ORGANISASI Kerja Sama Islam (OKI) menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa di Jakarta pada 6-7 Maret. KTT kali ini banyak mendapatkan perhatian dunia internasional karena secara khusus membahas Palestina dan Jerusalem.
Konon, KTT Luar Biasa itu atas inisiatif Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang meminta Presiden Jokowi untuk menggelar KTT Luar Biasa di Jakarta. Presiden Mahmoud Abbas memandang Indonesia dapat menjadi fasilitator, bahkan mungkin mediator untuk mengakselerasikan kemerdekaan Palestina, mengingat Presiden Jokowi berjanji dalam pemilu presiden yang lalu akan memprioritaskan politik luar negeri pada kemerdekaan Palestina.
Dalam Konferensi Asia-Afrika yang lalu, Presiden Jokowi juga meminta negara-negara Asia-Afrika agar melunasi komitmen mereka sejak 1955 untuk memikirkan bersama dan mendorong secara proaktif dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina.
Harus diakui, isu Palestina dalam lima tahun terakhir, khususnya pascarevolusi yang menggelinding di kawasan Timur Tengah, hampir tenggelam dalam perbincangan publik. Kecamuk politik di kawasan sama sekali tidak menguntungkan bagi Palestina. Persoalan domestik yang melilit Mesir, Tunisia, Libia, Yaman, Bahrain, dan Suriah telah meminggirkan isu Palestina sebagai pembahasan utama, seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Sementara itu, Israel terus melakukan agresi ke Tepi Barat dan Gaza.
Di Tepi Barat, Israel semakin mengukuhkan cengkreman mereka dengan melakukan pendudukan di wilayah Jerusalem Timur yang merupakan wilayah Palestina. Di Gaza, Israel berhasil menutup pintu masuk ke Gaza dan melakukan agresi militer secara membabi buta.
Akibat imprealisme yang dilakukan Israel sejak awal 1940-an, yang berujung pada hadirnya negara Israel di tanah Palestina pada 1948, Palestina menghadapi masalah yang sangat serius, yakni eksodus besar-besaran warga Palestina ke Yordania, Amman, Mesir, Libanon, Suriah, dan lain-lain. Ada jutaan warga Palestina menjadi pengungsi. Hingga kini, mereka tidak bisa kembali ke tanah kelahiran mereka yang kudus itu.
Tidak hanya itu, Palestina tertatih-tatih guna merenggut hak dan kedaulatan mereka untuk menjadi negara yang merdeka. Perjuangan menuju kemerdekaan Palestina selalu berakhir dengan kegagalan.
Ada dua hal yang selama ini menghambat jalan menuju kemerdekaan Palestina. Pertama, veto Amerika Serikat yang didukung negara-negara sekutu mereka untuk menggagalkan kemerdekaan Palestina. Sikap Amerika Serikat yang sangat ajek itu disebabkan kuatnya lobi Israel di kongres dan senat Amerika Serikat.
Presiden Obama dalam kampanye pemilu presiden berjanji akan memuluskan proposal dua negara hidup berdampingan secara damai antara Palestina dan Israel (two states solution). Namun, dalam praktiknya, Obama cenderung pasif dalam mewujudkan proposal tersebut.
Nyata sekali, Obama tidak bisa berkutik pada tekanan lobi Israel sehingga memilih untuk tidak bersikap progresif bagi kemerdekaan Palestina.
Kedua, konflik internal faksi-faksi di dalam Palestina, khususnya Fatah dan Hamas. Masalah ini merupakan ganjalan serius yang dihadapi Palestina karena faktanya Palestina terbelah dalam dua faksi politik besar yang menyulitkan jalan menuju kemerdekaan mereka. Konflik internal faksi-faksi di dalam Palestina menjadi masalah serius karena tidak sekadar mewujudkan persatuan Palestina, tetapi juga menyamakan sikap politik terkait dengan Israel.
Keengganan Amerika Serikat dan sekutu mereka dalam melanjutkan perundingan perdamaian menuju two states solution disebabkan Hamas dikenal sebagai faksi yang secara konsisten menolak kehadiran Israel sebagai negara yang berdaulat.
Faktanya, Palestina belum mempunyai konsensus nasional terkait dengan Israel. Apakah menerima atau menolak kehadiran negara Israel? Selain itu, Palestina hingga saat ini belum mempunyai konstitusi yang dapat dijadikan sebagai common platform bagi seluruh kelompok dan faksi politik. Friksi antara Hamas dan Fatah itu menjadi masalah serius yang sedang dihadapi Palestina karena hingga saat ini belum ada pihak yang mampu merepresentasikan Pelestina.
KTT OKI
KTT Luar Biasa OKI yang digelar di Jakarta dapat menjadi angin segar untuk membincangkan kembali isu Palestina pada tataran global.
