Mohon jelaskan tentang hubungan Imam Khomeini dengan almarhum Haj Agha Mostafa?
Saudara saya yang syahid ini adalah anak lelaki pertama Imam Khomeini dan dia sangat dicintai oleh ayah dan ibu. Setelah dia, lahir juga anak lelaki dan meninggal dunia saat masih usia dua-tiga tahunan. Putri-putri Imam Khomeini juga terlahir setelah dia [anak kedua] ini. dia [Mostafa] sebagai anak pertama dan sampai beberapa tahun lamanya dia sebagai anak lelaki tunggal yang secara langsung berada di bawah pendidikan Imam Khomeini. Baik dari sisi pelajaran, pendidikan, keluar masuk dan teman-temannya dia diawasi langsung oleh Imam Khomeini. Dia mengenyam pendidikan klasik sampai kelas lima ibtidaiyah, setelah itu, atas dorongan ayah ia belajar di hauzah. Haj Agha Mostafa memakai baju ruhani ketika berusia tujuh belas tahun. Saya masih ingat ketika dia memakai baju ruhani, Imam Khomeini mengundang sejumlah sahabatnya dalam sebuah pertemuan makan siang untuk memberikan semangat kepada Haj Agha Mostafa dan memakaikan amamah [sorban] ke kepala Haj Agha Mostafa. Hal ini bagi kami adalah sebuah kenangan menarik dimana kami melihat dia menyambut para tamu dengan senang dan gembira dengan memakai baju baru. Haj Agha Mostafa punya banyak sahabat dan juga dikagumi oleh mereka. Ini karena sikapnya yang menyenangkan dan keikhlasan serta keakrabannya terhadap mereka. Oleh karena itu mereka selalu mengajak dia ke rumah mereka dan keluar masuk ini berada di bawah pengawasan Imam Khomeini dan beliau tahu mereka ini siapa, kemana mereka pergi dan apa yang mereka lakukan. Terkait dengan pelajaran dan diskusinya, Imam Khomeini juga [mengawasinya dengan] serius sehingga jangan sampai terjadi kemandegan, sebagaimana Imam Khomeini sendiri tidak pernah meliburkan pelajarannya dan kami juga masih ingat Imam Khomeini tidak pernah seharipun meliburkan diri dari mengajar. Beliau pergi mengajar pada waktu tertentu dan kembali ke rumah pada waktu tertentu juga. Beliau mengajarkan kepada saudara saya untuk tertib dan serius dalam pelajaran. Setelah melakukan latihan-latihan dalam pendidikan, dalam sebagian pelajaran dia melakukan diskusi dengan Imam Khomeini dan mengajukan pertanyaan.
Pasca tahun 1340 dan selanjutnya dimana Imam Khomeini bangkit melawan rezim Shah Pahlevi, dia sebagai pembantu yang kokoh dan penasihat yang bisa dipercaya bagi Imam Khomeini. Pada tahun 1342 ketika Imam Khomeini ditangkap, Haj Agha Mostafa tanpa keberadaan ayah, menyelesaikan urusan syariat dan politik masyarakat. Itulah mengapa Imam Khomeini benar-benar percaya pada kepandaian dan kecerdasaannya dan menyerahkan berbagai urusan kepadanya. Misalnya ketika kami tinggal di daerah Yakhchal Qazi seringnya ruangan-ruangan penuh dengan tamu dan menunggu beliau menyampaikan pesannya Imam Khomeini dan setiap orang melakukan tugasnya masing-masing. Dengan demikian, Imam Khomeini sangat menghargainya dan mempercayainya secara penuh. Di hari-hari ketika Imam Khomeini diasingkan ke Turki, dengan baik tanpa keberadaan Imam Khomeini dia membimbing masyarakat, seakan-akan Imam Khomeini ada di tengah-tengah masyarakat dan jalannya berlanjut. Oleh karena itu, seminggu setelah Imam Khomeini diasingkan, dia juga ditangkap. Setelah dia dibebaskan dari penjara, dia pergi berziarah ke Haram Suci Sayidah Fathimah Maksumah as dan saat kembali ke rumah, masyarakat mendampinginya dan ketika sampai di rumah ada sekitar dua ribu orang yang membarenginya masuk ke dalam rumah. Para petugas rezim Shah Pahlevi yang menyaksikan hal ini, kepadanya berkata, “Anda berjanji akan pergi ke Turki”. Namun dia bermusyawarah dan mengatakan, “Ibu saya tidak rela saya pergi ke Turki. Saya juga tidak melihat ada kebaikan dalam hal ini bagi saya juga bagi masyarakat. Tapi para petugas rezim Shah Pahlevi menangkapnya dan mengasingkannya ke Turki juga dengan upaya pintu rumahnya Imam Khomeini tertutup. Tentunya dalam waktu ini ada para wakil Imam Khomeini, namun setelah satu tahun mereka juga ditangkap dan dipenjara. Saya masih ingat, ketika kami masih kecil, Haj Agha Mostafa setiap subuh membangunkan kami untuk mengerjakan shalat subuh. Meskipun terkadang tepat musim dingin dan hawanya juga dingin, dia membangunkan kami dan membawa kami keluar halaman ke tepi kolam [untuk mengambil wudhu]. Kami membuka mata kami, kami melihat sudah berada di halaman. Kepadanya Imam Khomeini berkata:
“Jangan lakukan hal ini untuk anak-anak. Panggil mereka supaya bangun.”
