau as mengatakan, "Hendaknya kalian berbaik sangka kepada Allah, hingga memperoleh rahmat ilahi."
Hassan Arif seorang peziarah makam suci Imam Ridha as asal Pakistan mengatakan, "Aku telah mempelajari makalah dan beberapa buku mengenai kehidupan Imam Ali bin Musa ar-Ridha as. Hari ini, di tempat suci ini, salah seorang pakar bahasa Urdu berbicara kepada kami mengenai kemuliaan Ahlul Bait Nabi, khususnya Imam Ridha as. Ini adalah sebuah poin yang sangat baik untuk kita mengetahui bagaimana para ilmuwan dan ulama dari pelbagai penjuru daerah mendatangi beliau untuk menimba ilmu darinya.
Perdebatan ilmiah antara Imam Ridha as dengan para pakar berbagai pemikiran sangat positif. Dalam majlis-majlis itu betapa cahaya pengetahuan Imam Ridha lebih cerah dari lainnya, sehingga hakikat-hakikat itu dapat diketengahkan dengan gamblang, tidak lagi tertutupi oleh awan.
Ny.Taniya Boelink seorang muslimah berkebangsaan Jerman yang memiliki kecintaan besar terhadap Ahlul Bait Nabi Saw, dengan hati yang penuh kecintaan dan penuh harap datang ke kota Mashad untuk berziarah ke makam suci Imam Ali bin Musa Ridha as. Ia mengatakan, "Di tempat inilah setiap manusia memiliki perasaaan tersendiri. Karena di setiap sudutnya mencerminkan ketenteraman dan cahaya. Kami datang dari negara yang jauh dikarenakan kemuliaan petunjuk para Imam seperti Imam Ridha."
Ia menambahkan, "Menurut pandanganku, dewasa ini umat manusia menghadapi pelbagai kecemasan dan keputusasaan. Kondisi yang demikian membuat manusia lebih memerlukan hubungan yang lebih banyak dengan sumber-sumber cahaya kesucian Ahlul Bait Nabi Saw, di antaranya Imam Ridha as ini."
Kehidupan Imam Ridha ini dapat membuka jalan kehidupan umat manusia saat ini. Sebagai contoh, bagiku kehidupan Imam Ridha as senantiasa merupakan teladan yang sangat menarik, dimana beliau melaksanakan kehidupannya yang sederhana. Namun dengan kesederhanaan itu beliau dapat menikmati kehidupannya lebih bahagia. Perjalanan kehidupan Imam Ridha penuh dengan sikap rendah hati dan kesederhanaan serta senantiasa bersama dengan masyarakat lainnya.
Imam Ali bin Musa Ridha as yakin bahwa nilai-nilai dan kemuliaan manusia bukan terletak pada harta, kedudukan dan kekuasaan. Karena ketiga hal tersebut tidak bisa mengangkat manusia, bahkan unsur-unsur itu bisa menyeret manusia kepada kehancuran dan kejatuhan. Itulah mengapa Imam Ridha as dalam menjawab pertanyaan seorang lelaki yang bertanya kepada beliau, "Aku bersumpah bahwa di atas bumi ini tidak ada seorang ayah yang lebih mulia daripada Tuan." Beliau kemudian menjawab, "Kemuliaan seseorang terletak pada takwanya, sedang kebesaran seseorang terletak pada tingkat ketaatan dan penghambaannya kepada Allah. Maka barangsiapa yang lebih takwa dan lebih menghambakan diri kepada Allah, maka dia lebih baik daripadaku."
Para sejarawan menulis, hal yang terpenting bagi Imam Ridha as ialah berjuang memberantas kezaliman, ketidakadilan dan penentangan terhadap tipu daya penguasa Bani Abbasiah. Hingga pada waktu itu Imam Ridha as tidak ada pilihan lain kecuali menerima kedudukan Putra Mahkota dengan syarat tidak ikut campur dalam urusan pemerintahan. Masalah ini sebenarnya adalah penentangan beliau terhadap penguasa Makmun, dan termasuk sejenis perlawanan tersembunyi terhadap kelicikan Bani Abbasiah.
Abdullah bin Ibrahim Ghaffari yang hidup di zaman Imam Ali ar-Ridha as menukil dari beliau:
"Di saat-saat aku melewati kehidupanku dengan sulit. Waktu itu aku mencari pekerjaan, mendapat upah dan harus menghadapi pelbagai tekanan. Melihat kenyataan ini, aku pergi menghadap Imam Ridha as dengan tujuan meminta nasihat dari beliau agar lebih sabar. Ketika aku tiba di tempat beliau, Imam Ridha as sedang makan. Melihatku, beliau langsung memanggilku dan mengajakku makan. Aku duduk bersama beliau dan makan beberapa suap.
Setelah makan bersama beliau, aku terlibat dalam percakapan bersama beliau. Sedemikian menariknya pembicaraan beliau dengan wajah malakuti yang bersinar, sehingga membuatku lupa tujuanku semula untuk mendatangi beliau.
Setelah beberapa saat, Imam Ridha as mengisyaratkan kepadaku agar mengangkat sudut sajadah yang berada di sebelahku. Setelah terbuka, ternyata di bawah sajadah itu terdapat uang 340 dinar. Sebuah tulisan juga terdapat pada kumpulan uang itu yang isinya tertuliskan, "Kami tidak melupakanmu! Pergunakanlah uang ini untuk membayar utang-utangmu, sementara sisanya manfaatkan untuk kebutuhan keluargamu!?" (IRIB Indonesia)
source : irib