Ijtihad OKI mengangkat isu Palestina dalam KTT Luar Biasa ini merupakan terobosan penting karena secara historis kelahiran OKI dalam rangka menumbuhkan solidaritas dunia Islam untuk memberikan dukungan penuh pada Palestina, yang digelorakan pertama kali di Rabath, Maroko, pada 1969.
Setelah kurang lebih 49 tahun kemudian, Palestina masih menghadapi masalah yang cukup pelik. Bahkan tidak kalah pelik pada masa itu karena faktanya wilayah Palestina terus menyusut dan kehidupan mereka makin memburuk akibat agresi Israel yang berlangsung hampir setiap hari.
Karena itu, menyelesaikan masalah Palestina perlu dukungan yang lebih besar, khususnya dari negara-negara yang bergabung dalam OKI. Sebagai organisasi yang beranggotakan 57 negara yang berpenduduk mayoritas muslim, hendaknya OKI mampu merumuskan langkah-langkah besar dan strategis untuk kemerdekaan Palestina. Bahkan, jika diperlukan, OKI dapat menjadikan masalah Palestina sebagai isu utama dan prioritas yang harus mendapatkan perhatian serius.
Isu Palestina merupakan isu sentral yang mendapatkan dukungan publik sangat masif di dunia muslim. Hal tersebut bisa dilihat pada momen Israel melakukan agresi ke Tepi Barat dan Gaza, reaksi dunia muslim sangat luar biasa. Mereka berpihak kepada Palestina dan mengecam keras Israel. Dukungan publik yang begitu besar ini sebenarnya merupakan modal yang sangat luar biasa bagi para pemimpin negara-negara OKI untuk menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai agenda prioritas.
Di sini diperlukan ijtihad yang serius dari OKI untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam rangka kemerdekaan Palestina.
Pertama, OKI harus mendesak seluruh faksi di dalam Palestina untuk duduk bersama mengedepankan kepentingan bersama negara Palestina daripada kepentingan sektarian dan faksi masing-masing. Semua pihak harus mempunyai tekad bulat untuk mewujudkan negara Palestina yang dapat memayungi dan melindungi seluruh warga negara. Tidak ada lagi ego sektarian antara Hamas dan Fatah, antara Gaza dan Tepi Barat. Faktanya, tidak mungkin negara Palestina dapat berdiri kukuh dan berdaulat, selama setiap kelompok hanya memikirkan pihaknya sendiri-sendiri.
Palestina harus mempunyai satu visi, kebangsaan yang dilandaskan pada prinsip kewarganegaraan dan kehendak untuk membumikan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, Palestina bisa belajar dari Indonesia dari pengalaman Pancasila. Negara Palestina yang akan dibangun, yaitu negara Pancasila yang menjamin keragaman dengan menjadikan ketuhanan yang berkeadaban sebagai fondasi bersama. Hal ini penting mengingat pemeluk agama-agama di Palestina tidak hanya Islam, tetapi sebagian dari mereka Kristen dan Yahudi.
Kedua, OKI harus membentuk 'Lobi Palestina' di Amerika Serikat, yang bertugas melakukan lobi ke kongres dan senat. Harus diakui, selama ini 'Lobi Israel' sangat kuat di Amerika Serikat sehingga siapa pun yang memimpin AS tidak mempunyai keberanian untuk menyentuh isu Palestina. Nah, kini saat yang tepat agar OKI membentuk 'Lobi Palestina' untuk menjelaskan kepada elite politik dari Partai Demokrat dan Partai Republik bahwa isu Palestina mempunyai beban sejarah dan beban politik yang besar.
Kelompok ekstremis kerap berlindung dan menjadikan isu Palestina sebagai jembatan untuk memperbesar pengaruh mereka. Jika AS mampu mendukung jalan menuju kemerdekaan Palestina, dunia akan jauh lebih aman dan damai. Kelompok ekstremis tidak akan mempunyai alasan lagi untuk menjadikan isu Palestina sebagai komoditas politik mereka.
Sekali lagi, Indonesia dapat memprakarsai langkah besar ini untuk menyongsong era baru bagi Palestina. Itulah ijtihad politik yang mesti dilakukan OKI, khususnya Indonesia, sehingga isu Palestina tidak hanya menjadi bahasan yang kering dari konferensi ke konferensi. Seperti sering dikumandangkan Presiden Jokowi, saatnya kita perlu kerja, kerja, dan kerja yang nyata untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina. Semoga ijtihad ini dapat menjadi 'jihad' yang akan melahirkan Palestina yang merdeka dan berdaulat. Amin. []
[Zuhairi Misrawi ; Peneliti Pusat Pemikiran dan Politik Timur Tengah, The Middle East Institute]
source : abna24