Dia berkata, “Tidak. Mereka harus segera bangun sehingga mengerjakan shalatnya. Saya masih ingat, suatu malam saya berkata, “Shalat subuh saya telah lewat dan menjadi Qadha.” Dia memaksa saya untuk mengqadha [mengulangi] semua shalat saya hari-hari itu. Kami mendengar dari Imam Khomeini berkata:
“Kapan saja shalat subuh kalian jadi qadha, maka kapan saya kalian ingat, lakukanlah qadhanya.”
Namun dia memaksa saya mengulang kembali shalat zuhur, asar, maghrib dan isya. Ketika Imam Khomeini datang, saya mengaduh kepada beliau dan kepadanya berkata:
“Mengapa Engkau melakukan hal ini? Shalat mereka benar.”
Imam Khomeini sendiri sangat menjaga shalat dan seseorang tidak akan berpikir bahwa di rumah kami ada seseorang yang meninggalkan shalatnya meski satu rakaat. Namun demikian Imam Khomeini sangat menjaga kami.
Imam Khomeini benar-benar serius terkait pada pendidikan Haj Agha Mostafa. Padahal pendidikan kami diserahkan kepada ibu. Beliau sangat menjaga jangan sampai muncul gerakan dan perilaku yang tidak benar. Sebagaimana kejujuran dan kesucian yang beliau miliki, beliau juga mengaplikasikannya terkait pada pendidikan Haj Agha Mosfata.
Sebelum tahun 1342 dan sebelum pernikahan Haj Agha Mostafa, urusan dia di luar rumah ditanggung oleh Imam Khomeini. Tentunya dia juga membantu. Setelah pernikahannya, selama masih hidup bersama kami, urusan belanja juga ada di bawah pengawasan Imam Khomeini dan biasanya pembantu perempuan yang berbelanja. Setelah hidup mandiri dan pisah dari kami, dia sendiri yang mengerjakan pekerjaan di luar rumah dan pekerjaan di dalam rumah dikerjakan oleh keluarganya. Yang membedakan Haj Agha Mostafa dari semua orang sebayanya menurut kami adalah kecerdasannya yang luar biasa.
Ibu mengatakan, “Suatu hari saya masuk ke pelataran Haram Sayidah Fathimah as, saya melihat orang-orang pada ketakutan melihat salah satu sudut Haram. Saya bertanya dan mereka menjawab, seorang anak lelaki berusia 14-15 tahunan berdiri dengan kedua tangannya di atas atap menara. Saya penasaran dan maju, saya melihat ternyata Mostafa. Saya benar-benar takut dan khawatir sampai akhirnya setelah beberapa menit dia turun. Malamnya [ibu] menceritakan kejadian itu kepada Imam Khomeini. Kepadanya Imam Khomeini berkata:
“Dengan keberanian model apa Engkau melakukan hal ini? Tidakkah Engkau berpikir tanganmu terpeleset dan Engkau terlempar ke bawah?”
Dengan yakin dia menjawab, “Saya tidak takut sama sekali. Saya yakin tidak akan jatuh. Namun, remaja yang pemberani ini juga bila ibu kami menunjukkan ketidakrelaannya terkait satu hal, dia akan mengesampingkan hal itu dan tidak akan melakukannya, meski pekerjaan itu disukainya.”
Catatan-catatan buku Agha Mostafa bersama buku-buku Imam Khomeini bahkan kertas-kertas sobek disita oleh SAVAK. Tentunya setelah revolusi, buku-buku Imam itu dikembalikan lagi. Tapi sebagian buku Haj Agha Mostafa tidak ada.
Setelah diasingkannya Imam Khomeini ke Turki, dia juga diasingkan ke sana. [Pengasingan] selama setahun bersama Imam Khomeini benar-benar mempengaruhi jiwanya yang aktif dan ceria dan menjadikan dia sebagai seorang lelaki dewasa, tenang, bijaksana, berpikiran jauh ke depan dan mencintai ayahnya. Di sana [Turki] Imam sibuk menulis buku Tahrir al-Wasilah dan dia juga mensyarahi sebagian buku-buku. Setelah setahun, pemerintah Iran mengajukan perpanjangan kontrak terkait penjagaan Imam Khomeini di pengasingan, namun pemerintah Turki menolak. Para pejabat Turki mengatakan, “Bila sebelumnya kami tahu posisi Imam Khomeini, sejak awal kami tidak akan melakukan hal ini.” Karena dari berbagai penjuru dunia khususnya negara-negara Islam mengirim telegram ke Turki dan menuntut keselamatan beliau. dan presiden Turki baru paham bahwa beliau benar-benar seorang yang dicintai secara luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Akhirnya terpaksa harus memindahkan beliau dari Turki ke tempat lain. Tapi tidak bisa mengizinkan beliau untuk kembali ke Iran. Karena para pendukung Imam Khomeini akan lebih aktif dari sebelumnya dan akan sibuk menyiapkan sarana sebuah kebangkitan yang besar. Imam Khomeini dinaikkan ke pesawat dan paspor beliau di serahkan dalam pesawat. Ketika pesawat mendarat dan setelah turun dari pesawat mereka tidak melihat seseorang [yang membuntuti] di belakangnya. Setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka sendirian terpaksa harus mencari jalan keluar untuk dirinya. Bahkan uang Irak juga tidak punya. Di bandara mereka menukarkan uang Turki dengan uang Irak dan pergi ke Kazhimain. Di sana Haj Agha Mostafa menyewa sebuah kamar di losmen yang besih dan meletakkan tas-tasnya di sana. Imam Khomeini pergi ke Haram berziarah dan Haj Agha Mostafa pergi ke warung telepon. Dari sana dia menelpon salah seorang sahabatnya di Najaf yang bernama Syeikh Nasrollah Khalkhali penduduk Rasht dan menceritakan kejadian yang ada. Dia [Syeikh Nasrollah Khalkh] juga mengatakan, “Dalam waktu dua hari kami akan menyediakan sebuah rumah yang sesuai dan sedikit perabotan pokok sehingga beliau bisa masuk ke rumahnya sendiri.” Usaha ini dengan alasan karena dia tahu bahwa Imam Khomeini tidak akan mau tinggal di rumah seseorang. Selain itu Haj Agha Mostafa juga menelpon Karbalai dan menceritakan kejadian yang ada ke salah satu sahabatnya ini. Sudah dijadualkan bahwa Imam Khomeini mau pergi ziarah ke Karbala dan menyusul acara yang akan diselenggarakan untuk menyambut beliau, Imam Khomeini harus ke Najaf. Program dan kesigapan tindakan Haj Mostafa Khomeini karena kecakapan dan pemikiran serta perhatian dia terhadap segala sisi perkara dan kepercayaan yang diberikan Imam Khomeini kepadanya. Imam Khomeini juga menyetujui acara ini. Setelah sehari, beliau pergi ke Karbala. Beliau pergi ke Haram Sayidus Syuhada as dan Haram Sayid Abul Fadhl as di tengah sambutan orang-orang Iran mukim sana dan orang-orang Irak yang mencintai beliau dan juga para ulama. Setelah istirahat sejenak, beliau lantas bergerak menuju ke Najaf. Di sana beliau masuk ke rumahnya dengan disambut oleh para ulama dan para pecintanya.
Dua buah rumah disediakan untuk Imam Khomeini; yang satu seluas 90 meter persegi untuk bagian dalam dan yang lainnya 70 meter persegi untuk bagian luar dan keduanya menyambung.
Haj Agha Mostafa juga menetap di Najaf. Dari sana dia menelpon ke Iran dan berkata, “Imam Khomeini sudah bebas dan berada di Najaf.” Keluarga Imam Khomeini dalam jangka waktu satu sampai dua bulan semuanya pergi menuju ke Irak. Satu-satunya orang yang dilarang oleh pemerintah Iran untuk keluar adalah almarhum Haj Ahmad Khomeini dan dikatakan kepadanya bahwa dia harus menjalani wajib militer. (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Dikutip dari penuturan Farideh Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.
Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh.
source : irib